Ayo main

Sabar semua kebagian karcis.

Hidangan Pembuka

Asyiiiiiikkkkkkkkk

Nah gitu dong

Terimakasih terimakasih terimakasih

Gedung kesenian ya begini

Setiap aktris aktor atau bintang yang pernah tampil bangga

Apalagi

Mendapat tepuk tangan panjang dan penghargaan yang tak terlupakan

Tuesday, November 17, 2009

TIRAH oleh Imam Tantowi

Sudah lebih tiga bulan, kami seolah terbuang dari kehidupan masyarakat berbudaya. Seperti terdampar di pulau terpencil, tanpa surat kabar, tanpa listrik, tanpa televisi. Bahkan nyaris tidak pernah bersentuhan dengan dunia luar, sejak satu-satunya genset yang menyuplai listrik untuk keperluan mengelas dan membor besi-besi siku untuk membangun menara BTS (Base Transceiver Station) jebol. Sebenarnya sebagian besar sudah difabrikasi di Jakarta, tapi tetap kami membutuhkan genset untuk menanggulangi kalau ada yang kurang persisi.
Saya beserta lima pekerja lain seperti terpenjara di pegunungan terpencil, nyaris tidak ada kendaraan yang melintasi desa. Menara BTS yang dibangun di punggung bukit itu untuk menjangkau telekomunikasi seluler tiga kota di sekitarnya. Kami tinggal di rumah milik Perhutani yang sudah lama ditinggal. Seluruh pegawai Perusahaan BUMN itu meninggalkan desa itu setelah reformasi, karena semua kayu jati dijarah oleh penduduk dan tanahnya diserobot untuk lahan pertanian. Pada saat itu melawan rakyat bisa celaka. Karena hutan jati sudah punah, maka tidak ada lagi pegawai yang datang.

Friday, October 23, 2009

Aji Tembus Raga

Oleh Imam Tantowi Tempat perbelanjaan kelas atas ini benar-benar menampilkan suasana dan aroma yang eksklusif dan mewah. Tentu bukan tampilan galery maupun counter yang gegap gempita, nyaris sebaliknya; sophisticated, bahkan sering membuat orang yang baru belajar jadi orang kaya pun bisa terkena rasa rendah diri, manakala disapa pelayan counter barang-barang bermerek. Pengunjung plaza ini meski berpakaian santai tapi memiliki rasa percaya diri yang luar biasa, karena di dompetnya tersimpan Credit Card Platinum unlimited. Mereka biasa ke café yang sekali makan cake dan sekedar kopi saja, bisa untuk hidup untuk empat hari bagi sebuah keluarga miskin. Ke Plaza seperti itu Kartono masuk. Dengan lagak sok santai dia ikuti anak-anak muda sebaya dia yang juga sedang window shopping sambil bercanda. Ketika melewati sebuah Café waralaba dari Amerika.

Friday, October 9, 2009

Santai Sejenak oleh Imam Tantowi

Penakluk Noni Belanda. Itu julukan yang selalu dia andalkan kalau sedang bercerita dihadapan anak-anak muda yang sedang nunggu sholat Ashar. Aku masih anak kecil, tapi dibolehkan mendengar ceritanya, karena aku cucu buyut kesayangannya. Dia pernah di bui karena orang tua Juliana Shoemaker, staf BPM (Bataavsche Petroleum Matchapij) di kotaku tidak terima anak gadisnya dibawa lari Kasan Madrowi. Buyut Kasan wataknya keras. Dia menikahi buyut perempuanku hanya untuk menyenangkan hati emaknya yang tidak malu melihat dia terus melajang sesudah dibebaskan dari penjara. Aku masih kecil ketika hampir setiap sore buyut Kasan bercerita bagaimana Juliana Schoemaker jatuh cinta setengah mati, Juliana hanya mau diantar oleh Kasan salah seorang dari sekian banyak kacung di rumahnya, kalau pergi ke sekolah, maupun ke klub. Bahkan teman-teman lelaki Juliana selalu cemburu pada Kasan. Sebenarnya Kasan Madrowi tidak tampan, kulitnya legam, matanya agak kemerahan, dan senyumnya selalu terkesan menyeringai...

Thursday, September 17, 2009

Presiden dan Kolam Kelam Kesunyian

Oleh Tandi Skober Gedung Putih tahun 2222. Saya beridiri di atas mimbar dicahayai ratusan blitz wartawan. Ini membuat mataku berkerjap-kerjap. Seraya membetulkan letak jasku, aku coba menenangkan diri. Cahaya lampu dan sorot kamera elektronik masih aktif menelusuri wajahku. Ini saya maklumi. Dan ini kudu kulalui dengan tabah. Soalnya, saat ini adalah temu pers perdanaku seusai lima jam yang lalu saya dilantik menjadi Presiden Amerika. Sesaat saya tersenyum. Kulayangkan pandang menelusuri satu demi satu nyamuk-nyamuk elektronika itu. Dan saat suasana hening terkendali, saat itulah kuluncurkan kalimat-kalimat bernuansa filosofis. "Republik ini," ucapku seusai menarik nafas panjang, "‘bukan lagi’ batu nisan raksasa yang merekayasa demokrasi melalui fatwa-fatwa kultural.

Saturday, September 12, 2009

Lenggang Mudik Klasik

Saturday, August 29, 2009

Grafis Sepatu Butut by Jim B Aditya

Orang yang besar adalah orang yang bisa menaruh hormat kepada sepatunya. Jika dibandingkan dengan aksesori lain, sepatu memang paling jarang mendapat perhatian. Tidak seperti baju, atau celana, atau celana dalam, yang selalu ditaruh di tempat yang necis dan wangi, dan sekali pakai langsung di cuci. Sepatu setelah dipakai biasanya langsung disorongkan begitu saja ke bawah meja atau kursi, dan dicuci paling banter tiga bulan sekali. Itu pun kalau ingat. Padahal apa sih istimewanya celana dalam jika dibadingkan dengan sepatu? Kalau Anda menghadap seorang Presiden tanpa memakai celana dalam, saya yakin tidak akan menimbulkan masalah yang serius selama Presidennya tidak tahu (bahkan kalau ada yang memberi tahu pun - kok usil amat ya - mungkin dia akan kura-kura dalam perahu. Jengah juga kan seorang Presiden harus mengurusi cd orang). Tapi coba bayangkan kalau Anda menghadap seorang Presiden dengan berkaki ayam, wah... itu bisa dianggap penghinaan serius. Melecehkan kewibawaan.

Sunday, August 9, 2009

Resensi Bohongan

Resensi Novel Tri Jil An Buku : Tri Jil An Karya : Tandi Skober Editing: Foeza Hutabarat dan Reni Teratai Air Grafis : Kardi Syaid Dicetak Kakiliat Kencan ah, (2009, ISSNI 234567654) xxxi 879 hal “Matikan matahati! Ayo, isap jempol! Nalar kamu akan liar menari di ribuan huruf yang tidak pernah kamu bisa hentikan! Isap jempol!” Ken Nagasi merangkak di selangkangan Babah Tri Jil An. Mencari hari kemarin yang tertinggal di lubang pantat TrgL4F Mediuchot Hetb! Gila! Siapa yang mencuri trijilan? Tak jelas.

BURUNG MERAK MENGGENDONG MBAH SURIP

Jelajahi ruang putih bercahaya Illahi Olerh Tandi Skober Gerimis kehilangan tangis. Tidak satu tetes airmatapun jatuh. Kenapa? Mbah Surip dan Rendra telah bersua dengan wajah istikamah alam barzah. Kerinduan fitri, yang tentu dicari semua manusia. Kerinduan sebuah ruang bercahaya maha luas, sejuk, hening damai. Dan tak mustahil si burung merak itu menggendong Mbah Surip merentangkan sayapnya menemui alam langgeng yang tak semuram alam dunia. ”Tandi,”ucap lirih Pemred Foeza Hutabarat,”tulis sesuatu yang mebuat aku meyakini bahwa ada nur dalam diri Rendra. Ada gemerlap kata. Ada puisi yang bernyanyi. Ada sajak berzikir petikan senar gitar.”

Sunday, July 26, 2009

Tiga Kartun karya Hoesie




Saturday, July 18, 2009

Sunday, July 12, 2009

Lawak Indonesia Mau ke Mana?


Oleh Darminto M Sudarmo

 
Akhir-akhir ini, setiap menonton acara lawak (baca: sandiwara komedi) di TV, apakah itu yang bertajuk “Opera van Java” atau “Suami-suami Takut Istri” atau beberapa lainnya, saya bukannya mendapatkan hiburan tetapi malah mendapatkan “tekanan” yang serasa makin membebani pikiran. Saya tidak tahu persis, apakah tontonan itu yang tidak mampu menggelitik rasa humor dan estetika saya atau saya sendiri yang sudah tertinggal dan tak mampu menjangkau bentuk sajian yang ditampilkan.
Situasi yang ada dalam benak sangat berbeda atmosfernya bila dibandingkan dengan ketika saya (di waktu lalu) menyaksikan sandiwara komedi “Si Doel Anak Sekolahan” dan “Bajaj Bajuri” misalnya. Di kedua acara TV tersebut, kita mudah dibawa hanyut dalam cerita yang mengasyikkan bersama humor-humor segarnya yang menyelinap di sana sini. Tidak sampai di situ, kita bahkan kadang merasa terlibat ke dalam dinamika cerita yang begitu segar dan mengalir lancar.
Kedua situasi yang berkebalikan sebagaimana dicontohkan di atas, bukannya tak mungkin mewakili banyak hal terkait dengan acara TV yang bergenre humor dan belakangan ini banyak menuai protes dari masyarakat. Salah satu protes yang cukup “menohok” dapat kita lihat di bawah ini. Pada Selasa, 26 Mei 2009, Effendi Sutanja, seorang pembaca yang mungkin saja mewakili sekian banyak masyarkat kita, menulis surat pembaca di Kompas dengan judul “Pelecehan Dasar Negara Lewat Tayangan Lawak”. Intinya Sdr Effendi ini kecewa berat menyaksikan tayangan/acara humor di stasiun TV swasta Jakarta (JakTV).
Ia kecewa karena menyaksikan Pancasila dan agama dilecehkan secara banal. Ini mungkin persoalan persepsi, tetapi mungkin dapat menjadi bahan perbincangan kita bersama dalam sesi tersendiri; belum tentu persepsi dan tuduhannya itu logis; bagaimanapun seni humor juga memiliki kode etik dan kekebalan semacam lisensia puitika di seni puisi.
Sebagian kekebalan yang lazim dipahami para praktisi humor antara lain: humor boleh tidak ada urusannya dengan pembuktian (akurasi), boleh “masa bodoh” dengan istilah benar dan salah (urusannya adalah: lucu tidak lucu), boleh menyindir seseorang atau situasi ke alam analogi atau metafora (Republik BBM, Democrazy, Republik Mimpi, dan lain-lain); dan sebaliknya, secara etika seharusnya tidak “boleh” meledek atau menghina CACAT FISIK seseorang karena bagian itu merupakan anugerah Tuhan dan setiap orang tidak dapat memilih untuk memiliki bentuk fisik yang sempurna atau menurut keinginan tiap individu. Dengan kata lain, meledek atau menghina cacat fisik dapat diartikan sebagai “menghina” anugerah Tuhan.
Tetapi, paradoks yang kemudian terjadi adalah: sungguh berbahaya jika humor harus dibayang-bayangi istilah-istilah seram seperti: tidak boleh, dilarang, jangan, tabu, kurang ajar, dan sebagainya…..secara psikologis, kata-kata itu sangat telak akibatnya: mematahkan daya kreasi dan kreativitas sang praktisi. Pilihan yang coba ditawarkan ini mungkin akan memompa lagi semangat berkreasi kita: tidak ada yang tidak boleh dalam berhumor; segawat atau serumit apapun tema yang dipilih – seharusnya – semua boleh-boleh saja, namun ada syaratnya; yaitu soal tanggung jawab estetika (urusannya dengan bagus tidak bagus, sembodo tidak sembodo, elegan tidak elegan, dewasa tidak dewasa, ya…estetik tidak estetik-lah) dan dalam semua cabang seni apapun, bila sang kreator tidak mampu menyuguhkan estetika yang sembodo, tetap saja akan membuat penikmat jengah dan kadang marah-marah.
Ada dugaan, seperti itulah suasana hati yang dirasakan Sdr Effendi saat menyaksikan pertunjukan acara humor itu (saya sendiri belum menonton acara itu). Sudah temanya gawat (padahal dengan tema Pancasila dan agama, maunya si kreator sih bikin sensasi supaya menarik perhatian), idenya lemah (karena dangkal dan asal dianeh-anehin: misalnya berdoa dengan mendengkur….), estetikanya pun payah; bagaimana orang tidak mencak-mencak dan mau marah?
Hal-hal lain yang menjadi ganjalan kreativitas adalah sistem nilai yang berlaku secara berbeda di tiap suku dan suku bangsa. Apalagi, di Indonesia. Tiap kreator harus pandai-pandai membawa diri. Kasus yang ambigu juga dan berbuntut polemik yang rada “menggelikan” karena adanya silang arus interest adalah yang menimpa Butet Kartaredjasa setelah membawakan monolog Deklarasi Pemilu Damai 2009 pada Rabu Malam, 10 Juni 2009. Seperti pengakuannya sendiri, ia mendapat banyak pujian, sekaligus cacian karena materi monolognya itu membuat tidak berkenan salah satu peserta Pemilu Damai, yang sebelumnya pernah nanggap Butet dengan tema yang berbeda. Kalau suami istri mungkin saja layak jika sang istri uring-uringan melihat suaminya bergandeng tangan dengan wanita lain, tetapi hubungan antara si penanggap dan yang ditanggap (dalam konteks profesional) tentu tidak seposesif itu, kan?
Untunglah, di lain hal, ada juga semacam “atmosfer” yang agak membangkitkan semangat dan pencerahan setelah membaca tulisan Indra Tranggono di harian Kompas, 20 Juni 2009, yang berjudul “Negeri yang Suka Tertawa”. Saya kutipkan bagian yang mungkin inspiratif buat kita semua, “Maka ketika politik macet dan hanya menjadi jagat ‘jual-beli’ kekuasaan, seni lawak perlu tampil dengan semangat dasarnya yang kritis, cerdas, visioner dan elegan. Seni lawak mampu menjadi medium yang akan mengembalikan publik pada esensi kemanusiaannya. Pada pemulihan manusia…..dst.”
Sedikit hal yang agak mengganggu dalam tulisan itu, misalnya menyebut pelawak sebagai joker. Sejauh yang saya tahu, kata joker, lebih banyak dipahami sebagai si “biangkerok”. Seperti sepak terjang Batman dalam menumpas kejahatan selalu diganggu oleh si gila Joker. Kata comedian mungkin lebih pas untuk pelawak dan clown untuk badut.
Peta Lawak Indonesia
Quo vadis seni lawak Indonesia? Seperti apa bentuk “peta”-nya saat ini? Pertanyaan ini sungguh tidak mudah menjawabnya. Setebal apapun saya memakai kaca mata, saya tetap tak mampu melihat tampilan peta lawak Indonesia dengan jernih. Gambarnya kabur, buram dan kadang kosong sama sekali. Namun bila kita mencoba melihat lawak Indonesia dalam konteks industri (budaya/kreatif), lagi-lagi perspektifnya bergerak menuju Jakarta. Jujur saja, di kota ini peta lawak berbasis industri itu terlihat agak terang. Mungkin di kota-kota lain (daerah) ada tanda-tanda munculnya pelawak tunggal atau grup CC (coba-coba), tetapi itu tak sesemarak atau seheboh munculnya grup band IB (indie banget). Mengapa bisa begitu? Ya, karena main band relatif tidak sesulit main lawak (dalam konteks CC dan IB tadi). Bahkan seorang pengamat humor Amerika bilang, “Mati itu gampang sekali, tapi melawak sulitnya minta ampun, meck!”
Untuk sekadar kasus, penjaringan pelawak berbakat seluruh Indonesia lewat penyelenggaraan Audisi Pelawak Indonesia (API) oleh TPI (yang hingga tiga gelombang, bila tak salah ingat), tetapi kecenderungan mutu out-put-nya terus-menerus menurun, maka jelas tidak menutup kemungkinan bahwa daerah pun banyak yang dilanda kegersangan bakat. Kalau Miing Bagito bilang, dalam 10 tahun bisa saja lahir 100 doktor berkualitas, tetapi untuk pelawak berkualitas paling cepat hanya satu atau dua orang.
Asumsi Miing itu nyaris pararel dengan fakta yang terjadi pada acara penjaringan bakat bila dibandingkan antara menyanyi dan melawak. Yang menyanyi tetap saja berlangsung mulus hingga sekarang, sementara yang melawak justru di-stop karena degradasi mutu yang terjadi cukup ekstrim. Syafrizal dari TPI yang diserahi tugas sebagai kepala sekolah di kamp karantina para pelawak yang masuk seleksi 15-20 besar di Cibubur, pernah terlihat sangat bersemangat ketika mengetahui SDM calon juara di API Pertama. Ia bahkan berkeinginan mengajukan proposal ke atasan untuk mengubah kamp karantina menjadi sekolah lawak resmi yang dilengkapi kurikulum, silabus dan pengajar yang kompetens; namun melihat perkembangan di tahun-tahun berikutnya yang mutu SDM-nya semakin merosot, ia tak pernah menyinggung-nyinggung lagi impiannya itu.
Bagi saya pribadi, kasus ini tidak aneh. Bagaimana mau memanen kalau kita tidak pernah menanam? Dugaan kasar saja, di tiap kota, taruhlah setingkat kabupaten atau kota, bukan tak mungkin di sana ada sekolah yang mengajarkan seni suara dan seni musik; juga bukan tak mungkin ada guru les privat yang mengajar seni vokal? Pertanyaannya, adakah sekolah yang mengajarkan seni lawak? Adakah guru privat yang mengajar seni melawak? Bagaimana mungkin kita berharap dengan sekonyong-konyong daerah memiliki calon-calon pelawak berbakat? Secara bergurau, orang-orang akan serta merta bilang, “Mimpi ‘kali, ye?”
Salah satu pilihan yang mungkin masuk akal dan terukur, bila kita memulai dari sekarang menyemai bibit yang baik, menanam dan kelak memanen hasil: calon-calon pelawak berbakat. Kandidat-kandidat semacam itu tidak dapat dipecayakan dan diserahkan semata-mata kepada kelompok-kelompok lawak yang kadang ada di tiap-tiap kota. Mereka mungkin hanya sibuk di ranah sosialisasi; tetapi nyaris tak pernah peduli pada penyelenggaraan pembelajaran dan pembekalan profesional dalam arti seluas-luasnya.
Sisi lain yang penting diagedankan adalah mengubah pola pikir. Selama ini para pelawak senior selalu menciptakan mitos bahwa melawak tak dapat diajarkan atau dipelajari. Pelawak hanya muncul karena bakat. Maka semua kita termakan oleh mitos tersebut. Pada tataran teknik tampil, blocking, jeda, dan artikulasi vokal, bukankah di ilmu teater atau ilmu akting pada umumnya sudah ada, pelawak yang mau ngintip sedikit ke sana akan mendapatkan manfaat yang tidak sedikit. Yang membedakan secara prinsip antara lawak dan teater adalah teknik improvisasi. Di lawak sangat dianjurkan untuk mahir berimprovisasi asal menghasilkan ger yang membangun suasana; sementara di teater, dibolehkan pada situasi yang sangat stag atau darurat itupun hanya untuk jembatan sementara menuju alur naskah yang sudah disepakati dalam latihan yang panjang.
Selain persoalan teknik dan improvisasi di atas, akan menjadi bernilai lebih pula bila si pelawak juga punya keahlian khusus lain; misalnya: menyanyi, memainkan alat musik, bermain sulap, melakukan atraksi-atraksi sensasional tertentu, melafazkan logat berbagai bahasa suku atau bangsa yang popular dan akrab di telinga masyarakat.
Ada anggapan pula, bahwa melawak itu tidak memerlukan skenario. Mungkin benar, tetapi tidak demikian pengertiannya. Sebelum tampil setiap pelawak atau grup lawak tetap membutuhkan konsep. Konsep ini dapat berupa sinopsis (ringkasan cerita), dapat pula berupa story line (atau disebut juga treatment). Dalam story line kadang ada sepenggal dua penggal dialog; bagian ini pun tidak mengikat pelawak untuk membawakan dialog secara persis apa yang tertulis; pelawak dapat menyerap isi dialog dan ia dapat membawakan dengan “bahasa”-nya. Bahasa miliknya.
Ada pula anggapan bahwa improvisasi itu soal nanti saja yang terjadi di atas panggung. Salah besar! Improvisasi yang bernilai tidak datang tiba-tiba; ia memerlukan persiapan yang matang. Persiapannya adalah banyak membaca, menonton, menyerap situasi, mengkritisi berbagai persoalan yang miring dan kurang beres. Bernilai tidaknya improvisasi seorang pelawak ketahuan dari wawasan intrinsiknya. Kelihatannya sih, refleks saja, tetapi sesungguhnya pelawak yang improvisasinya bagus, dia selalu siap konsep di dalam kepalanya. Gampangnya ngomong, kalau saldonya di tabungan minim, jangan mimpi bisa narik duit di ATM dalam jumlah besar.
Untuk keperluan take (pengambilan gambar), di beberapa stasiun TV Indonesia pada umumnya , seorang sutradara biasanya sudah memegang sesuatu yang disebut FOD (Flow of Directions) berupa breakdown cerita dan arus masuk-keluar pemain: ke/dari panggung (in-out frame). FOD itulah yang digunakan untuk mentaklimat (mem-brief) para pelawak dan bintang tamu (tunggal/grup/maupun galatama) selama tak lebih dari 15 menit.
Bayangkan, seperti yang pernah saya tulis dengan judul “Lima Belas Menit, Keajaiban Seni Lawak”, pelawak atau bintang tamu yang tak tahu ba-bu-nya cerita, begitu datang langsung di-make-up; usai make up langsung di-brief; usai briefing langsung main di stage (panggung tempat shooting diselengarakan). Semua mengalir seperti air terjun. Tidak ada latihan, tidak ada kesempatan sharing ide. Dan uniknya, shooting berjalan lancar, stock shot pun kemudian siap di tangan petugas post pro; nyaris jarang atau bahkan hampir tidak pernah ada pengulangan take. Bayangkan pula, bagaimana proses produksi yang terjadi di teater, berapa lama diperlukan untuk reading, blocking dan lain-lain hingga ke titik di mana setiap pemain siap pentas di atas panggung?
Proses selanjutnya stock shot itu masuk ruang post pro untuk diedit, diisi music, diberi grafis (tulisan), di-mix (gabung) dengan iklan (commercial break) dan lain-lain; tiga atau lima hari kemudian langsung bisa tayang. Betapa paket-paket yang pola penggarapannya bernuansa industrial ini sangat berkejaran dengan waktu. Anda belum membayangkan kesibukan di studio kaitannya dengan pembangunan set (yang harus knock down), tata lampu, kamera dan yang tak kalah hebohnya soal kostum. Kalau kebetulan temanya zaman-zaman kerajaan atau zaman yang akan datang serba futuristik, kehebohan di bagian wardrobe (kostum) tak kalah dengan persiapan kreatif dan crew pengambilan gambar.
***
Impian Indra Tranggono untuk dapat melihat seni lawak Indonesia yang tampil dengan semangat dasarnya yang kritis, cerdas, visioner dan elegan, bukan mustahil direalisasi, jika pelawak kita juga punya komitmen yang kuat pada mutu. Mutu dalam seni lawak, jangan disalahartikan; ia tidak lalu diwujudkan lewat omongan pelawaknya dengan bahasa ilmiah yang ndakik-ndakik atau kritik sosial dengan mata mendelik-ndelik, tidak. Antara tema, ide, dan estetika seyogianya berjalan seiring, wajar dan proporsional.
Menurut rujukan yang ada, faktor-faktor yang terdapat dalam sebuah pertunjukan lawak bermutu umumnya memenuhi standar: kebaruan tema/ide, lelucon yang sehat, kritik sosial lewat kecerdasan daya ungkap, nilai pendidikan, potensi yang mampu mengeliminasi agresivitas berlebihan dan dapat menjadi media katarsis bagi masyarakat.
Penampilan Quartet S dari Malang di TVRI pada tahun 1980-an awal atau Srimulat pada tahun yang sama; khususnya saat almarhum Gepeng masih bergabung, dapat menjadi rujukan yang inspiratif, betapa pertunjukan mereka sangat genuine dan menarik sekali sebagai tontonan.
Darminto M Sudarmo, pemerhati lawak.

Note: Tulisan ini adalah materi yang dibawakan penulis dalam "diskusi" lawak yang diselenggarakan oleh Jojon Center bekerja sama dengan Yayasan Umar Kayam dll di Padepokan Bagong Kussudiardja, Yogyakarta, 27 Juni 2009.

Saturday, July 4, 2009

SARI IKUT KAMPANYE



Cerpen Nadjib Kartapati Z.


Dengan iming-iming sembako, akhirnya Sari mau juga ikut kampanye. Di lapangan kabupaten, sembilanbelas kilo meter dari desanya. Bareng teman-teman, beramai-ramai naik truk, berdiri berdesak di bak.

Sari mengenakan celana panjang. Agak ketat. Seketat kaosnya. Lekuk-liku tubuhnya, dari mulai pundak, dada, perut, hingga pinggang dan pinggul, tampak lebih nyata karena pakaian ketatnya. Mata lelaki pada melotot melahap tubuh indah itu. Tapi Sari tak menyadari. Lebih pasnya, tak peduli. Teman-temannya menyebutnya gadis tomboy. Toh begitu, mereka memujinya cantik.

Sari ikut mengayun pinggul ketika musik ndang-ndut koplo itu menendang-nendang kuping. Lagu Kucing Garong, didendangkan penyanyi dari Solo. Alangkah senangnya ikut kampanye. Sudah dapat sembako, naik kendaraan gratis pula. Bisa kumpul teman dan banyak orang, masih dihibur musik dan penyanyi seksi.

Wah, bagi Sari ini tidak cuma pesta demokrasi. Juga pesta musik, pesta joget, pesta decak kagum pemuda begajulan yang geleng-geleng memandang indah tubuhnya.

Tapi, setelah penyanyi dan pemusik itu turun dari panggung dan digantikan seorang politisi, semuanya berubah. Semua jadi membosankan.



Di jantung kota Semarang. Di rumah gedongan. Di dalam kamar rias yang menyerupai salon pribadi. Di situlah Sari duduk manis di depan cermin. Nia, sang perias itu, sibuk mencari-cari gaun yang ideal untuknya.

Sebentar kemudian, ketika Refan, lelaki muda perlente itu menjelaskan tentang pekerjaan yang harus dijalaninya malam ini, Sari muntab. Ia melotot.
“Apa? Saya mau dijadikan pelacur?”
“Apalah sebutannya, yang penting asal jangan menyulitkan!” jawab Refan.
“Ndak! Ndak sudi! Mas Didik janji sama saya mau kasih kerja jadi asisten. Mending jadi pembantu ketimbang jadi begituan!”

Ada gelagat Sari mau kabur. Refan cepat menangkap bahunya ketika Sari beranjak. Nia mengunci pintu kamar dan mengantongi kuncinya.

“Kamu sudah masuk rumah ini, Sari. Bagaimana kamu bisa keluar, tergantung negomu sama lelaki yang booking kamu!” kata Refan.

“Lelaki yang booking?”

“Iya, langganan tetap Tante Anggi itu. Dia ‘kan paling suka sama daun muda. Orangnya yang tadi itu, yang menepuk-nepuk pundak kamu.”

Tanpa terduga Sari menyentakkan tangan Refan dan menendangnya. Refan mundur tanpa keseimbangan.

“Kamu ndak bisa maksa saya!” jerit Sari melengking.

Seperti kesurupan, Sari kalap mengobrak-abrik seisi ruangan. Ruangan yang semula tertata rapi jadi semerawut. Kursi rias jempalitan. Kaleng hair spray dan sisir-sisir berjatuhan. Bedak, lipstick, kacamata, berhamburan. Berpegang pada tiang gantungan baju, Sari berancang-ancang. Saat Refan menyergapnya lagi, ia jatuhkan gantungan baju yang bulat bagian atasnya itu. Dengan cepat ia menyambar gunting dari troli. Nia memekik dari pojok ruangan.

“Jangan macam-macam kamu!” gertak Refan.

“Refan! Awas, dia nekat!” pekik Nia.

Refan mengelak, tapi kurang perhitungan. Saat disergap dari samping, Sari memutar tubuh sambil mengibaskankan tangan kuat-kuat. Lengan Refan tergores ujung gunting. Berdarah. Tak hanya itu, jakunnya keras tersikut. Refan mengerang kesakitan.

“Refan, Nia... ada apa? Buka pintunya! Buka!” teriakan dari ruangan lain, beradu dengan suara gedoran pintu berulang-ulang. “Buka, Refan! Buka! Ada apa ribut-ribut?”

“Ayo, kalau masih pengin maksa, maju!” ancam Sari.

“Refaaaan!”

Pintu terbuka. Perempuan setengah baya bernama Anggi itu muncul dan terhenti di ambang. Tampak langsung tercekat. Sari tak menyia-nyiakan. Gunting di tangannya mengarah ke wajah pemilik rumah gedongan itu.

“Tante Anggi, masuk atau menyingkir!” ancamnya.

“Telpon polisi! Suruh lempar si jalang ini ke penjara!” pekik Anggi.

Sari mendorong kuat tubuh Anggi hingga perempuan itu terjengkang. Ia melompat dan lolos. Refan mencoba membuka pintu, kecele. Sari sudah menguncinya dari luar.

“Semprul!” rutuk Refan.

Sekarang, di sudut pagar, Sari harus berhadapan dengan Satpam yang berkumis tebal. Satpam sigap menyongsong. Sari gugup melihat pintu pagar yang terkunci.

“Ada apa, Non?”

Sari memutar otak untuk menyiasati Satpam.

“Mana kuncinya? Cepat, di dalam ada keributan. Perlu bantuan Bapak!”

Terbawa kepanikan Sari, Satpam mengeluarkan kunci dari saku celananya. Sari langsung menyambar dengan ketangkasan yang mengagumkan.

“Di dalam perlu bantuan segera! Cepat ke sana, Pak!”

Sari menyelinap keluar ketika Satpam bergegas melangkah ke rumah. Pas ketika itu sebuah mini bus behenti. Seorang lelaki meloncat turun.

“Sari! Sar!”

Sari membunuh langkah. Menoleh. Kontan matanya nanar melihat Didik. Dua perempuan cantik ikut turun dari mobil itu.

“Mas Didik jahat! Menjebak saya ke tempat seperti ini!” raung Sari.

Didik tertegun. Sari berlari lagi. Saat akan mengejar, dua perempuan tadi melarang. “Mas Didik! Ingat! Kita sedang diburu waktu! Tante Anggi bisa marah besar kalau meleset!”

Didik balik lagi, masuk mobil. Sari menghilang di tikungan.

Di pinggir jalan raya yang sepi, Sari memperlambat langkahnya, memegang dada sambil mengatur napas. Di wajahnya masih terpancar kegeraman sekaligus ketakutan.

“Mas Didik kebangetan. Dari jauh saya disuruh datang, hanya akan dijadikan pelacur. Dasar penipu!” gerutu Sari.

Lampu-lampu kota menyiramkan sinarnya ke wajah Sari. Ia melihat ke sekeliling. Tampak bingung menentukan arah. Ia tak pernah paham kota Semarang.

Sari terus berjalan, sampailah ia pada sebuah taman. Di sinilah para wanita malam itu nunggu rezeki dari lelaki iseng. Di pojok dekat gardu listrik ada pasangan yang tengah berhimpitan di atas sepeda motor. Di sudut selatan ia lihat ada yang mojok di bawah pohon. Di trotoar ada yang melambaikan tangan untuk kendaraan yang lewat.

Sari mulai mengerti tempat apa yang ia injak ini. Ia jadi linglung seperti orang kesasar. Kalau ada cermin, pasti ia bisa lihat betapa wajahnya penuh gurat kebingungan. Melihat halte bus, itulah tempat paling tepat untuk pelarian.

Pelan-pelan Sari duduk di sudut, di dekat tiang halte itu. Ia tahu, ada beberapa pasang mata yang memperhatikannya. Bahkan ada lelaki yang berdehem-dehem dan melontarkan sapaan tak sopan.

Di luar halte, seorang lelaki tanpa sungkan bicara pada temannya.

“Wah! Yang begini nih, yang bantingannya asyik!”

Lelaki lain dengan sengaja mendekati Sari, bicara di sampingnya.

“Lagi frustrasi, Mbak? Ditemenin, mau?!”

Sari berusaha tenang. Ia bergeming. Membutakan mata dan membudegkan telinga. Tapi, hatinya gaduh bukan kepalang. Aduh, kenapa jadi begini? Saya harus ke mana lagi sekarang? Gusti Allah, selamatkan saya!

Semata-mata demi menghindari lelaki iseng di sebelahnya, Sari berdiri, lalu menyeberang jalan. Ia menuju sebuah warung rokok yang cukup terang di pinggir trotoar sana. Ia mengajak bicara ibu tukang warung yang kemudian memberinya kursi.

Tanpa ia sadari, malam sudah larut. Ia terkantuk-kantuk di kursi warung rokok. Raungan sirine menggagalkan mimpinya. Sari tersentak, menyangka ada ambulan lewat. Padahal, sirine itu dari mobil patroli Tramtib. Sari masih tak paham apa yang terjadi. Ia malah tersenyum-senyum menyaksikan sejumlah perempuan yang tadi megal-megol itu berhamburan seperti tawon. Pada lari ngumpet, menyelamatkan diri. Petugas mengejar dan menangkap. Ada yang melawan, tapi toh sia-sia. Mereka digiring masuk mobil, menyerupai truk, tapi punya tangga di belakangnya.

“Aku bukan pe-es-ka. Aku lagi nunggu bus! Lepaskan!” protes perempuan yang tadi sibuk melambaikan tangan kepada setiap mobil yang lewat.

Sekarang giliran Sari. Begitu cepat, ia merasa dua orang petugas sudah menyengkal bahunya dan menggelandangnya. Sari memekik kaget. Memberontak.

“Mana KTP-mu?”

“Saya tidak bawa.”

“Naik!”

Tahu-tahu ia sudah dilempar ke mobil. Ia terduduk, menimpa perempuan tadi.
Sari berpikir, apa salahnya sehingga harus diangkut? Tapi kemudian ia juga berpikir, ke mana aku kalau tak diangkut? Bukankah mengikuti kemauan petugas itu justru lebih aman? Maka Sari pun duduk dengan manis.

Inilah saatnya petugas pembinaan mengintrograsi Sari. Gadis tomboy itu duduk menghadap petugas perempuan berseragam Pemda. Ia tatap mata petugas yang menginterogasinya itu dengan keberaniannya yang terpancar dari perasaan tak bersalah.

“Kamu masih terlalu muda. Namamu siapa?” tanya petugas perempuan itu.

“Sari, Bu.”

“Sari, bagaimana kamu bisa ikut-ikutan cari teman kencan?”

“Itu ndak benar, Bu.”

“Terus untuk apa kamu ada di taman malam-malam begitu?”

“Demi Tuhan, Ibu. Saya benar-benar baru datang dari kampung. Saya kabur dari tempat teman saya bekerja, karena disuruh jadi pelacur. Saya tidak tahu mau ke mana.”

“Kalau memang dalam kesulitan, kenapa tidak segera lapor petugas?”

“Saya bingung, Ibu. Saya takut malah dipenjarakan!”

Ibu petugas tersenyum.

“Sebelum ini kamu pernah kerja?”

“Belum pernah, Ibu. Karena itu, waktu teman saya bilang mau kasih kerjaan, saya datang ke sini. Ternyata mau dijadikan pelacur.”

“Kamu masih gadis?”

“Ya masih’lah, Bu. Saya siap diperiksa kalau diperlukan.”

“Baik, Sari. Sekarang... coba tunjukkan alamat temanmu.”

Sari mengangkat wajah, teringat sesuatu. Dia lalu bangkit untuk mengeluarkan selembar kecil catatan dari saku celananya, lalu memberikannya kepada ibu petugas.

“Ini nomor telponnya, Bu. Tapi jangan bilang dari petugas, nanti dia kabur. Jebak saja, Bu. Suruh polisi tangkap dia!”

Ibu petugas menerima catatan itu.



Bagi Sari, bahkan, kampanye itu tak sekadar membosankan. Tetapi juga memberinya kejutan. Lelaki bersafari di atas panggung, yang kini tengah pidato sebagai calon legislatif untuk daerah pemilihannya itu, pernah menepuk-nepuk pundaknya sewaktu di rumah Tante Anggi, dua tahun lalu.

Jakarta 2009.

Monday, June 29, 2009

Parade Ilustrasi oleh Djoko Susilo



Wednesday, June 17, 2009

Wanita Pelawak

Penghibur atau Pengocok Perut


Oleh Darminto M. Sudarmo

MELAWAK adalah profesi menghibur. Tetapi wanita pelawak berbeda sekali substansi maknanya dengan wanita penghibur. Di kesenian ludruk, lengger dan sejenisnya, pada mulanya tidak menyertakan wanita karena alasan budaya dan nilai sosial yang berlaku saat itu; namun kini, dalam perkembangannya, peran wanita menjadi sangat penting dan tidak di-“tabu”-kan lagi.
Titik tumpu yang ingin kita bicarakan dalam forum ini adalah wanita sebagai pelawak atau komedian. Dilihat dari jumlah atau kuantitasnya memang tak sebanyak pria yang menjadi pelawak; namun harus diingat, apa yang pernah dan tengah dicapai para wanita yang menjadi pelawak di negeri ini, cukup memadai untuk dikatakan: lumayan.
Wanita pelawak legendaris seperti Ratmi B29, adalah figur yang penuh dedikasi dan kuat dalam stilisasi. Ia sangat menonjol dalam eranya. Sebutan pelawak atau komedian untuknya sangatlah pas dan tidak bias.
Seiring dengan perkembangan dunia pertelevisian, sosok pelawak acapkali menjadi bias karena, si pelawak kadang lebih menonjol sebagai presenter atau entertainer. Sebut misalnya nama Ulfa Dwiyanti. Sebagai pelawak ia layak; namun, sebagai presenter dan entertainer ia lebih layak lagi. Ini cukup “membingungkan” kategori.

***

SEBENARNYA pelawak itu apa? Pertanyaan ini sungguh tidak sederhana. Tak heran bila Indro Warkop DKI, pemimpin umum Persatuan Seniman Komedi Indonesia (PASKI ) melihat pengertian pelawak atau komedian dalam perspektif yang lebih akomodatif; tidak dibatasi oleh pengertian harfiah semata; sehingga seorang penulis naskah lelucon untuk lawak, sutradara lawak, kelompok kreator yang bekerja di bidang kreatif, kelompok artistik dan siapapun yang terlibat dalam proses produksi lawak dapat menjadi anggota PASKI.
Kelonggaran ini tidak mustahil muncul karena kesadaran akan perkembangan yang terjadi dalam kesenian lawak itu sendiri. Seni lawak tidak dapat menafikan peran industri yang integrated dengan jiwa dan ekspresinya. Apalagi ketika TV menjadi salah satu media ekspresi andalannya. Bargaining yang terjadi adalah lawak menjadi bagian dari industri budaya; oleh karena itu, konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung dan dikalkulasi adalah ia harus menjadi sebuah pilihan profesi.
Seperti halnya profesi-profesi lain, apalagi yang sudah mendeklarasikan diri sebagai perkumpulan, tentu memiliki kode etik, memiliki anggaran dasar dan rumah tangga. Begitu juga di PASKI.
Sesungguhnya, lahirnya perkumpulan dengan format yang lebih moderat dan modern ini pantas disyukuri oleh anggotanya. Sebuah format organisasi yang fleksibel mengantisipasi dan menghadapi tantangan di masa depan yang lebih kompleks.

***

PAYUNG organisasi ini juga sangat bermanfaat bagi wanita-wanita pelawak. Bila terjadi diskriminasi yang menimpa mereka, organisasi telah menyediakan pengacara untuk membantu advokasi atau konsultasi hukum. Pihak-pihak yang menjadi kolega para wanita pelawak dalam menempuh karier seperti broadcast, rumah produksi, penanggap off air, akan berpikir seribu kali jika punya niat tidak profesional, misalnya.
Ini artinya, karier sebagai pelawak atau komedian atau presenter kocak atau entertainer bagi para wanita, tersedia lorong pilihan yang cukup menjanjikan. Bila nilai sosial dan kultur kita melihat wanita seyogianya muncul sebagai sosok yang anggun dan elegan, apakah menjadi pelawak harus berkostum dan bertingkah laku seperti badut?
Stilisasi yang cocok bagi wanita pelawak mungkin tersedia berjuta pilihan; tetapi sebagai spirit untuk mencapai karier yang anggun dan terhormat, seyogianya bila tiap pelawak mencanangkan semangat untuk menjadi diri sendiri: menjadi aku yang pertama; bukan Ratmi kedua, bukan Ulfa ketiga atau Nunung kelima dan seterusnya.
Bagaimana jalan untuk mencapai itu? Hemat saya, seyogianya si aku berekspresi sesuai dengan naluri dan kodrat estetik yang dimilikinya. Gaya Ratmi B29 dalam melucu jelas berbeda dengan Ulfa. Ratmi wanita yang bertubuh gemuk dan tembem, kemudian bergaya seakan-akan ia adalah gadis manis yang kemayu (genit), dengan sendirinya menimbulkan kontraksi-kontraksi persepsi di benak penonton. Kontraksi-kontraksi persepsi inilah yang menjadi pendorong terciptanya suasana kelucuan.

***

SEPERTI sekilas kita singgung di atas, tampaknya, makna pengertian penghibur, telah menjadi bias dan baur; sebias dan sebaur yang terjadi dengan makna dan pengertian kata pelawak. Selama ini, yang disebut pelawak, baik perseorangan atau grup, adalah penampil kocak di sebuah pertunjukan. Apakah ia/mereka tampil dengan membawakan “lakon” (naskah runtut) atau potongan-potongan ide yang muncul secara spontan.
Dalam perkembangan industri pertelevisian, tampilan pelawak atau para pelawak di panggung (stage) itu diambil gambar (tape); kemudian setelah melewati sentuhan pasca produksi, lalu ditayangkan sebagai salah satu bagian dari acara TV.
Ternyata, sang pelawak yang kemudian popular dan punya selling point lumayan ini, dipercaya juga untuk menjadi presenter. Maka ketika Anda menyaksikan acara talk show “Empat Mata” di Trans 7, dan Tukul Arwana yang notabene seorang pelawak itu bertindak sebagai presenter, Anda bertanya dalam hati, “Lho, Tukul itu lagi ngelawak atau mimpin acara?”
Pertanyaan itu sebenarnya penting tidak penting; bagi penonton, yang paling penting acara itu dapat memberikan hiburan atau tidak. Tukul berhasil mengantarkan acara itu dengan enak atau tidak.
Menyimak dari fakta dan perkembangan yang terjadi di dunia hiburan, orang tak perlu bingung dengan bertanya-tanya: Tesa Kaunang itu pelawak atau artis? Dorce itu pelawak atau entertainer? Anya Dwinov itu pelawak atau presenter? Tike Priatna Kusuma itu pelawak atau artis? Virnie Ismail itu pelawak atau artis? Tika Panggabean itu pelawak atau presenter? Pretty Asmara itu pelawak atau artis? Dan jawaban yang sesuai dengan fakta menunjukkan; mereka pandai menghibur pemirsa atau penonton. Itu saja. Lalu haruskah untuk menjembatani kebiasan dan kebauran istilah pelawak dan lain-lainnya itu, mereka disebut sebagai penghibur?
Tampaknya, kata ini secara historis punya konotasi yang kurang enak didengar, tapi kita kan tidak pernah kekurangan akal. Orang pun lalu mengambil jalan tengah, untuk profesi pelawak dan lain-lainnya yang campur baur itu, dengan menyebut mereka sebagai: entertainer! Anda boleh setuju, boleh juga tidak; namanya juga campur-baur!
Begitulah, kalkulasi dari sebuah profesi tak dapat dipisahkan dari kalkulasi industri pertelevisian yang penuh perhitungan untung-rugi. Dari kalkulasi bisnis yang ketat itulah akhirnya melahirkan “kreativitas” broadcast yang nyaris tanpa batas. Bahasa candanya, siapapun selebriti yang lagi laku dijual, dapat di-set up untuk menjadi apapun. Pelawak atau artis atau apapun, dapat nyeberang ke penyanyi, ke presenter, ke sutradara, ke penulis naskah, ke produser, ke apapun dan sebaliknya, asalkan oke dan laku dijual.

Esais adalah peminat masalah humor, penulis dan wartawan. 


 Hiburan Selingan Lihat Kartun di Bawah

    

  
  

Tuesday, June 9, 2009

Romantika Salju by Ross Thompson

Monday, May 25, 2009

Natural Energy by Fu Hongge

The Gondez Ambelgedez (3)

The Second Kesurupan


Oleh Darminto M Sudarmo


Dul Goen, Jimat, dan Jupri tengah sibuk menulis di buku catatan masing-masing, ketika terdengar Pokal menguap. Sekali, dua kali, tiga kali, dan seterusnya. Mula-mula tak dihiraukan benar oleh ketiga pemuda itu. Tetapi pada uapan ketiga dan seterusnya mereka merasakan nada-nada suara yang tidak beres. Suara itu kian mengecil, dan akhirnya mereka rasakan sebagai suara perempuan.

Apa Pokal mendadak jadi bencong? Rasanya ketiga mahasiswa pejantan itu sepakat, bahwa selama bergaul dengan Pokal, selama ini pula tak pernah mereka saksikan tingkah Pokal yang rada-rada menor, apalagi keperempuan-perempuanan.

Dengan sudut mata terpicing, tetapi juga sedikit rasa was-was, ketiganya terus memperhatikan perkembangan yang terjadi pada diri Pokal. Terutama gaya tidur dan gelisahnya. Dan benar juga dalam pandangan mereka terlihat tingkah Pokal yang berkecenderungan seperti perempuan. Sikap tidur, tengkurap, miring atau telentangnya. Posisi tangan, posisi menaruh lutut dan sebagainya. Semua terasa berubah. Dan ketiganya pun sepakat mengambil kesimpulan, Pokal telah menjadi wanita.

Tapi apa yang sesungguhnya terjadi?

Ruh Den Rara Cangik, seorang doktor ilmu Gengsi, yang ketika hidup centilnya enggak ketulungan, dan senang lirak-lirik kepada para mahasiswa, terutama yang berwajah kampungan dan wagu, masuk ke tubuh Plokal.

Kini lewat tubuh Plokal, dia dapat merasuk ke sumsum tulangnya. Hingga sulit membayangkan berada di mana ruh Pokal sendiri. Andaikata tubuhnya merupakan rumah, boleh jadi cuma dapat bagian tempat yang jorok di gudang samping atau belakang. Dan Den Rara Cangik malang-melintang sebagai tamu tak diundang, menguasai seluruh ruangan.

Gaya penampilan Pokal yang sempurna menjadi Den Rara Cangik, sungguh membuat ketiga sahabatnya sedih tak terkira. Dalam hati mereka berharap-harap semoga dirinya tak dihinggapi kegemaran gampang tidur atau tidur-tiduran sambil berkhayal yang mokal-mokal.

Barangkali saja Pokal memang lagi memetik buah usahanya untuk prestasinya yang sekian lama bisa mempertahankan hobi dan kegemarannya tidur atau tidur-tiduran hingga mencapai tingkat nyaris sempurna. Atau barangkali ruh para leluhur sedang tertarik memanfaatkan tubuh dan rumahnya yang selalu ditinggal ngeluyur itu. Tak ada yang tahu pasti.

Bisa pula di dunia ruh para intelektual sedang terjadi kegelisahan hebat menyaksikkan kiprah lembaga perguruan tinggi kini yang tampaknya berkembang semakin aneh dan tak jelas maunya. Lalu seorang atau sebagian orang, yang lagi gemas soal citra itu, tak dapat menahan diri meski mereka telah jadi ruh atau dedemit sekalipun.

Pokal membuka mata pelan-pelan, sambil meningat-ingat keberadaan dirinya. Menoleh ke kanan dan ke kiri. dengan sorot mata penari Bali. Pelan-pelan pula dia mengangkat kepalanya begitu menyadari sekelilingnya, agak tersipu dan beranjak ke cermin dengan langkah melenggang. Menyisir rambut pelan-pelan pula. Gerakannya demikian lembut. Memantas-mantas bibir dan alis mata, lalu menoleh ke arah tiga pemuda yang menatapnya dengan pandangan penuh kasihan.

"Kalian sudah kenal aku bukan? Ya akulah ini Den Rara Cangik. Meskipun prestasi akademik baru mencapai gelar doktor tapi aku merasa tak begitu malang. Dan yang lebih dari itu semua, aku mencintai tugasku sebagai pengajar pada Universitas Gondolumayit. Kalian semua boleh mentertawakan karena Ilmu Gengsi yang akan aku ajarkan seolah berkesan main-main, tetapi itu merupakan perangkat vital yang tak boleh disepelekan.

“Sebagaimana yang sudah-sudah, setiap bel pergantian pelajaran, aku selalu datang tepat pada waktunya. Urutan yang lazim untuk giliranku, selalu jatuh setelah si tua bangka Prof. Durgandana yang genit dan suka ngomong nyelekit itu. Nah, apakah kalian sudah siap semua?"
Dul Goen, Jimat, dan Jupri masih ragu-ragu. Mereka saling pandang satu sama lain. Pada saat itu, terasa pikiran mereka demikian buntu. Akhirnya mereka cuma terbengong-bengong saja.
Den Rara Cangik tahu gelagat itu. Dengan penuh rasa sayang dan kelembutan dia berkata.
"Oh ya, barangkali kalian masih dihinggapi stress. Racun apa sebenarnya yang telah diberikan oleh si tua bangka profesor gila itu? Cobalah anak-anak manis katakan saja, banyak yang tak beres dalam sinar mata kalian.”

Kelembutan yang terangkai demikian memikat itu bukannya menerbitkan rasa keakraban bagi ketiga mahasiswa itu, sebaliknya justru semakin menambah rasa ngeri mereka.

Bunyi suara wanita yang mengejutkan itu keluar dari tubuh seorang anak muda yang gendut mirip boneka. Gerak-gerik yang anggun penuh pesona itu justru muncul dari figur lelaki gendut yang tak punya porsi keindahan sama sekali. Istilah seni rupanya: estetika yang tak matching.
Keseluruhan upaya Den Rara Cangik untuk tampil sefeminim mungkin, justru rusak dalam genggaman hukum alam yang menghendakki keseimbangan dan keselarasan. Den Rara Cangik dengan tubuh Pokal berada dalam ambang kontradiksi dan kesumbangan yang membikin orang jadi jengah menyaksikannya. Jengah mendengarnya. Sebuah paket kodrat yang tak mengenakkan hati.

Ketiga mahasiswa itu semakin menggigil. Takut pada trauma Prof. Durgandana. Takut bila dibentak dan ditelanjangi tanpa ampun.

"Aneh sekali kalian ini. Kalian anak muda berbakat. Banyak potensi yang belum tergali tetapi kenapa kalian bertingkah laku amat memalukan begitu? Apakah kalian belum pernah diajar etika bergaul? Terlibat sedikit basa-basi atau diskusi? Tidak logis! Cobalah katakan kepada saya, apakah Prof. kemplu itu telah menyelewengkan susunan saraf dan daya ingat kalian?"
Mereka masih terbengong-bengong, bukan lantaran meragukan kemampuan pengajar baru yang rupanya menyimpan permusuhan dengan Prof. Durgandana. Juga bukan karena dia hanya seorang doktor wanita. Tetapi perasaan kurang sreg itu memang benar-benar dirasakan oleh ketiganya.

Barangkali saja ketiganya telah lelah dan lapar, tetapi itu belum seberapa mengerikan bila dibanding dengan datangnya pelajaran-pelajaran aneh dan mengesankan teror yang drastis dan mengacau cara berpikir mereka. Atau bisa jadi memang rusak sama sekali.
Tetapi campur tangan para ruh terhadap manusia hidup membawa perubahan sendiri. Sedikitnya pengaruh yang amat halus. Hingga mereka merasa seperti terbang tetapi kakinya menginjak tanah. Terapung-apung antara alam nyata dan tidak nyata.

Tentu saja, kalau mau bilang terus terang mereka sesungguhnya jengkel juga. Hanya pada siapa? Membangkang pada tingkah ruh yang suka iseng itu berarti malapetaka bagi Pokal sahabat mereka yang kini jadi alat transportasi tingkat supercanggih para ruh. Itulah nasib Pokal. Sahabat yang supel, lugu, jujur dan tak pernah marah selama hidupnya. Tapi bila dia menyadari apa yang sebenarnya terjadi, bias-bisa akan marah besar jadi mainan ruh-ruh jahil.
Melihat reaksi ketiga anak muda yang masih tampak blo'onnya itu, Den Rara Cangik tak dapat mengendalikan diri untuk tersenyum geli.

"Hi hi hi, tak sangka tubuh yang besar, kuat dan sehat begitu bernyali kecoa. Kalau memang benar begitu kenyataannya, saya akan segera pulang dan lapor pada rektor bahwa hasil kesepakatan musyawarah itu cuma omong kosong. Keliru betul mereka bila menyangka batu pada benda yang sesungguhnya cuma kue bolu. Hi hi hi."

Dul Goen, Jimat, dan Jupri kaget besar menerima penuturan itu. Kali ini Jimat tak dapat berdiam diri.

"Tunggu dulu Nyai..."

"Husss!! Jangan panggil Nyai! Panggil saja Den Rara.” Bentak mesra Den Rara Cangik dengan senyum khasnya. Pancingannya berhasil.

"Baik Den Rara. Kami sungguh mohon maaf atas sambutan yang kekanak-kanakan tadi. Tapi satu hal, sebelum kami menerima pelajaran dari Den Rara, bolehkah kami tahu apa yang sesungguhnya tengah terjadi di Kampus Gondolumayit Anda?"

"O o o, soal itu gampang jawabnya. Tapi klian harus berterus terang dulu. Racun apa yang telah diberikan oleh monyet tua si Durgandana itu? Dia termasuk figur yang terus ducurigai oleh birokrasi kampus karena omongannya yang selalu ngawur dan menyakitkan hati. Dia pula yang selalu sesumbar tentang idealismenya yang masih murni. Lalu mengejek kami semua sebagai badut-badut yang bertopeng lembaga pendidikan tetapi sesungguhnya tak lebih dari..."
"Tak lebih dari apa Den Rara?" tanya ketiganya nyaris berbareng.

"Hah! Sebagai mahasiswa masa kalian tidak tahu sindiran seperti itu?"

"Sungguh betul Den Rara, mahasiswa generasi kami terlalu sibuk dengan urusan bayar kost, bayar kontrak rumah, kunjung pacar dan soal uang smester."

"Alaaaa jangan membanyol. Kalian pasti sudah tahu urusan yang begituan."

"Duh! Berani sumpah deh Den Rara, kami tak tahu sungguh soal-soal yang pelik dan berbelit seperti itu."

"Hi hi hi, aneh-aneh juga dunia ini. Tapi bila kalian benar-benar tak tahu, rasanya lebih baik tak usah mengenalnya. Berbahaya, nantinya malah bisa jadi racun yang berbisa."

Ketiganya saling pandang lagi. Lalu saling berbisik, kemudian tersenyum dengan sembunyi-sembunyi. Melihat gelagat yang curang itu, Den Rara segera menegur.

"Kalian bicara soal apa? Tak baik pakai model begitu sementara masih ada makhluk lain di sekitar kalian. Ketahuilah, dunia banyak perang karena model-model yang begitu itu. Kasak-kusuk, gossip dan bila lidah terpeleset lalu main fitnah. Bicaralah, aku rasanya juga ingin pula mengetahuinya."

“Maaf Den Rara, sesungguhnya kami sangat ingin tahu masalah tadi. Lalu karena Den Rara tak mau memberitahukan kepada kami, kami beranggapan bahwa Den Rara dan yang lain-lainnya memang benar seperti apa yang dituduhkan oleh Prof. Durgandana."

"Husssss!! Hati-hati buka mulut. Ketahuan sekarang, apa yang kusebut racun tadi; yang disebarluaskan oleh Profesor keparat itu. Eh maksud saya, Profesor pikun itu. Cara kalian beranalisis, cara kalian menghubung-hubungkan masalah, mengevaluasi dan menyimpulkan, persis betul dengan gaya Profesor gatal itu. Itu metode yang beracun anak-anak manis. Jangan sekali-kali kalian pakai. Berbahaya, sungguh berbahaya. Kalian tak bakal hidup tenteram, tak bakal tidur di kasur yang empuk, bila menghidupkan pola berpikir seperti itu. Tahukah kalian, di mana tempat paling sering dikunjungi oleh orang-orang yang senang main racun itu?"

"Mohon petunjuk Den Rara....."

"Penjara."

"Hah! Penjara? Apa hubungannya?!"

"Hi hi hi, kalian sesungguhnya memang masih murni. Masih mulus. Tokcer dan tanpa dosa. Sudahlah, bila kalian belum juga mengerti, lebih baik tak usah mengenalnya. Biar kelak bisa jadi pemuka masyarakat yang lurus, yang patuh, yang rajin, yang tak suka berontak, yang tak suka rewel, yang tak suka main kecam dan kritik. Yang bisa menjunjung atasan dengan penuh kesetiaan, dan membela bawahan dengan penuh cinta kasih."

Nada suara Den Rara kian serak, lalu berbalik keluh. Kemudian terdengar suara haru pilunya.
"Hu hu hu, sungguh sayang sekali bila bibit sebaik kalian harus terkena noda dan pengaruh sesat dari Profesor butut itu. Hu hu hu."

"Mohon maaf Den Rara," sela Dul Goen, "bila benar dan telah terbukti bahwa ajaran serta pelajaran yang dibawa Profesor Durgandana itu sesat dan menarcuni, kenapa Bapak Rektor lewat Bapak Menteri, eh kebalik, kuasa Bapak Menteri lewat rektor tak mengambil tindakan, misalnya memecat atau apa gitu."

"Itu yang kami tak berdaya. Prof. tengik itu benar-benar licin. Dia punya sekutu ratusan ribu mahasiswa. Berkuasa atau moral para mahasiswa. Maka segala tindakan yang bakal menyudutkan dirinya, selalu kena protes para mahasiswa. Ah sudahlah, kita tak usah membicarakan dia lagi. Pokoknya hati-hati saja sama dia. Ugh! Kepalaku agak pening, barangkali jatah waktuku hampir habis."

"Tapi.....tapi bukankah Den Rara belum memberi kuliah pada kami?"

"Lalu yang tadi itu....namanya apa?"

"Menurut yang kami tahu, namanya.....kasak-kusuk, gossip atau bisa juga disebut fitnah."

"Bah! Racun itu lagi."

Tubuh Pokal limbung lagi. Kini dengan gesit pula enam tangan itu telah memapah dan meletakkannya dengan baik di atas dipan yang suka bersuara riuh itu. Pokal kembali lelap dalam buaian tidurnya. Seperti tak pernah terjadi apa-apa, dan wajahnya tetap tenang dan damai. (Bersambung ke Bagian 4)

Monday, May 11, 2009

Chatting by Thomdean

The Gondez Ambelgedez (2)

Oleh Darminto M Sudarmo

Terengah-engah ketiganya menghadap sang Prof. sebelum secuil kata meluncur dari mulut mereka, Prof. Durgandana telah tahu apa yang harus dikatakannya.

“Inilah kebrengsekan berikutnya kenapa untuk bilang tidak punya, tidak berani?! Kenapa harus membuang-buang waktu untuk kepura-puraan itu. Sungguh tidak logis. Otak kalian memang ditaruh di dengkul. Tak pernah diajar ya bagaimana menyanggah sinyalemen?"

Dul Goen, Jimat, dan Jupri seperti ditelanjangi mukanya. Tapi tanpa komentar Prof. galak itu pun muka mereka sebenarnya sudah biasa dengan ketelanjangan.

"He, kenapa pada kemplu begitu? Jawab dong!"

"Ta....tapi apa yang harus kami jawab Prof?” tanya Jimat terbata-bata. Wajahnya tiba-tiba sendu. Jupri sudah dua detik yang lalu sesenggukan menahan tangis. Tak kepalang Dul Goen. Meski pun cuma kethap-kethip seperti monyet kehilangan handai tolan, pipinya telah basah oleh air mata.

Bentakan-bentakan profesor galak itu membuat mereka jadi nelangsa. Jimat ingat emaknya di kampung ketika dia digendong sambil dikudang-kudang saat masa kecil yang amat indah. Jupri terkulai dalam rasa pilu yang luruh, teringat simboknya yang telah pergi ke alam baka ketika usianya masih kanak-kanak. Dul Goen sebenarnya tak ingat siapa-siapa, tetapi melihat orang menangis, dia selalu tak bisa tahan, maka tangisnya kali ini sudah sekali dikategorikan termasuk jenis apa.

Melihat tingkah ketiga mahasiswa yang kelak bakal dikaderkan sebagai tokoh pelopor non-gelar, tetapi kolokan sekali, Prof. Durgandana tak bisa menahan amarahnya lagi. Kemarahan puncak. Kemarahan yang bisa menghancurkan gunung dan membelah langit . Lalu dengan gaya seorang guru besar yang amat abstrak, dia meloncat bangkit. Berdiri tegak di hadapan ketiga mahasiswa pilihannya dengan tangan gemetar menahan ledakan dinamit di dadanya.

"Bojleng, bojleng! Murid-murid tak punya guna nyaris saja kupanggilkan arwah Hitler buat menyembelih kalian semua!" Matanya menyala merah. Menatap ketiga mahasiswa yang duduk terbungkuk-bungkuk. Nyaris saja dia hendak menelan mereka bulat-bulat. Lalu ujarnya pula.

"Apa yang harus saya lakukan buat menghukum kalian? Menyerahkan ke Westerling atau kupenggal sendiri leher kalian dengan pedang samurai Musashi?"

Ketiganya masih melipat tengkuk. Prof. Durgandana kian naik darah. Maka segera bermunculanlah “lagu wajib”-nya dalam bentuk sumpah serapah menggunakan berbagai bahasa asing. Salah satu bahasa asing yang paling sering dia ucapkan waktu kesal adalah: sontoloyo!
Setelah kenyang mencaci cemooh, perasaannya jadi ngilu. Lalu sendu. Kemudian ingat anak cucu. Perasaannya yang paling dalam pun kini jadi tersentuh. Orang-orang yang dimarahi diam saja selalu mengundang belas kasihan. Menerbitkan rasa empati. Tetapi Prof itu tetap ingat, tugasnya kali ini adalah menggembleng mental ketiga kader itu supaya jadi tangguh. Supaya tidak cengeng dan gampang ngambek. Maka keterharuannya cuma singkat saja. Lalu kembali wajah garangnya menggelantung dengan liat.

"Sudah kukatakan kalau berani jadi mahasiswa jangan menyusu orang tua terus. Tak tahu malu! Pakai atribut, jaket, emblim, naik motor atau mobil berstiker universitas sambil mendongakkan kepala. Menganggap remeh atau melecehkan kanan kiri, terutama kepada orang-orang sederhana yang bekerja setulus hati, meski bentuknya butut dan kampungan, tetapi mereka telah berbuat bagi kehidupan dengan jitu dan otak waras. Sikap kalian itu sikap badut! Ngerti, nggak? Sebab yang kalian pakai, yang kalian naiki, yang kalian rasa miliki, semuanya kostum sementara untuk pentas di panggung. Itu pinjaman, itu sewa, dan, bukan kalian yang membayarnya; lalu apa yang bisa kalian banggakan sebenarnya? Diktat dan buku-buku tebal? Istilah-istilah sulit dan cara berpikir pelik? Atau gelar-gelar yang bakal berserakan di depan atau di belakang nama?"

"Ampun Profesor! Ampun.... berilah kami petunjuk." ketiganya kemudian berebut memegang kaki Pokal.

"Jadi kalian menganggap perlu apa yang kuberikan?"

"Benar Porf."

"Baik, sekarang jawab pertanyaanku dengan pola berpikir gila. Sekali lagi logika gila."

Dul Goen, Jimat dan Jupri segera mengambil tempat yang agak layak. Ketiganya duduk dengan takzim. Tangannya masing-masing telah siap mencatat apa saja yang bakal diucapkan oleh sang Profesor. Untuk sesaat itu rumah di Jalan Tonggak 15, benar-benar sepi dan menegangkan. Profesor Durgandana belum juga membuka mulut, matanya terpejam penuh wibawa.
Seperti orang tengah melakukan meditasi. Gerak di dadanya menunjukkan sikap pernapasan yang rapi. Beberapa saat kemudian kelopak matanyya mulai membuka. Bibirnya menyungging senyum arif. Tak tampak sikap garang dan congkaknya. Bahkan kesan sebagai seorang guru besar sebuah perguruan tinggi, lenyap sudah. Kini muncul sebagai bentuk yang amat tak bisa dipahami oleh ketiga mahasiswa hijau itu.

“Ada kisah yang pernah hidup ribuan tahun lalu. Atau paling tidak ratusan tahun yang lalu. Kisah ini akan menguji ketangkasan kalian dalam mengasah pikiran. Siapa di antara kalian yang bisa mengupas dengan pola berpikir gila, dan menghasilkan argumen paling gila, itulah tandanya, kalian bisa membebaskan diri dari kerudung dan norma-norma lapuk tadi: Pada suatu hari ada seseorang menangkap seekor burung. Burung itu berkata kepadanya.
‘Aku tak berguna bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja nanti kau kuberi tiga nasehat.’
Si burung berjanji akan memberikan nasehat pertama ketika masih berada dalam genggaman orang itu, yang kedua akan diberikannya kalau dia sudah ada di cabang pohon, dan yang ketiga sesudah ia mencapai puncak bukit.
Orang itu setuju, dan meminta nasehat pertama.
Kata burung itu, ‘Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun kau menghargainya seperti hidupnya sendiri, jangan menyesal.’
Orang itu pun melepaskannya, dan burung itu segera melompat ke dahan.
‘Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti.’
Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana dia berkata.
‘O manusia malang! Di dalam diriku terdapat dua permata besar, kalau saja kau tadi membunuhku, kau akan memperolehnya!’
Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun katanya, ‘Setidaknya katakan padaku nasehat yang ketiga itu!’
Si Burung menjawab, ‘Alangkah tololnya kau, meminta nasehat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kurenungkan sama sekali! Sudah kukatakan kepadamu agar jangan kecewa kalau kehilangan, dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku toh tidak cukup besar untuk bisa menyimpan dua permata besar! Kau tolol. Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia’.
Begitulah kisahnya, siapa diantara kalian punya nyali untuk terlihat paling dulu tololnya, eh, bertanya?"

"Saya, Prof." Jupri mengangkat jari.

"Sampaikanlah".

"Kisah itu memusingkan, tapi ada juga sisi yang cerah. Burung itu cerdik, dia gunakan segala tipu daya untuk menyelamatkan diri. Dan manusia itu memang gambaran makhluk yang lagi tolol, dengan mudahnya dia menuruti saja dibodohi oleh binatang sepele yang tentunya tak pantas didengar ocehan palsunya itu."

"Kasihan sekali analisamu Buyung, kau belum bisa melihat apa yang disebut masalah itu. Nah, siapa mau coba lagi?"

"Saya Prof. Menurut pendapat saya, kedua-duanya sama-sama tolol. Si Burung yang bisa terbang kenapa mau ditangkap manusia. Si Manusia yang sudah memperoleh apa yang dicarinya, kenapa mudah saja melepaskannya,." ujar Jimat dengan gaya bahasa yang taktis.
Sang Profesor, yang tentu saja berfigur Pokal, tersenyum kegelian. Tak berkomentar apa-apa.

"Kalau pendapat saya lain lagi Prof. Ketika Anda membawakan kisah tadi, maka segera timbul anggapan dalam benak saya. Bahwa Anda itu jadi si manusia dan sayalah yang jadi burungnya." ujar Dul Goen dengan santainya.

Sang Profesor mengangguk-anggukan kepalanya. Apa maknanya itu, tidak ada yang tahu.
"Sampai ketemu pada kuliah mendatang.” ujarnya kalem, lalu tubuh Pokal limbung. Dengan gesit, mereka bertiga menangkapnya. Tubuh Pokal diletakkan di atas dipan lagi, dan tak lama kemudian terdengar dengkur khasnya yang luar biasa. Wajahnya masih tetap tampak sehat kemerahan. Tak ada tanda-tanda baru saja terjadi peristiwa unik dan merepotkan. Jantungnya berdentang sebagaimana biasanya. Perutnya juga tetap membuncit sebagaimana kebiasaan orang-orang yang doyan makan dan tidur. (Bersambung ke Bagian 3)

Tuesday, April 28, 2009

Wayang Kartun karya Bagong Soebardjo

The Gondez Ambelgedez

The First
Kesurupan


Oleh Darminto M Sudarmo


Pembekalan dari pengarang:
Seting cerita diambil secara absurd antah berantah, jadi dijamin tidak ada pihak yang perlu senang atau tersinggung karena nama, tempat, suasana, maupun pikiran-pikirannya masuk dalam cerita ini. Semua cerita asli bikinan khayalan sang pengarang. Menurut pengarang cerita ini yang konon sudah cukup lama menggerogoti honorarium berbagai penerbitan bergengsi atau setengah gengsi di negeri ini, segmen pembacanya adalah mereka-- tak peduli berlatar belakang akademis atau empiris—yang penting memiliki IQ khsusus!
Jadi menurut pengarang novel ini, bila ada dari Anda yang kurang mampu menjangkau isi yang terpapar, terangkum, terjulur, dan tercincang silang tunjang ini, berarti permasalahan terletak bukan pada jelek atau bagusnya cerita, tetapi pada khusus dan tidak khsususnya IQ Anda. Gitcuuu!



(Bagian Pertama)

Februari 1988.

Rumah kontrakan mahasiswa jantan yang terletak di Jalan Tonggak 15, tiba-tiba geger. Bukan karena ada kebakaran kompor atau listrik. Bukan pula karena barusan terjadi penggarongan dan penganiayaan. Apalagi pembunuhan dan berbagai tindakan kriminalitas lain. Bukan semua!
Yang ada, kegegeran itu berawal dari peristiwa aneh yang menimpa Pokal. Salah seorang mahasiswa yang memiliki kebiasaan paling khas. Yakni, tidur atau tidur-tiduran sambil merenda langit, menbayangkan bulan dan matahari jalan berduaan.

Menurut saksi mata, yaitu teman-teman se-rumah Pokal; yaitu Dul Goen, Jimat dan Jupri, peristiwa itu datangnya demikian mendadak. Tak terduga sama sekali. Tubuh Pokal tiba-tiba mengejang bagai kayu. Keras, dan lurus-lurus. Disusul bola matanya mendelik, kemudian membalik-balik. Keringta dingin meluncur membasahi seluruh tubuh dan wajahnya. Tubuh itu terus bergulingan di atas dipan tanpa kasur yang bunyinya ramai sekali.

Dul Goen, Jimat dan Jupri masih bingung dan panik ketika tiba-tiba tanpa diduga pula, mulut Pokal masih sempat mengucapkan kata.

"Saya kesurupan! Saya kesurupan! You know?"

Pokal memang baru saja membalik-balik buku conversation. Kemudian berguling dan berkelojotan di atas dipan riuhnya.

"Kita harus berbuat sesuatu!" ujar Jimat dengan sikap amat panik. Mahasiswa yang satu ini berbadan kurus, tapi kumisnya lebatnya minta ampun.

"Benar! Kita harus berbuat sesuatu." sambung Jupri sambil mengacungkan tangan. Jupri adalah penghuni bertubuh paling mungil, tetapi cerdiknya lumayan juga.

Mendengar ada yang mendukung idenya, buru-buru Jimat mengangkat pantat lalu menyalak lagi.

Ya! Kita tak boleh cuma berpangku tangan. Kita harus berbuat sesuatu!"

"Kita harus berbuat sesuatu!" Jupri tetap membeo.

Sementara itu, Dul Goen, berusia paling tua di kelompoknya, bertubuh paling subur, berwajah paling khas, tampak tenang-tenang saja. Dengan santai dia membalik-balik buku ensiklopedi Indonesia-sia. Mencari huruf K. Lalu dengan santai pula jari-jari tangannya yang tak gampang gemetar itu mencari-cari kata kesurupan. Tak lupa lidahnya agak terjulur untuk mencari sedikit cairan lewat sentuhan ujung jari penunjuk.

Tertulis: Kata kesurupan dirumuskan pendek saja, yakni sebuah keadaan di mana seseorang menjadi sangat tergoncang karena jiwanya tengah didesak oleh kekuatan lain. Mungkin ruh, mungkin jin, mungkin setan, dedemit atau genderuwo. Sebabnya, karena terlalu banyak bengong atau menghayal yang mokal-mokal. Cara mencegahnya, hindari semua sebab tadi. Sedang cara pengobatannya, cukup dibiarkan untuk beberapa saat. Setelah keadaan agak mereda, sang korban diajak dialog secara santai. Terutama dialog sama ruh yang indekost tanpa bayar itu; agar tahu diri segera angkat kaki. Kalau masih juga bandel, boleh pakai pelicin atau iming-iming yang lain; misalnya komisi atau sekedar upeti.

Setelah melempar ensiklopedi bercetak mewah itu, Dul Goen menyalakan sebatang rokok. Menghisapnya dalam-dalam. Menghampiri tempat tidur Pokal yang berserak-berantakan. Duduk di tepi dipan sambil menikmati rokok. Sementara itu Jimat dan Jupri kalang kabut tak karuan. Berlari ke ruang depan mencari-cari sesuatu agar bisa sesegera mungkin menghubungi dokter. Tapi usaha itu sesungguhnya usaha yang tak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena rumah kontrakan itu memang tak pasang pesawat telepon.

Tak berhasil mendapatkan pesawat telepon, buru-buru membuka laci alamari, meja dan sebagainya sambil berharap-harap semoga mendapatkan pesawat Handy Talky. Usaha yang ini pun tak kalah latahnya. Menyadari tentang kemustahilan itu, mereka lalu bergerak lagi dengan sigap meraih kunci kontak. Tentu saja tak ada mobil atau sepeda motor yang cocok, karena benda itu jodohnya sama almari pakaian. Masih juga belum jera mereka lalu menghambur ke luar rumah, hendak menghentikan taxi. Untunglah mereka masih ingat untuk merogoh saku dan membuka dompet masing-masing. Begitu tahu isinya, keduanya lalu saling pandang dengan mimik muka yang amat aneh. Tak sepeserpun uang ada di tempat itu. Seperti sudah dikomandokan, keduanya balik lagi ke rumah. Sasarannya juga sama, membalik-balik buku. Semua halaman buku. Buku kuliah, buku cetak, buku perpustakaan, sambil berharap-harap lagi, semoga ada selembar dua lembar ribuan ketlingsut di dalamnya. Sungguh tak bisa dimaafkan cara berfikir yang seperti itu. Apalagi berpredikat sebagai mahasiswa. Tetapi keduanya memaklumi keadaan. Bagai sang bijak yang murah hati, secara spontan keduanya mengucapkan kalimat yang nyaris berbareng.

"Sudahlah, tak apa-apa....tenang sajalah."

Lalu keduanya sama-sama tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. Maka bebaslah segala beban.

Tiba-tiba kedua orang itu, Jimat dan Jupri, dikejutkan oleh hadirnya suara aneh. Suara yang tak baisa mereka dengar. Suara berat tapi penuh wibawa. Bukan hanya Jimat dan Jupri, tetapi juga juga Dul Goen yang saat itu tengah rada 'slebor' menikmati lezatnya asap rokok yang konon punya daya bunuh cukup ampuh.

"Tidak logis! Tidak logis!" ujar suara itu. Jimat dan Jupri buru-buru pasang telinga. Dul Goen hampir pingsan. Suara itu muncul dari mulut Pokal. Tapi dua ratus persen itu bukan suara Pokal. Jimat dan Jupri masih linglung di tempatnya, terpisah dari tempat tidur Pokal.

"Itu pasti suara tetangga." ujar Jimat.

"Boleh jadi." sambung Jupri sesaat sepi. Tiba-tiba suara itu menggemuruh lagi.

"Heiiiii! kalian semua kemari!"

“Eh, sepertinya dari kamar Pokal," ujar Jimat. Keduanya langsung menghambur masuk. Dul Goen panas dingin, seperti orang yang pertama kali melihat hantu. Pokal kini tidak terlentang lagi. Tidak kelojotan lagi. Tidak mendelik-delik lagi. Tidak memperlihatkan biji matanya yang putih dan mengerikan lagi. Tapi justru tampak jauh lebih menakutkan dari semula. Duduk dengan sikap amat takzim. Wajahnya rada memerah. Sinar matanya aneh, tetapi mengandung kekuatan yang luar biasa.

"Hai kalian kenal aku tidak?"

"Ke...kenal, tentu saja," jawab mereka bertiga.

"Bagus. Siapa?"

"Kau temanku, eh, teman saya tersayang."

"Iya siapa?"

"Pokal tentu saja."

"Goblog! Aku bukan Pokal. Aku Profesor Durgandana. Guru besar ilmu sosial politik Universitas Gondolumayit. Ngerti?!!!"

"Ya ya ngerti Prof...."

"Aku juga dosen kehormatan bidang Hubungan Internasional di India-Indianan State University, Amerika Serikat, paham?"

"Paham Prof."

"Tahu kedatanganku masuk ke tubuh Pokal!?"

"Be....belum Prof."

"Untuk memberi kuliah kalian bertiga. Tapi syaratnya bila aku lagi pergi dari tubuh Pokal, kalian harus memberikan materi kuliah ini kepada Pokal."

"Baik Prof. kami akan laksanakan amanat itu."

"Nah, sebelum menyiapkan buku-buku dan alat-alat tulis, perlu juga kuberitahukan pada kalian kenapa cara yang aneh ini harus kutempuh. Pertama kalian semua punya otak rada encer, tapi kantong kalian selalu kosong. Kedua, menjelang kalian selesai semester akhir, akan terjadi musibah, yakni, kalian harus kena D O! Harus angkat kaki dari perguruan tinggi, karena selalu nunggak SPP. Maka biar jangan putus harapan, aku datang untuk kalian. Ketiga, kalianlah yang bakal mempelopori prinsip 'Deschooling Society' alias bebas dari sekolah di Indonesia ini. Nanti di tahun 2000-an istilahnya menjadi “Home Schooling”. Prinsip yang diteriak-teriakkan oleh Van Illich sejak lima belas tahun yang lalu itu, mulai terasa khasiatnya setelah adanya revolusi penggusuran gelar yang bakal kalian lakukan di kemudian hari. Orang bakal setahap demi setahap menengok pada kualitas ketimbang target. Jangan sedih menerima berita ini."
Jimat, Dul Goen dan Jupri saling pandang. Berita itu meskipun keluar dari mulut orang teler macam Pokal, tetapi di dalamnya mengandung hawa kemurniaan pendapat seorang Profesor Durgandana yang kemungkinan besar melihat dari kaca mata supra-rasional. Kalau itu benar, alangkah menyedihkan sudah menjual habis sapi dan kerbau serta sawah berhektar-hektar buat kuliah, akhirnya bakal dikeluarkan dan tak dapat gelar. Apa yang bisa dibanggakan saat pulang kampung dengan bendera tergulung?

Tak sadar ketiganya lalu meneteskan air mata. Di luar dugaan Prof. Durgandana marah besar melihat kenyataan itu.

"Kalian semua goblog dan cengeng! Pikiran picik itu musti dihilangkan. Berpikir tegar tentang masa depan hanya akan dipunyai bila kalian telah bisa membebaskan diri dari struktur lapuk itu. Ingatlah kata-kata saya, pada suatu era nanti, orang-orang spesialis, orang-orang akademis yang terkotak dalam bidang yang serba eksklusif bakal dipimpin oleh orang-orang yang telah bisa membebaskan diri dari struktur lapuk tadi. Meloncat dari pikiran-pikiran yang memburu kemasan fisik. Catat ini baik-baik, ngerti?!"

"Ngerti Prof...."

"Nah, sekarang kuliah akan dimulai. Sana ambil catatan. Ingat jangan sekali-kali main rekam pakai benda teknologi, itu tindakan bodoh dan malas. Kalian harus aktif, menggurat bunyi dalam tulisan sudah separo belajar."

Agak kalung kabut ketiganya berlari menuju ke rak buku masing-masing. Kemudian kembali dengan perasaan seperti tersihir.

"Ada lima paket pelajaran yang bakal saya sampaikan untuk jangka waktu tak kurang dari satu bulan penuh. Tiap pertemuan tak kurang dari dua jam. Dan kalian harus kerja keras untuk ini semua. Saya tak bakal mengulangi hal yang sama. Ngerti?"

"Ngerti Prof."

"Pertama, paket pelajaran saya beri judul, Teknik Berpikir Gila."

"Apa Prof?" Hampir berbareng mereka terlonjak seperti tak percaya pada pendengarannya.

''Tak bakal diulangi apa yang sudah diucapkan." ujar Profesor dengan nada dingin, "dengan topengnya yang cantik orang cenderung ogah disebut gila. Karena itu meskipun mereka menderita gejala-gejala yang hampir menjurus ke situ, mereka tetap berusaha untuk melupakan dirinya. Lalu larut dalam kehendak massa, bahwa liar disangka waras. Kemudian terjadi opini salah bahwa yang dilakukan oleh umum selalu benar, dan yang dilakukan oleh bukan umum, pasti menyimpang alias tak waras. Pahaaaaam?!!" Tiba-tiba mata Pokal seperti melotot ke salah satu arah.

"Hai yang boleh dengar kuliahku cuma kalian bertiga. Tak boleh pihak lain coba-coba mencuri dengar."

Dengan gugup Jimat buru-buru menjelaskan.

"Di sini aman Prof. dinding kami tak bertelinga. Lantai tidak, jendela tidak, pintu tidak, atap juga tidak. Semua bebas dari gangguan. Jangan kuatir di sini persis di kampus Gondolumayit Anda."

"Tapi aku belum percaya. Aku mendengar suara mencurigkan dari balik almari kalian. Benda apa yang ada di situ. Cepat diungkap sampai tuntas, waktuku tinggal sedikit."

Ketiganya bergegas menggeser alamari. Tak menjumpai apa-apa selain coro-coro dan cicak.

"Hanya coro dan cicak Prof. aman kok."

"Bego! Benda itulah yang kumaksud sangat mencurigakan. Harus segerra dihalau, kalau tidak kalian akan jadi lebih bodoh dari mereka. Mereka memiliki energi penangkap jauh lebih hebat dari pada kalian. Sebab mereka juga bisa menangkap bahasaku.

Urusan coro dan cicak rampung sudah. Baru saja hendak mulai Prof. Durgandana, rewel lagi.

"Aku dari tadi kehausan dan kelaparan, tetapi kalian benar-benar tak bisa membaca gejala dan lingkungan. Itu warisan pola-pola pelajaran yang kalian pelajari hingga kini. Makin jauh dari tanda-tanda, gejala, dan modal kepekaan. Jadinya yah begitu itu. Lamban, miskin inisiatif, serba takut menyimpang sedikit dari rumus-rumus, pola-pola, dan terutama norma dan sekian tetek-bengek etika bohong-bohongan. Nah kenapa tak cepat-cepat ambil minuman dan makanan."

Tetap dengan sikap kalang kabut, Dul Goen, Jimat dan Jupri menghambur ke dapur. Tetapi sesungguhnya itu cuma tindakan iktikad. Di dapur tak ada seujung sayur pun. Tak sesendok nasi atau bubur. Semua kosong. Prof. Gondo lebih tahu tentang itu. Tetapi sedikitnya dia menghargai usaha itu, sebab rumah kontrakan itu lebih kelihatan kumuh ketimbang bersihnya. Gombal dan pakaian kotor bergelantungan kayak monyet-monyet. Bekas bungkus kue dan makanan berserakan di pojok-pojok ruangan. Dan bila tak seorang pun lihat, sampah itu justru didorong-dorong agar masuk lebih dalam lagi ke sela-sela kolong yang tak terlihat oleh mata.

(Bersambung.....)

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular