Ayo main

Sabar semua kebagian karcis.

Hidangan Pembuka

Asyiiiiiikkkkkkkkk

Nah gitu dong

Terimakasih terimakasih terimakasih

Gedung kesenian ya begini

Setiap aktris aktor atau bintang yang pernah tampil bangga

Apalagi

Mendapat tepuk tangan panjang dan penghargaan yang tak terlupakan

Sunday, November 13, 2011

Sudah Lama Ada Tradisi “Stand Up Comedy” di Negeri KIta


Salah seorang penampil cewek di Metro TV
Oleh Darminto M Sudarmo

Sejujurnya agak mengagetkan juga ketika Kompas, edisi Minggu, 9 Oktober 2011, mengangkat laporan utama tentang pertunjukan stand up comedy (lawak tunggal) di Indonesia sebagai seni pertunjukan humor alternatif yang belakangan mulai marak di kafe dan televisi. Laporan ini terasa sebagai oasis yang memberikan kesegaran dan harapan baru. “Orang-orang berbagi tawa untuk melepas kegetiran hidup”, tulis koran tersebut.
Ketika kondisi sosial budaya di masyarakat terasa stag, runcing dan stereotip; ketika tekanan hidup terjadi karena berbagai persoalan politik, ekonomi, hankamnas dan lain-lain, stand up comedy menjadi semacam media katarsis yang akrab dan dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Begitu sederhananya bentuk pertnjukan ini, seseorang dapat tampil meski dengan hanya memakai t-shirt dan celana pendek. Spontan, segar dan kadang menyelinapkan materi-materi cerdas yang mencerahkan.
Pertunjukan ini dapat dikatakan sederhana karena seorang penampil tidak perlu dipusingkan oleh berbagai kewajiban menyediakan uba rampe fisik yang rumit seperti yang terdapat pada seni pertunjukan pada umumnya; yaitu seting panggung/tata ruang, kostum/tata busana, properti, hand-prop, tata cahaya, tata rias wajah, musik dan tata suara yang canggih. Semua dapat diakomodasi sesuai apa yang ada, apalagi pada sesi open mic (forum para pendatang baru menjajal nyali). Hal yang paling penting justru kekuatan di materi lawakan, teknik penampilan dan penonton yang menunjang. Kecuali, tentu saja, kemasan pertunjukan memang akan ditata dalam bentuk yang megah, artifisial, bahkan spektakular.
Secara selintas, upaya mentradisikan stand up comedy di Indonesia telah dirintis oleh Ramon P Tommybens yang  didukung oleh Harry de Fretes lewat Comedy Cafe di Tanah Kusir, Jakarta, pada kurun waktu sekitar 1997-an; yang kemudian berpindah-pindah lokasi ke Pondok Karya, Semanggi, dan terakhir di Kemang, Jakarta Selatan. Buah dari kegigihan Ramon, yang konsisten dan tak pernah kenal menyerah meski kemudian ia berjuang mengusung tekadnya sendiri, baru mulai terasa hasilnya terutama sejak awal-awal tahun 2011. Publik mulai terbuka matanya. Ketambahan lagi ketika sekelompok segmen pencinta humor sepertinya tidak mendapatkan sajian humor yang sesuai dengan tuntutan intelektualitas mereka di hampir semua stasiun TV yang ada.
Kini, stand up comedy, salah satu genre pertunjukan lawak yang menurut literatur berasal dari luar – Inggris memiliki warisan tradisi cukup lama, antara abad 18 – 19 dalam versi klasik; sementara di Amerika, mereka yang dikenal sebagai pembaru jenis pertunjukan ini adalah komedian-komedian seperti: Jack Benny, Bob Hope, George Burns, Fred Allen, Milton Berle dan Frank Fay —kini mulai diterima dan diminati kelompok penonton kita dari strata sosial tertentu. Mereka umumnya angkatan muda yang aktif di jejaring sosial, berpendidikan SLTA ke atas dan berjiwa open minded; generasi yang tampaknya sedang berupaya membebaskan diri dari warisan sejarah bangsa yang kelam dan penuh kemelut. Seperti yang ditulis Kompas, mereka dapat tertawa dan menertawai kegetiran hidup yang dialami maupun yang terjadi di sekitarnya.

Stand up Comedy Indonesia
Situasi ini mengingatkan kita pada salah seorang “stand up comedian” Indonesia yang “legendaris”; yaitu Cak Markeso. Seniman ludruk tunggal dan garingan (tanpa iringan musik) yang merintis karier sejak zaman kolonial ini -- pada 1949, ia memilih keluar dari grupnya "Ludruk Cinta Massa" karena persoalan intern  -- biasa mengamen dari kampung ke kampung di Surabaya lalu bermonolog membawakan salah satu cerita bila ada warga yang nanggap. Ia juga punya kemampuan untuk mengiringi cerita dengan musik dari mulutnya sendiri. Cak Markeso tercatat dalam sejarah seni ludruk karena celetukan-celetukannya sangat khas dan piawai dalam memancing imajinasi penonton.
Bentuk pertunjukan lawak tunggal sejenis stand up comedy juga pernah ada di TVRI (antara tahun 1970 – 1980-an) dan cukup boom serta digemari masyarakat. Tercatat misalnya nama pelawak Arbain,  dengan logat Tegal-nya yang kental ia sanggup membuat penonton tergelak-gelak karena joke-joke yang dilempar sangat mengena dan tepat sasaran; apalagi ia juga mempunyai keterampilan sulap yang memadai sehingga acaranya di TVRI bertahan cukup lama. Sementara itu, meskipun tidak rutin, seniman serba bisa Kris Biantoro, pernah membawakan “stand up comedy” di TVRI dengan sangat genuin dan prima, bahkan belum tertandingi bila dibanding produk pertunjukan sejenis hingga saat ini.  Secara parodis ia pernah tampil sendiri membawakan figur-figur terkenal waktu itu lengkap dengan gaya busana, tata rias wajah dan aksen bicara, beberapa di antaranya wanita; bergantian secara cepat. Bukan hanya gagasan fisik yang dia garap, tetapi juga kedalaman materi yang dapat menimbulkan efek tawa; semua terjaga, elegan dan berkualitas.

Tradisi Kesenian Serupa
Pertanyaan mengapa maraknya stand up comedy dapat mendatangkan  kesegaran dan harapan baru bagi publik pencinta humor di Indonesia? Karena secara roh budaya negeri ini juga memiliki tradisi kesenian serupa meskipun dalam kemasan yang sedikit berbeda. Dagelan Mataram misalnya, memulai acaranya dengan memunculkan seorang pelawak yang bermonolog; sebut saja misalnya Basiyo; setelah ger-geran antara lima hingga 10 menit, barulah format kelompok beraksi. Di pertunjukan ketoprak, pada segmen dagelan, seorang pelawak membuka komunikasi beberapa saat dengan penonton kemudian disusul interaksi dengan pelawak atau pemain lain. Begitu juga di pertunjukan ludruk; sesi Jula-juli, menampilkan pelawak tunggal yang selain menyanyikan lagu Jula-juli dengan syair-syair kocak yang terus-menerus diperbarui, juga bermonolog sambil menyelipkan bahan-bahan lucu di antara celetukan-celetukan ringannya. Kilmaksnya, bila kita renungkan lebih mendalam, apa yang dilakukan ki dalang (baik wayang kulit maupun golek) nyaris punya kesamaan pola; ki dalang adalah seorang player yang jenis pertunjukannya berada dalam disiplin atau genre seni yang tak jauh dari tradisi stand up comedy. Individu menjadi pusat seluruh aliran pertunjukan.
Pada akhirnya kita berharap, selain sebagai off air event yang sudah berjalan dan mulai mentradisi, televisi sebagai salah satu media yang memiliki daya jangkau luas dapat melihat fenomena stand up comedy ini sebagai salah satu kekuatan budaya yang  perlu diperhitungkan. Bangsa ini benar-benar sudah sangat membutuhkan tontonan yang selain menarik juga bermanfaat. Setidaknya, tontonan alternatif yang dapat membangun kesegaran dan harapan baru bagi masyarakat pencinta humor di Indonesia.

Darminto M Sudarmo, penikmat dan pemerhati humor.

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular