Ayo main

Sabar semua kebagian karcis.

Hidangan Pembuka

Asyiiiiiikkkkkkkkk

Nah gitu dong

Terimakasih terimakasih terimakasih

Gedung kesenian ya begini

Setiap aktris aktor atau bintang yang pernah tampil bangga

Apalagi

Mendapat tepuk tangan panjang dan penghargaan yang tak terlupakan

Friday, December 30, 2011

Wahyu Legendaris untuk Empat Pelawak

 Beberapa waktu lalu, pelawak Kang Ibing, pergi meninggalkan kita. Desember 2011, pelawak Aom Kusman, juga menyusul. Betapa bangsa ini sangat kehilangan orang-orang hebat yang menyegarkan udara negeri ini. Keduanya sama-sama pelawak berkelas yang kini makin sulit dicari penerusnya. Terkait judul di atas, karena tiga pelawak di bawah ini sudah terbaiat sebagai pemegang "Wahyu Legendaris" alias Gelar Maestro, maka kurang lebih setengah bulan saya mengadakan poling di facebook untuk meminta pendapat para pembaca bila Kang Ibing (sebelum Kang Aom meninggal) juga seharusnya layak mendapatkan apresiasi dan penghormatan itu, ternyata sambutan pembaca sangat mendukung. Sehingga tanpa mengurangi penghargaan dan dedikasi pelawak Aom Kusman, maka judul di atas itu menjadi lengkap, karena adanya tambahan seorang lagi yang tiada lain selain Kang Ibing.

***


BELUM jelas benar bagaimana kriterianya, tiba-tiba beredar gosip di kalangan terbatas yang mengatakan, bahwa tiga nama pelawak: Bing Slamet, S Bagyo dan Benyamin S; pantas menerima “gelar” legendaris sesuai dengan prestasi, dedikasi dan kontribusi mereka yang besar dalam dunia “kesenian”. Khususnya, seni lawak. Gelar yang dimaksud muncul secara rela hati tanpa rekayasa pihak mana pun. Itu terjadi karena turunnya semacam wahyu, yang membuat seseorang atau mereka bertiga dipilih oleh sejarah untuk menjadi sang maha bintang. Menjadi pemicu fenomena. Bahkan, pengobar optimisme.

Mengapa Bing Slamet, S Bagyo dan Benyamin S? Berhubung belum adanya semacam lembaga; walaupun lembaga Humor Indonesia dan Paguyuban Lawak Indonesia ada; yang secara spesifik mengkalkulasi prestasi, dedikasi dan kontribusi seseorang atau pelawak selama menjalankan kariernya, maka metode apresiasi yang dipilih pun berlangsung secara emosional. Terjadi, begitu saja. Pilihan kepada ketiga tokoh ini, tidak melewati perdebatan berbelit. Tidak melewati sidang-sidang. Cukup mengalir, sebagaimana mengalirnya gosip dan rumor yang bisa dianggap serius, bisa pula dianggap cuma guyon.

Bing Slamet, S Bagyo dan Benyamin S tergolong pelawak yang liat namun lembut dalam sosialisasi. Selama hidupnya banyak memberikan sentuhan dan inspirasi bagi kelompok yang lebih muda. Memberi tempat dan ruang untuk calon pengganti. Mereka tidak memonopoli fenomena. Dermawan dalam menyebarkan wabah optimisme. Mereka juga menyiapkan calon pengganti tanpa harus menampakkan diri, apalagi intervensi.


Pelajaran-pelajaran “besar” bagi yang muda, mereka berikan secara sederhana. Dengan menjalani fitrah sebagai manusia profesional. Tak pernah berhenti mencari, tak pernah puas menawarkan gagasan, tak pernah selesai dalam belajar. Tidak jumawa dan menganggap yang lain tak pernah ada. Setidaknya, demikian kesan umum yang bisa diagenda.

Dalam hidup mereka, jarang bisa dijumpai trik dan kegenitan akting dan PR (Public Relations), kecuali cara hidup yang tulus dan mensyukuri nikmat yang ada. Situasi demikian; pada zaman sekarang ini; mungkin semakin sulit kita jumpai. Menjadi orang yang rela hati terhadap pilihan-pilihannya sendiri, adalah persoalan yang tidak sederhana. Mereka, figur-figur yang konsisten, dalam duka maupun suka.


***

TANGGA-tangga karier yang mereka lewati, juga tidak sederhana. Tidak seperti wahyu yang jatuh dari langit kemudian dalam sekejap menyulap mereka menjadi manusia-manusia luar biasa. Pelawak-pelawak hebat dan serba bisa. Humoris-humoris tulen yang karya-karyanya memang sepadan. Mereka belajar dengan keras. Tapak demi tapak. Tak ada “kursi” kesenimanan yang bisa dicapai dengan jalan pintas, dengan instan, dengan karbitan lalu menempatkannya dalam singgasana keabadian. Karena kursi itu ada dalam diri pelawak itu sendiri. Tak bisa dibeli, tak bisa dimanipulasi.

Kesabaran dan kesadaran pada proses waktu, adalah pelajaran besar dan contoh besar yang mereka tinggalkan kepada kaum muda. Walaupun agak “pahit” untuk citarasa saat ini, kaum muda yang sedang meniti dan merangkak di karier yang sama, dapat menjadikannya sebagai katarsis atau apologia sesaat. Boleh saja ia menjadi semacam fatamorgana di keruncingan padang pasir; karena situasi dan tantangan sekarang mungkin lebih kompleks dan sulit dipeta; setidaknya, pengalaman-pengalaman para pendahulu masih menyisakan sebagian kearifan. Bahkan, harapan.

***

DI sisi lain, dunia perlawakan kita, dan humor pada umumnya, ditandai dengan kemiskinan tradisi literer. Ini sulit dibantah. Sangat tak sepadan dengan upaya karsa dan karya para seniman lawaknya. Banyak debut penting, yang hanya didokumentasi oleh pers atau kaset, video atau film layar lebar. Kadang tercecer, lalu terlupakan atau hilang ditelan oleh data baru. Upaya untuk melakukan kajian; menyangkut segi sosiohistorisnya; sama sekali belum dilakukan secara serius.


Buku tentang apa-siapa pelawak Amerika, Joe Franklin”s Encyclopedia of Comedians, misalnya, terdiri atas 348 halaman, mencatat dari Abbott dan Costello hingga Zacherley; bisa dibilang atau tergolong agak kuno. Cetakan kedua buku ini saja dicetak tahun 1979. Meskipun demikian, sebagai informasi dasar ia masih relevan. Komedian kondang seperti Bill Cosby, misalnya, yang saat ini diberitakan bayarannya melangit, saat itu (di buku) untuk tampil di klub malam, masih menerima sekitar 50.000 dollar hingga 100.000 dollar per minggu. Pemutakhiran (up dating) buku ini, memang sangat diperlukan agar berimbang dengan perkembangan paling baru.

Satu-satunya buku lawak di Indonesia, yakni tentang Teguh dan Srimulat, ditulis oleh Herry Gendut Janarto; yang ternyata merupakan upaya pendokumentasian dari tulisan bersambung, di media cetak. Lumayan. Sedemikian miskinnya tradisi apresiasi dan pendokumentasian seni lawak kita, hingga pelawak Qomar mengambil inisiatif dan hendak membukukan ensiklopedi para pelawak Indonesia itu dengan upaya sendiri.


Untunglah, tersiarnya upaya untuk membuat buku tentang “Apa Siapa Pelawak Indonesia” itu bukan sekadar guyon; mudah-mudahan sedang dalam proses dan segera rampung. Bahkan, buku tentang biografi (proses kreatif?) pelawak “Bagito” juga sedang dalam proses akhir. Tentu perlu diingatkan, para “master” lawak seperti Basiyo, Gepeng, Johny Gudel dan lain-lain yang masih hidup juga dipikirkan pendokumentasiannya. Bukankah untuk menghargai jasa seorang pelawak (Jaya Suprana, Media Minggu, 10 September 1995) tidak harus menunggu mereka jadi almarhum?

Betapapun, lembar demi lembar catatan perjalanan para pelawak, sangat penting artinya bagi sejarah kesenian lawak di Indonesia. Sebuah format profesi yang telah mengalami transformasi secara mencengangkan. Dari dilecehkan dan disia-siakan, menjadi sesuatu yang bereksistensi. Bahkan, bergengsi. Setidaknya, itu yang “dianggap” terjadi di negeri ini.


