Ayo main

Sabar semua kebagian karcis.

Hidangan Pembuka

Asyiiiiiikkkkkkkkk

Nah gitu dong

Terimakasih terimakasih terimakasih

Gedung kesenian ya begini

Setiap aktris aktor atau bintang yang pernah tampil bangga

Apalagi

Mendapat tepuk tangan panjang dan penghargaan yang tak terlupakan

Sunday, July 26, 2009

Tiga Kartun karya Hoesie




Saturday, July 18, 2009

Sunday, July 12, 2009

Lawak Indonesia Mau ke Mana?


Oleh Darminto M Sudarmo

 
Akhir-akhir ini, setiap menonton acara lawak (baca: sandiwara komedi) di TV, apakah itu yang bertajuk “Opera van Java” atau “Suami-suami Takut Istri” atau beberapa lainnya, saya bukannya mendapatkan hiburan tetapi malah mendapatkan “tekanan” yang serasa makin membebani pikiran. Saya tidak tahu persis, apakah tontonan itu yang tidak mampu menggelitik rasa humor dan estetika saya atau saya sendiri yang sudah tertinggal dan tak mampu menjangkau bentuk sajian yang ditampilkan.
Situasi yang ada dalam benak sangat berbeda atmosfernya bila dibandingkan dengan ketika saya (di waktu lalu) menyaksikan sandiwara komedi “Si Doel Anak Sekolahan” dan “Bajaj Bajuri” misalnya. Di kedua acara TV tersebut, kita mudah dibawa hanyut dalam cerita yang mengasyikkan bersama humor-humor segarnya yang menyelinap di sana sini. Tidak sampai di situ, kita bahkan kadang merasa terlibat ke dalam dinamika cerita yang begitu segar dan mengalir lancar.
Kedua situasi yang berkebalikan sebagaimana dicontohkan di atas, bukannya tak mungkin mewakili banyak hal terkait dengan acara TV yang bergenre humor dan belakangan ini banyak menuai protes dari masyarakat. Salah satu protes yang cukup “menohok” dapat kita lihat di bawah ini. Pada Selasa, 26 Mei 2009, Effendi Sutanja, seorang pembaca yang mungkin saja mewakili sekian banyak masyarkat kita, menulis surat pembaca di Kompas dengan judul “Pelecehan Dasar Negara Lewat Tayangan Lawak”. Intinya Sdr Effendi ini kecewa berat menyaksikan tayangan/acara humor di stasiun TV swasta Jakarta (JakTV).
Ia kecewa karena menyaksikan Pancasila dan agama dilecehkan secara banal. Ini mungkin persoalan persepsi, tetapi mungkin dapat menjadi bahan perbincangan kita bersama dalam sesi tersendiri; belum tentu persepsi dan tuduhannya itu logis; bagaimanapun seni humor juga memiliki kode etik dan kekebalan semacam lisensia puitika di seni puisi.
Sebagian kekebalan yang lazim dipahami para praktisi humor antara lain: humor boleh tidak ada urusannya dengan pembuktian (akurasi), boleh “masa bodoh” dengan istilah benar dan salah (urusannya adalah: lucu tidak lucu), boleh menyindir seseorang atau situasi ke alam analogi atau metafora (Republik BBM, Democrazy, Republik Mimpi, dan lain-lain); dan sebaliknya, secara etika seharusnya tidak “boleh” meledek atau menghina CACAT FISIK seseorang karena bagian itu merupakan anugerah Tuhan dan setiap orang tidak dapat memilih untuk memiliki bentuk fisik yang sempurna atau menurut keinginan tiap individu. Dengan kata lain, meledek atau menghina cacat fisik dapat diartikan sebagai “menghina” anugerah Tuhan.
Tetapi, paradoks yang kemudian terjadi adalah: sungguh berbahaya jika humor harus dibayang-bayangi istilah-istilah seram seperti: tidak boleh, dilarang, jangan, tabu, kurang ajar, dan sebagainya…..secara psikologis, kata-kata itu sangat telak akibatnya: mematahkan daya kreasi dan kreativitas sang praktisi. Pilihan yang coba ditawarkan ini mungkin akan memompa lagi semangat berkreasi kita: tidak ada yang tidak boleh dalam berhumor; segawat atau serumit apapun tema yang dipilih – seharusnya – semua boleh-boleh saja, namun ada syaratnya; yaitu soal tanggung jawab estetika (urusannya dengan bagus tidak bagus, sembodo tidak sembodo, elegan tidak elegan, dewasa tidak dewasa, ya…estetik tidak estetik-lah) dan dalam semua cabang seni apapun, bila sang kreator tidak mampu menyuguhkan estetika yang sembodo, tetap saja akan membuat penikmat jengah dan kadang marah-marah.
Ada dugaan, seperti itulah suasana hati yang dirasakan Sdr Effendi saat menyaksikan pertunjukan acara humor itu (saya sendiri belum menonton acara itu). Sudah temanya gawat (padahal dengan tema Pancasila dan agama, maunya si kreator sih bikin sensasi supaya menarik perhatian), idenya lemah (karena dangkal dan asal dianeh-anehin: misalnya berdoa dengan mendengkur….), estetikanya pun payah; bagaimana orang tidak mencak-mencak dan mau marah?
Hal-hal lain yang menjadi ganjalan kreativitas adalah sistem nilai yang berlaku secara berbeda di tiap suku dan suku bangsa. Apalagi, di Indonesia. Tiap kreator harus pandai-pandai membawa diri. Kasus yang ambigu juga dan berbuntut polemik yang rada “menggelikan” karena adanya silang arus interest adalah yang menimpa Butet Kartaredjasa setelah membawakan monolog Deklarasi Pemilu Damai 2009 pada Rabu Malam, 10 Juni 2009. Seperti pengakuannya sendiri, ia mendapat banyak pujian, sekaligus cacian karena materi monolognya itu membuat tidak berkenan salah satu peserta Pemilu Damai, yang sebelumnya pernah nanggap Butet dengan tema yang berbeda. Kalau suami istri mungkin saja layak jika sang istri uring-uringan melihat suaminya bergandeng tangan dengan wanita lain, tetapi hubungan antara si penanggap dan yang ditanggap (dalam konteks profesional) tentu tidak seposesif itu, kan?
Untunglah, di lain hal, ada juga semacam “atmosfer” yang agak membangkitkan semangat dan pencerahan setelah membaca tulisan Indra Tranggono di harian Kompas, 20 Juni 2009, yang berjudul “Negeri yang Suka Tertawa”. Saya kutipkan bagian yang mungkin inspiratif buat kita semua, “Maka ketika politik macet dan hanya menjadi jagat ‘jual-beli’ kekuasaan, seni lawak perlu tampil dengan semangat dasarnya yang kritis, cerdas, visioner dan elegan. Seni lawak mampu menjadi medium yang akan mengembalikan publik pada esensi kemanusiaannya. Pada pemulihan manusia…..dst.”
Sedikit hal yang agak mengganggu dalam tulisan itu, misalnya menyebut pelawak sebagai joker. Sejauh yang saya tahu, kata joker, lebih banyak dipahami sebagai si “biangkerok”. Seperti sepak terjang Batman dalam menumpas kejahatan selalu diganggu oleh si gila Joker. Kata comedian mungkin lebih pas untuk pelawak dan clown untuk badut.
Peta Lawak Indonesia
Quo vadis seni lawak Indonesia? Seperti apa bentuk “peta”-nya saat ini? Pertanyaan ini sungguh tidak mudah menjawabnya. Setebal apapun saya memakai kaca mata, saya tetap tak mampu melihat tampilan peta lawak Indonesia dengan jernih. Gambarnya kabur, buram dan kadang kosong sama sekali. Namun bila kita mencoba melihat lawak Indonesia dalam konteks industri (budaya/kreatif), lagi-lagi perspektifnya bergerak menuju Jakarta. Jujur saja, di kota ini peta lawak berbasis industri itu terlihat agak terang. Mungkin di kota-kota lain (daerah) ada tanda-tanda munculnya pelawak tunggal atau grup CC (coba-coba), tetapi itu tak sesemarak atau seheboh munculnya grup band IB (indie banget). Mengapa bisa begitu? Ya, karena main band relatif tidak sesulit main lawak (dalam konteks CC dan IB tadi). Bahkan seorang pengamat humor Amerika bilang, “Mati itu gampang sekali, tapi melawak sulitnya minta ampun, meck!”
Untuk sekadar kasus, penjaringan pelawak berbakat seluruh Indonesia lewat penyelenggaraan Audisi Pelawak Indonesia (API) oleh TPI (yang hingga tiga gelombang, bila tak salah ingat), tetapi kecenderungan mutu out-put-nya terus-menerus menurun, maka jelas tidak menutup kemungkinan bahwa daerah pun banyak yang dilanda kegersangan bakat. Kalau Miing Bagito bilang, dalam 10 tahun bisa saja lahir 100 doktor berkualitas, tetapi untuk pelawak berkualitas paling cepat hanya satu atau dua orang.
Asumsi Miing itu nyaris pararel dengan fakta yang terjadi pada acara penjaringan bakat bila dibandingkan antara menyanyi dan melawak. Yang menyanyi tetap saja berlangsung mulus hingga sekarang, sementara yang melawak justru di-stop karena degradasi mutu yang terjadi cukup ekstrim. Syafrizal dari TPI yang diserahi tugas sebagai kepala sekolah di kamp karantina para pelawak yang masuk seleksi 15-20 besar di Cibubur, pernah terlihat sangat bersemangat ketika mengetahui SDM calon juara di API Pertama. Ia bahkan berkeinginan mengajukan proposal ke atasan untuk mengubah kamp karantina menjadi sekolah lawak resmi yang dilengkapi kurikulum, silabus dan pengajar yang kompetens; namun melihat perkembangan di tahun-tahun berikutnya yang mutu SDM-nya semakin merosot, ia tak pernah menyinggung-nyinggung lagi impiannya itu.
Bagi saya pribadi, kasus ini tidak aneh. Bagaimana mau memanen kalau kita tidak pernah menanam? Dugaan kasar saja, di tiap kota, taruhlah setingkat kabupaten atau kota, bukan tak mungkin di sana ada sekolah yang mengajarkan seni suara dan seni musik; juga bukan tak mungkin ada guru les privat yang mengajar seni vokal? Pertanyaannya, adakah sekolah yang mengajarkan seni lawak? Adakah guru privat yang mengajar seni melawak? Bagaimana mungkin kita berharap dengan sekonyong-konyong daerah memiliki calon-calon pelawak berbakat? Secara bergurau, orang-orang akan serta merta bilang, “Mimpi ‘kali, ye?”
Salah satu pilihan yang mungkin masuk akal dan terukur, bila kita memulai dari sekarang menyemai bibit yang baik, menanam dan kelak memanen hasil: calon-calon pelawak berbakat. Kandidat-kandidat semacam itu tidak dapat dipecayakan dan diserahkan semata-mata kepada kelompok-kelompok lawak yang kadang ada di tiap-tiap kota. Mereka mungkin hanya sibuk di ranah sosialisasi; tetapi nyaris tak pernah peduli pada penyelenggaraan pembelajaran dan pembekalan profesional dalam arti seluas-luasnya.
Sisi lain yang penting diagedankan adalah mengubah pola pikir. Selama ini para pelawak senior selalu menciptakan mitos bahwa melawak tak dapat diajarkan atau dipelajari. Pelawak hanya muncul karena bakat. Maka semua kita termakan oleh mitos tersebut. Pada tataran teknik tampil, blocking, jeda, dan artikulasi vokal, bukankah di ilmu teater atau ilmu akting pada umumnya sudah ada, pelawak yang mau ngintip sedikit ke sana akan mendapatkan manfaat yang tidak sedikit. Yang membedakan secara prinsip antara lawak dan teater adalah teknik improvisasi. Di lawak sangat dianjurkan untuk mahir berimprovisasi asal menghasilkan ger yang membangun suasana; sementara di teater, dibolehkan pada situasi yang sangat stag atau darurat itupun hanya untuk jembatan sementara menuju alur naskah yang sudah disepakati dalam latihan yang panjang.
Selain persoalan teknik dan improvisasi di atas, akan menjadi bernilai lebih pula bila si pelawak juga punya keahlian khusus lain; misalnya: menyanyi, memainkan alat musik, bermain sulap, melakukan atraksi-atraksi sensasional tertentu, melafazkan logat berbagai bahasa suku atau bangsa yang popular dan akrab di telinga masyarakat.
Ada anggapan pula, bahwa melawak itu tidak memerlukan skenario. Mungkin benar, tetapi tidak demikian pengertiannya. Sebelum tampil setiap pelawak atau grup lawak tetap membutuhkan konsep. Konsep ini dapat berupa sinopsis (ringkasan cerita), dapat pula berupa story line (atau disebut juga treatment). Dalam story line kadang ada sepenggal dua penggal dialog; bagian ini pun tidak mengikat pelawak untuk membawakan dialog secara persis apa yang tertulis; pelawak dapat menyerap isi dialog dan ia dapat membawakan dengan “bahasa”-nya. Bahasa miliknya.
Ada pula anggapan bahwa improvisasi itu soal nanti saja yang terjadi di atas panggung. Salah besar! Improvisasi yang bernilai tidak datang tiba-tiba; ia memerlukan persiapan yang matang. Persiapannya adalah banyak membaca, menonton, menyerap situasi, mengkritisi berbagai persoalan yang miring dan kurang beres. Bernilai tidaknya improvisasi seorang pelawak ketahuan dari wawasan intrinsiknya. Kelihatannya sih, refleks saja, tetapi sesungguhnya pelawak yang improvisasinya bagus, dia selalu siap konsep di dalam kepalanya. Gampangnya ngomong, kalau saldonya di tabungan minim, jangan mimpi bisa narik duit di ATM dalam jumlah besar.
Untuk keperluan take (pengambilan gambar), di beberapa stasiun TV Indonesia pada umumnya , seorang sutradara biasanya sudah memegang sesuatu yang disebut FOD (Flow of Directions) berupa breakdown cerita dan arus masuk-keluar pemain: ke/dari panggung (in-out frame). FOD itulah yang digunakan untuk mentaklimat (mem-brief) para pelawak dan bintang tamu (tunggal/grup/maupun galatama) selama tak lebih dari 15 menit.
Bayangkan, seperti yang pernah saya tulis dengan judul “Lima Belas Menit, Keajaiban Seni Lawak”, pelawak atau bintang tamu yang tak tahu ba-bu-nya cerita, begitu datang langsung di-make-up; usai make up langsung di-brief; usai briefing langsung main di stage (panggung tempat shooting diselengarakan). Semua mengalir seperti air terjun. Tidak ada latihan, tidak ada kesempatan sharing ide. Dan uniknya, shooting berjalan lancar, stock shot pun kemudian siap di tangan petugas post pro; nyaris jarang atau bahkan hampir tidak pernah ada pengulangan take. Bayangkan pula, bagaimana proses produksi yang terjadi di teater, berapa lama diperlukan untuk reading, blocking dan lain-lain hingga ke titik di mana setiap pemain siap pentas di atas panggung?
Proses selanjutnya stock shot itu masuk ruang post pro untuk diedit, diisi music, diberi grafis (tulisan), di-mix (gabung) dengan iklan (commercial break) dan lain-lain; tiga atau lima hari kemudian langsung bisa tayang. Betapa paket-paket yang pola penggarapannya bernuansa industrial ini sangat berkejaran dengan waktu. Anda belum membayangkan kesibukan di studio kaitannya dengan pembangunan set (yang harus knock down), tata lampu, kamera dan yang tak kalah hebohnya soal kostum. Kalau kebetulan temanya zaman-zaman kerajaan atau zaman yang akan datang serba futuristik, kehebohan di bagian wardrobe (kostum) tak kalah dengan persiapan kreatif dan crew pengambilan gambar.
***
Impian Indra Tranggono untuk dapat melihat seni lawak Indonesia yang tampil dengan semangat dasarnya yang kritis, cerdas, visioner dan elegan, bukan mustahil direalisasi, jika pelawak kita juga punya komitmen yang kuat pada mutu. Mutu dalam seni lawak, jangan disalahartikan; ia tidak lalu diwujudkan lewat omongan pelawaknya dengan bahasa ilmiah yang ndakik-ndakik atau kritik sosial dengan mata mendelik-ndelik, tidak. Antara tema, ide, dan estetika seyogianya berjalan seiring, wajar dan proporsional.
Menurut rujukan yang ada, faktor-faktor yang terdapat dalam sebuah pertunjukan lawak bermutu umumnya memenuhi standar: kebaruan tema/ide, lelucon yang sehat, kritik sosial lewat kecerdasan daya ungkap, nilai pendidikan, potensi yang mampu mengeliminasi agresivitas berlebihan dan dapat menjadi media katarsis bagi masyarakat.
Penampilan Quartet S dari Malang di TVRI pada tahun 1980-an awal atau Srimulat pada tahun yang sama; khususnya saat almarhum Gepeng masih bergabung, dapat menjadi rujukan yang inspiratif, betapa pertunjukan mereka sangat genuine dan menarik sekali sebagai tontonan.
Darminto M Sudarmo, pemerhati lawak.

Note: Tulisan ini adalah materi yang dibawakan penulis dalam "diskusi" lawak yang diselenggarakan oleh Jojon Center bekerja sama dengan Yayasan Umar Kayam dll di Padepokan Bagong Kussudiardja, Yogyakarta, 27 Juni 2009.

Saturday, July 4, 2009

SARI IKUT KAMPANYE



Cerpen Nadjib Kartapati Z.


Dengan iming-iming sembako, akhirnya Sari mau juga ikut kampanye. Di lapangan kabupaten, sembilanbelas kilo meter dari desanya. Bareng teman-teman, beramai-ramai naik truk, berdiri berdesak di bak.

Sari mengenakan celana panjang. Agak ketat. Seketat kaosnya. Lekuk-liku tubuhnya, dari mulai pundak, dada, perut, hingga pinggang dan pinggul, tampak lebih nyata karena pakaian ketatnya. Mata lelaki pada melotot melahap tubuh indah itu. Tapi Sari tak menyadari. Lebih pasnya, tak peduli. Teman-temannya menyebutnya gadis tomboy. Toh begitu, mereka memujinya cantik.

Sari ikut mengayun pinggul ketika musik ndang-ndut koplo itu menendang-nendang kuping. Lagu Kucing Garong, didendangkan penyanyi dari Solo. Alangkah senangnya ikut kampanye. Sudah dapat sembako, naik kendaraan gratis pula. Bisa kumpul teman dan banyak orang, masih dihibur musik dan penyanyi seksi.

Wah, bagi Sari ini tidak cuma pesta demokrasi. Juga pesta musik, pesta joget, pesta decak kagum pemuda begajulan yang geleng-geleng memandang indah tubuhnya.

Tapi, setelah penyanyi dan pemusik itu turun dari panggung dan digantikan seorang politisi, semuanya berubah. Semua jadi membosankan.



Di jantung kota Semarang. Di rumah gedongan. Di dalam kamar rias yang menyerupai salon pribadi. Di situlah Sari duduk manis di depan cermin. Nia, sang perias itu, sibuk mencari-cari gaun yang ideal untuknya.

Sebentar kemudian, ketika Refan, lelaki muda perlente itu menjelaskan tentang pekerjaan yang harus dijalaninya malam ini, Sari muntab. Ia melotot.
“Apa? Saya mau dijadikan pelacur?”
“Apalah sebutannya, yang penting asal jangan menyulitkan!” jawab Refan.
“Ndak! Ndak sudi! Mas Didik janji sama saya mau kasih kerja jadi asisten. Mending jadi pembantu ketimbang jadi begituan!”

Ada gelagat Sari mau kabur. Refan cepat menangkap bahunya ketika Sari beranjak. Nia mengunci pintu kamar dan mengantongi kuncinya.

“Kamu sudah masuk rumah ini, Sari. Bagaimana kamu bisa keluar, tergantung negomu sama lelaki yang booking kamu!” kata Refan.

“Lelaki yang booking?”

“Iya, langganan tetap Tante Anggi itu. Dia ‘kan paling suka sama daun muda. Orangnya yang tadi itu, yang menepuk-nepuk pundak kamu.”

Tanpa terduga Sari menyentakkan tangan Refan dan menendangnya. Refan mundur tanpa keseimbangan.

“Kamu ndak bisa maksa saya!” jerit Sari melengking.

Seperti kesurupan, Sari kalap mengobrak-abrik seisi ruangan. Ruangan yang semula tertata rapi jadi semerawut. Kursi rias jempalitan. Kaleng hair spray dan sisir-sisir berjatuhan. Bedak, lipstick, kacamata, berhamburan. Berpegang pada tiang gantungan baju, Sari berancang-ancang. Saat Refan menyergapnya lagi, ia jatuhkan gantungan baju yang bulat bagian atasnya itu. Dengan cepat ia menyambar gunting dari troli. Nia memekik dari pojok ruangan.

“Jangan macam-macam kamu!” gertak Refan.

“Refan! Awas, dia nekat!” pekik Nia.

Refan mengelak, tapi kurang perhitungan. Saat disergap dari samping, Sari memutar tubuh sambil mengibaskankan tangan kuat-kuat. Lengan Refan tergores ujung gunting. Berdarah. Tak hanya itu, jakunnya keras tersikut. Refan mengerang kesakitan.

“Refan, Nia... ada apa? Buka pintunya! Buka!” teriakan dari ruangan lain, beradu dengan suara gedoran pintu berulang-ulang. “Buka, Refan! Buka! Ada apa ribut-ribut?”

“Ayo, kalau masih pengin maksa, maju!” ancam Sari.

“Refaaaan!”

Pintu terbuka. Perempuan setengah baya bernama Anggi itu muncul dan terhenti di ambang. Tampak langsung tercekat. Sari tak menyia-nyiakan. Gunting di tangannya mengarah ke wajah pemilik rumah gedongan itu.

“Tante Anggi, masuk atau menyingkir!” ancamnya.

“Telpon polisi! Suruh lempar si jalang ini ke penjara!” pekik Anggi.

Sari mendorong kuat tubuh Anggi hingga perempuan itu terjengkang. Ia melompat dan lolos. Refan mencoba membuka pintu, kecele. Sari sudah menguncinya dari luar.

“Semprul!” rutuk Refan.

Sekarang, di sudut pagar, Sari harus berhadapan dengan Satpam yang berkumis tebal. Satpam sigap menyongsong. Sari gugup melihat pintu pagar yang terkunci.

“Ada apa, Non?”

Sari memutar otak untuk menyiasati Satpam.

“Mana kuncinya? Cepat, di dalam ada keributan. Perlu bantuan Bapak!”

Terbawa kepanikan Sari, Satpam mengeluarkan kunci dari saku celananya. Sari langsung menyambar dengan ketangkasan yang mengagumkan.

“Di dalam perlu bantuan segera! Cepat ke sana, Pak!”

Sari menyelinap keluar ketika Satpam bergegas melangkah ke rumah. Pas ketika itu sebuah mini bus behenti. Seorang lelaki meloncat turun.

“Sari! Sar!”

Sari membunuh langkah. Menoleh. Kontan matanya nanar melihat Didik. Dua perempuan cantik ikut turun dari mobil itu.

“Mas Didik jahat! Menjebak saya ke tempat seperti ini!” raung Sari.

Didik tertegun. Sari berlari lagi. Saat akan mengejar, dua perempuan tadi melarang. “Mas Didik! Ingat! Kita sedang diburu waktu! Tante Anggi bisa marah besar kalau meleset!”

Didik balik lagi, masuk mobil. Sari menghilang di tikungan.

Di pinggir jalan raya yang sepi, Sari memperlambat langkahnya, memegang dada sambil mengatur napas. Di wajahnya masih terpancar kegeraman sekaligus ketakutan.

“Mas Didik kebangetan. Dari jauh saya disuruh datang, hanya akan dijadikan pelacur. Dasar penipu!” gerutu Sari.

Lampu-lampu kota menyiramkan sinarnya ke wajah Sari. Ia melihat ke sekeliling. Tampak bingung menentukan arah. Ia tak pernah paham kota Semarang.

Sari terus berjalan, sampailah ia pada sebuah taman. Di sinilah para wanita malam itu nunggu rezeki dari lelaki iseng. Di pojok dekat gardu listrik ada pasangan yang tengah berhimpitan di atas sepeda motor. Di sudut selatan ia lihat ada yang mojok di bawah pohon. Di trotoar ada yang melambaikan tangan untuk kendaraan yang lewat.

Sari mulai mengerti tempat apa yang ia injak ini. Ia jadi linglung seperti orang kesasar. Kalau ada cermin, pasti ia bisa lihat betapa wajahnya penuh gurat kebingungan. Melihat halte bus, itulah tempat paling tepat untuk pelarian.

Pelan-pelan Sari duduk di sudut, di dekat tiang halte itu. Ia tahu, ada beberapa pasang mata yang memperhatikannya. Bahkan ada lelaki yang berdehem-dehem dan melontarkan sapaan tak sopan.

Di luar halte, seorang lelaki tanpa sungkan bicara pada temannya.

“Wah! Yang begini nih, yang bantingannya asyik!”

Lelaki lain dengan sengaja mendekati Sari, bicara di sampingnya.

“Lagi frustrasi, Mbak? Ditemenin, mau?!”

Sari berusaha tenang. Ia bergeming. Membutakan mata dan membudegkan telinga. Tapi, hatinya gaduh bukan kepalang. Aduh, kenapa jadi begini? Saya harus ke mana lagi sekarang? Gusti Allah, selamatkan saya!

Semata-mata demi menghindari lelaki iseng di sebelahnya, Sari berdiri, lalu menyeberang jalan. Ia menuju sebuah warung rokok yang cukup terang di pinggir trotoar sana. Ia mengajak bicara ibu tukang warung yang kemudian memberinya kursi.

Tanpa ia sadari, malam sudah larut. Ia terkantuk-kantuk di kursi warung rokok. Raungan sirine menggagalkan mimpinya. Sari tersentak, menyangka ada ambulan lewat. Padahal, sirine itu dari mobil patroli Tramtib. Sari masih tak paham apa yang terjadi. Ia malah tersenyum-senyum menyaksikan sejumlah perempuan yang tadi megal-megol itu berhamburan seperti tawon. Pada lari ngumpet, menyelamatkan diri. Petugas mengejar dan menangkap. Ada yang melawan, tapi toh sia-sia. Mereka digiring masuk mobil, menyerupai truk, tapi punya tangga di belakangnya.

“Aku bukan pe-es-ka. Aku lagi nunggu bus! Lepaskan!” protes perempuan yang tadi sibuk melambaikan tangan kepada setiap mobil yang lewat.

Sekarang giliran Sari. Begitu cepat, ia merasa dua orang petugas sudah menyengkal bahunya dan menggelandangnya. Sari memekik kaget. Memberontak.

“Mana KTP-mu?”

“Saya tidak bawa.”

“Naik!”

Tahu-tahu ia sudah dilempar ke mobil. Ia terduduk, menimpa perempuan tadi.
Sari berpikir, apa salahnya sehingga harus diangkut? Tapi kemudian ia juga berpikir, ke mana aku kalau tak diangkut? Bukankah mengikuti kemauan petugas itu justru lebih aman? Maka Sari pun duduk dengan manis.

Inilah saatnya petugas pembinaan mengintrograsi Sari. Gadis tomboy itu duduk menghadap petugas perempuan berseragam Pemda. Ia tatap mata petugas yang menginterogasinya itu dengan keberaniannya yang terpancar dari perasaan tak bersalah.

“Kamu masih terlalu muda. Namamu siapa?” tanya petugas perempuan itu.

“Sari, Bu.”

“Sari, bagaimana kamu bisa ikut-ikutan cari teman kencan?”

“Itu ndak benar, Bu.”

“Terus untuk apa kamu ada di taman malam-malam begitu?”

“Demi Tuhan, Ibu. Saya benar-benar baru datang dari kampung. Saya kabur dari tempat teman saya bekerja, karena disuruh jadi pelacur. Saya tidak tahu mau ke mana.”

“Kalau memang dalam kesulitan, kenapa tidak segera lapor petugas?”

“Saya bingung, Ibu. Saya takut malah dipenjarakan!”

Ibu petugas tersenyum.

“Sebelum ini kamu pernah kerja?”

“Belum pernah, Ibu. Karena itu, waktu teman saya bilang mau kasih kerjaan, saya datang ke sini. Ternyata mau dijadikan pelacur.”

“Kamu masih gadis?”

“Ya masih’lah, Bu. Saya siap diperiksa kalau diperlukan.”

“Baik, Sari. Sekarang... coba tunjukkan alamat temanmu.”

Sari mengangkat wajah, teringat sesuatu. Dia lalu bangkit untuk mengeluarkan selembar kecil catatan dari saku celananya, lalu memberikannya kepada ibu petugas.

“Ini nomor telponnya, Bu. Tapi jangan bilang dari petugas, nanti dia kabur. Jebak saja, Bu. Suruh polisi tangkap dia!”

Ibu petugas menerima catatan itu.



Bagi Sari, bahkan, kampanye itu tak sekadar membosankan. Tetapi juga memberinya kejutan. Lelaki bersafari di atas panggung, yang kini tengah pidato sebagai calon legislatif untuk daerah pemilihannya itu, pernah menepuk-nepuk pundaknya sewaktu di rumah Tante Anggi, dua tahun lalu.

Jakarta 2009.

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular