Salah seorang penampil cewek di Metro TV |
Oleh
Darminto M Sudarmo
Sejujurnya
agak mengagetkan juga ketika Kompas,
edisi Minggu, 9 Oktober 2011, mengangkat laporan utama tentang pertunjukan stand up comedy (lawak tunggal) di
Indonesia sebagai seni pertunjukan humor alternatif yang belakangan mulai marak
di kafe dan televisi. Laporan ini terasa sebagai oasis yang memberikan
kesegaran dan harapan baru. “Orang-orang berbagi tawa untuk melepas kegetiran
hidup”, tulis koran tersebut.
Ketika kondisi
sosial budaya di masyarakat terasa stag, runcing dan stereotip; ketika tekanan
hidup terjadi karena berbagai persoalan politik, ekonomi, hankamnas dan
lain-lain, stand up comedy menjadi
semacam media katarsis yang akrab dan dekat dengan kehidupan masyarakat
sehari-hari. Begitu sederhananya bentuk pertnjukan ini, seseorang dapat tampil
meski dengan hanya memakai t-shirt
dan celana pendek. Spontan, segar dan kadang menyelinapkan materi-materi cerdas
yang mencerahkan.
Pertunjukan
ini dapat dikatakan sederhana karena seorang penampil tidak perlu dipusingkan
oleh berbagai kewajiban menyediakan uba
rampe fisik yang rumit seperti yang terdapat pada seni pertunjukan pada
umumnya; yaitu seting panggung/tata ruang, kostum/tata busana, properti, hand-prop, tata cahaya, tata rias wajah,
musik dan tata suara yang canggih. Semua dapat diakomodasi sesuai apa yang ada,
apalagi pada sesi open mic (forum
para pendatang baru menjajal nyali). Hal yang paling penting justru kekuatan di
materi lawakan, teknik penampilan dan penonton yang menunjang. Kecuali, tentu
saja, kemasan pertunjukan memang akan ditata dalam bentuk yang megah,
artifisial, bahkan spektakular.
Secara
selintas, upaya mentradisikan stand up
comedy di Indonesia telah dirintis oleh Ramon P Tommybens yang didukung oleh Harry de Fretes lewat Comedy
Cafe di Tanah Kusir, Jakarta, pada kurun waktu sekitar 1997-an; yang kemudian
berpindah-pindah lokasi ke Pondok Karya, Semanggi, dan terakhir di Kemang,
Jakarta Selatan. Buah dari kegigihan Ramon, yang konsisten dan tak pernah kenal
menyerah meski kemudian ia berjuang mengusung tekadnya sendiri, baru mulai
terasa hasilnya terutama sejak awal-awal tahun 2011. Publik mulai terbuka
matanya. Ketambahan lagi ketika sekelompok segmen pencinta humor sepertinya
tidak mendapatkan sajian humor yang sesuai dengan tuntutan intelektualitas mereka
di hampir semua stasiun TV yang ada.
Kini, stand up comedy, salah satu genre
pertunjukan lawak yang menurut literatur berasal dari luar – Inggris memiliki
warisan tradisi cukup lama, antara abad 18 – 19 dalam versi klasik; sementara
di Amerika, mereka yang dikenal sebagai pembaru jenis pertunjukan ini adalah
komedian-komedian seperti: Jack Benny, Bob Hope, George Burns, Fred Allen,
Milton Berle dan Frank Fay —kini mulai diterima dan diminati kelompok penonton kita
dari strata sosial tertentu. Mereka umumnya angkatan muda yang aktif di
jejaring sosial, berpendidikan SLTA ke atas dan berjiwa open minded; generasi yang tampaknya sedang berupaya membebaskan
diri dari warisan sejarah bangsa yang kelam dan penuh kemelut. Seperti yang
ditulis Kompas, mereka dapat tertawa
dan menertawai kegetiran hidup yang dialami maupun yang terjadi di sekitarnya.
Stand up Comedy Indonesia
Situasi ini
mengingatkan kita pada salah seorang “stand
up comedian” Indonesia yang “legendaris”; yaitu Cak Markeso. Seniman ludruk
tunggal dan garingan (tanpa iringan
musik) yang merintis karier sejak zaman kolonial ini -- pada 1949, ia memilih
keluar dari grupnya "Ludruk Cinta Massa" karena persoalan intern -- biasa mengamen dari kampung ke kampung di
Surabaya lalu bermonolog membawakan salah satu cerita bila ada warga yang nanggap. Ia juga punya kemampuan untuk
mengiringi cerita dengan musik dari mulutnya sendiri. Cak Markeso tercatat
dalam sejarah seni ludruk karena celetukan-celetukannya sangat khas dan piawai
dalam memancing imajinasi penonton.
Bentuk
pertunjukan lawak tunggal sejenis stand
up comedy juga pernah ada di TVRI (antara tahun 1970 – 1980-an) dan cukup boom serta digemari masyarakat. Tercatat
misalnya nama pelawak Arbain, dengan
logat Tegal-nya yang kental ia sanggup membuat penonton tergelak-gelak karena joke-joke yang dilempar sangat mengena
dan tepat sasaran; apalagi ia juga mempunyai keterampilan sulap yang memadai
sehingga acaranya di TVRI bertahan cukup lama. Sementara itu, meskipun tidak
rutin, seniman serba bisa Kris Biantoro, pernah membawakan “stand up comedy” di
TVRI dengan sangat genuin dan prima, bahkan belum tertandingi bila dibanding
produk pertunjukan sejenis hingga saat ini.
Secara parodis ia pernah tampil sendiri membawakan figur-figur terkenal waktu
itu lengkap dengan gaya busana, tata rias wajah dan aksen bicara, beberapa di
antaranya wanita; bergantian secara cepat. Bukan hanya gagasan fisik yang dia
garap, tetapi juga kedalaman materi yang dapat menimbulkan efek tawa; semua
terjaga, elegan dan berkualitas.
Tradisi Kesenian Serupa
Pertanyaan
mengapa maraknya stand up comedy
dapat mendatangkan kesegaran dan harapan
baru bagi publik pencinta humor di Indonesia? Karena secara roh budaya negeri
ini juga memiliki tradisi kesenian serupa meskipun dalam kemasan yang sedikit
berbeda. Dagelan Mataram misalnya, memulai acaranya dengan memunculkan seorang
pelawak yang bermonolog; sebut saja misalnya Basiyo; setelah ger-geran antara
lima hingga 10 menit, barulah format kelompok beraksi. Di pertunjukan ketoprak,
pada segmen dagelan, seorang pelawak membuka komunikasi beberapa saat dengan
penonton kemudian disusul interaksi dengan pelawak atau pemain lain. Begitu
juga di pertunjukan ludruk; sesi Jula-juli,
menampilkan pelawak tunggal yang selain menyanyikan lagu Jula-juli dengan syair-syair kocak yang terus-menerus diperbarui,
juga bermonolog sambil menyelipkan bahan-bahan lucu di antara
celetukan-celetukan ringannya. Kilmaksnya, bila kita renungkan lebih mendalam,
apa yang dilakukan ki dalang (baik wayang kulit maupun golek) nyaris punya
kesamaan pola; ki dalang adalah seorang player
yang jenis pertunjukannya berada dalam disiplin atau genre seni yang tak jauh
dari tradisi stand up comedy. Individu
menjadi pusat seluruh aliran pertunjukan.
Pada
akhirnya kita berharap, selain sebagai off
air event yang sudah berjalan dan
mulai mentradisi, televisi sebagai salah satu media yang memiliki daya jangkau
luas dapat melihat fenomena stand up
comedy ini sebagai salah satu kekuatan budaya yang perlu diperhitungkan. Bangsa ini benar-benar
sudah sangat membutuhkan tontonan yang selain menarik juga bermanfaat.
Setidaknya, tontonan alternatif yang dapat membangun kesegaran dan harapan baru
bagi masyarakat pencinta humor di Indonesia.
Darminto M
Sudarmo, penikmat dan pemerhati humor.
0 comments:
Post a Comment