Sukses Merangkak Cara Pelawak


Syahdan, ini relung renik tentang nasib pelawak yang tertuang dalam buku berjudul “Bagito, Trio Pengusaha Tawa”.

Suatu malam medio tahun 1982. Gedung pertemuan Nyi Ageng Serang di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, menghentak gempita. Dari luar sebentar-sebentar gelegar tawa deras terdengar. Di pentas, tampak trio Warkop DKI: Dono, Kasino, Indro, tengah seru beraksi. Jenaka bukan main. Dari samping panggung, diam-diam sesosok pemuda berjaket biru lusuh menatap takjub ke arah pentas. Segala gerak-gerik Kasino dan kawan-kawan ia cermati dengan tuntas.
Pemuda ceking berambut awut-awutan itu, siapa lagi bila bukan Dedi Gumelar (Miing). Ia baru saja mem-pe-ha-kakan diri sebagai karyawan honorer Pemda DKI yang mengurusi arsip bangunan, dan kini praktis nganggur.
Panggung telah sepi. Dedi tak juga beranjak pergi. Ia lihat Kasino menggenggam segepok uang, lalu sibuk membagiratakan ke sejumlah stafnya. Tanpa canggung Dedi dekati dedengkot Warkop DKI itu. “Mas, gue... selembar dong,” ucapnya tiba-tiba seperti bercanda. Rada kaget Kasino pandangi pemuda tukang angkat-angkut (peralatan) itu, lantas ia sorongkan lembar puluhan ribu itu kepadanya.
Dengan nyengir Dedi lalu mengenalkan diri. “Mas Kasino, saya pengin banget belajar ngelawak sama Mas,” katanya agak terbata. Untuk kedua kalinya Kasino dikejutkan ulah dan ucap pemuda satu itu (hlm. 13-14).
***

Penggalan sebagian kisah di atas itu, bukan saja membuat “merinding” bulu kuduk saat membaca – karena merupakan momentum yang sangat tipikal – tetapi juga menjadi kunci dan peletak dasar nasib trio lawak Bagito yang sebelumnya terlunta-lunta, sehingga berhasil merebut fenomena sukses di kemudian hari. Titik menentukan itu di antaranya, karena Dedi (Miing) berani mengambil langkah ngenger atau ngawulo atau nyantrik pada Warkop DKI.
Ya. Kisah Bagito, baik sebelum maupun sesudah Hadi (Unang) bergabung, penuh dengan cucuran keringat dan air mata. Gambaran hidupnya di masa lalu sangat kontras dengan produk lelucon dan hiburan yang bisa dinikmati saat ini. Bagito, merangkak dari dasar penderitaan, dari bawahnya bawah. Mungkin tak banyak masyarakat umum bisa memahami, bila di balik gebyar tawa dan pekik hura para pelawak, komedian atau penghibur kondang sekalipun, acapkali tersimpan sebagian kenyataan hidup mereka yang amat menyelinap: tragedi dan kepiluan.
Membaca riwayat dan sebagian proses kreatif Bagito yang ditulis dengan pendekatan “manusiawi” ini terasa memperoleh banyak masukan dan inspirasi. Sedikitnya percikan “nilai” dan “kebajikan” universal. Potongan spirit yang membuat seseorang atau sekelompok orang bisa survive di zaman yang penuh persaingan keras.
Menurut penuturan penulis buku ini, Herry Gendut Janarto, Bagito sadar betul bahwa sebuah proses tidak kalah penting dari hasil. Mereka tak ingin cuma “memetik” tanpa lebih dulu “menanam”. Bagito bahkan meloloskan sebagian riwayat kesialan, kedunguan dan kepicikan yang pernah mereka lakukan muncul dalam buku ini. Suatu langkah yang amat hebat, mendahului sejumlah buku riwayat hidup yang seringkali hanya berkutat di atmosfer kebajikan dan basa-basi artifisial.
Adanya bunga rampai komentar dan tanggapan yang dijamin independen dari tokoh-tokoh Umar Kayam, Kris Biantoro, Arswendo Atmowiloto, N. Riantiarno, Marwah Daud Ibrahim, Ishadi SK, Jujuk Srimulat dan lain-lain, makin membuktikan iktikad penerbitan ini memang ingin memberikan semacam tawaran yang luwes bagi masyarakat luas.
Pembaca yang kurang akrab dengan istilah dan idiom Jawa atau asing (Inggris), mungkin sedikit terganggu keasyikan membacanya. Namun sebagai ritme lirik, tidak terlalu berlebihan mengapa penulis buku mengambil keputusan demikian. Dengan gaya penuturannya yang renyah dan akrab, sebenarnya penulis buku cukup punya kemampuan menggiring rasa ingin tahu pembaca.


***

Mengapa penerbitan buku Bagito – selain kelompok Srimulat – terkesan melompati Warkop DKI, para pelawak senior dan pendahulu? Jawaban ini jelas tidak sederhana. Warkop DKI, menurut penuturan Dono, merasa tidak enak (secara etis) bila inisiatif itu datang dari pihaknya. Sementara penerbitan biografi para pelawak pendahulu: Bing Slamet, Bagio, Benyamin S, Basiyo, Johny Gudel, Gepeng dan lain-lain hanya bisa terealisasi bila ada iktikad tulus dari pihak lain yang merasa punya kewajiban moral untuk membukukannya. Dan salah satu pilihannya adalah menerbitkan buku sejenis: apa-siapa pelawak Indonesia.

Arwah Setiawan tentang Srimulat




DI kalangan pencinta humor maupun para humoris, nama Arwah Setiawan*) sangat akrab. Figur yang satu ini, setidaknya bisa dibilang sebagai orang Indonesia “pertama” yang menyadari perlunya mendekati humor maupun berbagai gejala seputar humor dengan jurus-jurus ilmiah.
Maka tak aneh, ia kemudian mendirikan Lembaga Humor Indonesia (LHI) yang berkedudukan di Jakarta. Mengadakan serangkaian kegiatan yang di dalamnya sarat bernafaskan humor. Satu ciri yang menandai upayanya adalah munculnya corak humor jenis baru atau bernada subversif, eh, revolutif. Sehingga dibanding dengan corak-corak yang ada sebelumnya, corak humor yang lahir dari konsep Arwah Setiawan, sangat tampak perbedaannya.
Seperti misalnya ketika pada awal “operasi”-nya, LHI pernah mementaskan wayang humor dengan lakon “Ratu Jadi Petruk”. Kemudian ketika ia menjadi pengasuh majalah humor Astaga, banyak orang mengakui bahwa humor-humor yang lahir dari majalah itu masuk kategori humor bermutu. Terutama pada awal-awal edisinya.
Maka tak aneh, eksistensi seorang Arwah Setiawan sebagai konseptor maupun pengamat, sulit dicari tandingannya. Menurut pengakuannya, hingga kapan pun tak mungkin ia menjauh dari humor, karena humor merupakan salah satu iman hidupnya.
Berbagai jabatan pun pernah dipegangnya, baik ketika bekerja di USIS (Kedutaan Besar Amerika) maupun ketika mengelola majalah sebagai pemimpin redaksi. Bahkan salah satu kejutan yang sempat dibuatnya, ia pernah duduk sebagai redaktur pelaksana sebuah majalah paling serius di Indonesia, yakni majalah sastra Horison. Lalu bongkar pasang terus. Terakhir ia berkantor di Citra Audi Vistama (pelayanan profesional media audiovisual) sebagai kepala divisi kebudayaan, sementara yang duduk sebagai direktur utama perusahaan ini adalah Dwi Koendoro, kartunis jempolan Indonesia yang sering diidentikkan dengan Panji Koming.
Tulisan ini merangkum serangkaian wawancara dengan Arwah Setiawan di beberapa tempat dengan waktu nyaris tak terbatas. Baik ketika berlangsung di Wisma Seni TIM, Jakarta; di kantor Citra Audivistama; maupun ketika penulis berkesempatan menginap di rumahnya.
Salah satu isu yang cukup menarik belakangan ini, sekitar dunia perlawakan di Indonesia, tampaknya menjadi salah satu sentral perhatiannya; yakni, tentang Srimulat.
Tanya: Apa pendapat Anda tentang gejala yang ada di tubuh Srimulat (terutama unit Jakarta), apakah itu suatu indikasi kemunduran, kemandegan atau justru kemajuan?
Jawab: Tampaknya sulit mengelak untuk tidak mengatakan bahwa di tubuh Srimulat memang sedang menunjukkan gejala-gejala yang menuju ke arah kemunduran, sebagaimana yang diramalkan banyak orang. Karena orang dengan mudah mendeteksi tanda-tanda krisis itu; misalnya dengan gencarnya para pemain andalan (top star) yang keluar dari Srimulat. Karena dengan demikian nilai selling point dari produk yang akan dijual ke masyarakat mau tidak mau memang mengalami semacam penyusutan. Tetapi bagi saya, persoalannya tidak sesederhana itu. Ada masalah-masalah tertentu yang saling berkait sehingga sebagai sebuah gejala, keadaan yang ada di tubuh Srimulat itu banyak menyiratkan pelajaran berguna yang bisa dipetik oleh para pelawak maupun grup lawak lainnya.
T: Apa saja misalnya?
J: Saya melihat ada tiga masalah atau sebab-sebab mengapa Srimulat mengalami apa tadi? Oh ya, kemunduran (konon). Mungkin pula problemnya sama. Tidak hanya di Jakarta, tapi di unit-unit lainnya, seperti misalnya di Semarang, dan di Surabaya. Tiga masalah tadi, atau tiga faktor tadi menurut perkiraan saya, pertama faktor keseniannya itu sendiri. Jenis atau pola lawakan Srimulat itu berakar pada lawakan tradisional. Terutama dari segi bahasa, sehingga yang diungkapkan adalah lawakan kata-kata yang memakai dasar bahasa Jawa. Makin lama, Srimulat seperti dituntut untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat yang lebih modern dan kosmopolitan. Kosmopolitan dalam arti bahasa itu bisa menjangkau atau punya nilai komunikasi luas. Lalu idiom-idiom tertentu, yang harus diadakan pergeseran, termasuk di antaranya subject matter-nya. Ini tidak otomatis bisa tumbuh hidup dan enak. Tidak otomatis para pemain bisa mengimbangi tuntutan tersebut. Akibatnya, bagi para pemain yang tidak bisa, tentu saja tidak menarik bagi para penonton.
Kedua, di bidang manajemennya, yang bermula dari corak non manajemen, artinya bertumpu pada sebuah figur god father atau seorang bapak, di mana ikatan anak buah terhadap atasannya lebih bersifat primordial loyality, atau loyalitas yang tidak saklek. Ikatan batin. Hal ini dengan makin terkenalnya Srimulat, maka Srimulat dituntut untuk otomatis mengorganisasi. Adanya penataan yang lebih sistematis dan kemudian manajemen keuangan. Ini tentu saja membutuhkan kiat atau ilmu tersendiri. Apalagi lokasinya semakin tersebar, Surabaya, Solo (dulu) dan kini Semarang serta Jakarta.
Dengan adanya kenyataan demikian, sistem ketergantungan terhadap seorang bapak, kurang relavan lagi. Paling tidak dituntut untuk mengadakan semacam pembagian tugas, pendelegasian. Kebetulan orang-orang yang terpilih untuk ini kebanyakan ipar-ipar Pak Teguh sendiri, dan mungkin bagi para pemain, sentuhan kepemimpinannya lain dengan yang dahulu ketika langsung ditangani Pak Teguh, sehingga agak menimbulkan rasa tidak puas dan sebagainya. Dengan kata lain, di bidang manajemen itu mengalami kemerosotan.
Ketiga, faktor yang ditentukan oleh hal-hal yang lebih bersifat ekstern. Misalnya soal job-job yang ditawarkan kepada para pemain/pelaku dengan imbalan yang lebih menarik dari segi finansial. Dengan adanya tawaran demikian, secara tidak sengaja lalu tumbuh semacam super starism. Lalu tercipta semacam level. Dan bagi para super star tadi setidaknya juga tergoda oleh keinginan untuk bisa memperoleh in come yang lebih. Dengan adanya pola manajemen yang kurang memuaskan, maka kenyataan ini merangsang bagi para “jagoan” tadi untuk keluar dari Srimulat. Ini merupakan salah satu contoh bentuk evolusi dari sebuah forma paguyuban (guyub) menjadi forma administratif. Sikap-sikap primordial loyality lama kelamaan makin terkikis oleh sikap yang lebih modern.
T: Namun demikian, salah satu kenyataan yang ada, para super star yang mencoba mandiri di luar dari Srimulat, ternyata toh tak juga menunjukkan kepesatan kemajuan. Malah beberapa di antaranya justru semakin tak jelas sosoknya. Mengapa bisa demikian?
J: Menurut saya, Pak Teguh memang sengaja mengemas Srimulat dengan versinya yang khas. Dan para super star yang keluar dari Srimulat banyak yang tidak menyadari, bahwa yang membuatnya hebat adalah sistem atau iklim yang ada di Srimulat itu sendiri. Bukan semata-mata capability atau kemampuan yang ada padanya.
T: Menurut Anda, apakah Srimulat (dalam semua unit) masih ada kans untuk mengawali masa kejayaannya lagi atau justru sedang siap-siap untuk pamit pada para penggemarnya?
J: Langkah-langkah yang bisa diambil, artinya secara teoritis. Apakah akan dilakukan atau tidak saya tidak tahu, andaikata akan dilakukan pun rasanya juga tidak mungkin. Salah satu hal yang menurut saya vital dilakukan adalah menaikkan penghasilan mereka. Atau paling tidak meskipun tidak sama dengan tarif job yang ada di luar, ya mendekati begitu. Hal ini dengan konsekuensi penonton juga harus meningkat. Ini bisa atau tidak? Langkah-langkah lain misalnya, Srimulat tak perlu mengadakan pengkaderan dengan cara mengambil pelawak-pelawak yang belum jadi. Andaikata akan diadakan pengkaderan pun seyogianya mengambil pelawak yang sudah jadi atau setengah jadi, sehingga upaya untuk menstabilkan citra atau selling point itu tidak perlu menunggu waktu yang terlalu lama. Misalnya mereka ambil Warkop, Jayakarta dan sebagainya. Bukan sebagai bintang tamu, tetapi sebagai karyawan. Jadi fungsi Srimulat sebagai label atau nama performance (di bidang karya grafis mirip fungsi syndicate; dms). Atau bila itu terlalu sulit, bikin saja dengan tidak berpretensi melayani penonton yang kosmopolitan. Kembali lagi dengan pola lawakan Srimulat semula. Yang menggunakan bahasa Jawa. Tentu saja dengan risiko cuma menjangkau khalayak yang lebih sempit. Atau ditinggalkan oleh penonton dari kalangan menengah ke atas.
T: Misalnya mengupayakan semacam pola lawak yang mengandung unsur eksperimental dan sebagainya, apakah ini bukan semacam nilai lain atau alternatif lain yang bisa ditawarkan agar membuat Srimulat bisa dilirik orang lagi?
J: Kalau melayani masyarakat kosmopolitan atau modern memang perlu. Tetapi kalau mengingat nilai instrinsik mereka apa bisa? Kalau saya melihat Srimulat, semuanya itu polanya Pak Teguh semua, ya begitulah Teguh. Media ekspresinya, maupun mimbar bagi kreasi-kreasinya.
T: Tentang perlawakan Indonesia, apakah Anda melihat sesuatu yang baru dan layak dilirik pada periode setengah dasa warsa ini?
J: Secara umum, belum ada yang begitu kuat dan menonjol. Itu bila meninjau lawak dari segi keseniannya. Tetapi dari segi hiburannya, banyak juga grup lawak yang cukup eksis di masyarakat.
T: Obsesi Anda tentang seni lawak Indonesia?
J: Adanya kesadaran menggali dan menampilkan hal-hal baru. Sehingga lawak tak sekadar sebagai ekspresi hiburan semata, tetapi seyogianya ada tanggung jawab berkeseniannya. Dan bila esensi ini dilakukan betul, barangkali orang baru sadar bahwa lawak atau humor itu benar-benar serius. (Darminto M Sudarmo_

*) Saat wawancara Arwah Setiawan masih hidup; beliau meninggal tahun 1995.

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular