Friday, December 30, 2011

Teknik dan Strategi dalam Melawak



TAK terasa posisi seni lawak semakin mantap menghuni bumi negeri ini, menjadi semacam bentuk kesenian yang punya daya pikat tersendiri. Bentuk kesenian ini, bukan saja digemari oleh kaum muda, tua, anak-anak, tetapi juga oleh individu maupun kelompok dari berbagai satus sosial yang beragam.
Mengapa seni lawak digemari? Sederhana jawabannya: sebagai tontonan, lawak memang memiliki unsur hiburan yang padat. Penuh kelucuan di samping sisi-sisi lain yang mampu membikin penikmat terpenuhi harapan.
Tentu saja harapan yang dimaksud di sini adalah harapan yang umumnya berisi khayalan kosong atau berlebihan. Lewat media lawak, imej, dan emosi penikmat diajak melambung atau berpesiar ke berbagai pengalaman gembirawi. Sehingga segala hal yang tampaknya tak masuk akal, bakal memperoleh penyaluran rasa dan hasrat lewat permainan multi rasio sang pelawak.
Manfaat seni lawak sudah tentu tak bisa diragukan lagi, yakni sebagai pelepas ketegangan. Adakalanya emosi dan hasrat-hasrat kita yang terpendam perlu sesekali kita manjakan (sebatas dosis yang sehat) supaya keseimbangan mental dan fisik dapat tercapai secara proporsional.
Kenyataan-kenyataan inilah yang mendasari, mengapa seni lawak digemari masyarakat. Bagaimanapun seni lawak hampir identik dengan kondisi kegembiraan itu sendiri. Sebuah kondisi yang sanggup membuat manusia sejenak melupakan urusan dunia yang terus membelit. Keajaiban-keajaiban yang terus bertimbun. Tekanan-tekanan yang terus menghimpit! Pendek kata, seseorang butuh dalam hidupnya (meski hanya sekali) bisa lepas dan bebas dari berbagai rongrongan psikologis dan kesulitan hidup.
Lawak adalah seni suguh; yang bisa divisualkan lewat berbagai media, di antaranya media pandang-dengar (panggung, televisi, film, dan sebagainya), media pandang saja (pantomim), media dengar saja (rekaman cassete, radio, dan sebagainya), maupun via media tulis (buku, koran, tabloid dan sebagainya).
Menurut para ahli, seni pertunjukan lawak akan disebut berhasil bila mampu menghadirkan suasana lucu bagi para penikmatnya. Di samping lawak itu sendiri mengandung hal-hal seperti: unsur kebaruannya menonjol (olah kreasi), berdaya kejut dan berdaya cegat (unsur sensasional) materi yang dibawakan mengandung segi-segi pendidikan (unsur edukatif), mampu menghadirkan persoalan atau problematika yang merangsang penikmat untuk berpikir (olah intelejensia), dan peka terhadap kondisi di sekitarnya (kontrol dan kritik sosial).

Kaidah
Sebagai seni yang pengekspresiannya memerlukan berbagai media, maka tak bisa dielakkan bahwa seni lawak butuh dan harus patuh pada kaidah-kaidah yang ada dalam media itu sendiri. Pada media pandang-dengar (panggung misalnya), maka lawak itu harus berurusan dengan kaidah-kaidah seni panggung (pentas) pada umumnya. Misalnya bagaimana pelawak harus muncul pertama kali; harus mengatur bloking, mengatur intonasi suara, harus diam ketika yang lain bicara, harus menembakkan lelucon pada saat yang tepat, dan harus mengakhiri dengan kejutan yang menggegerkan!
Sikap teatral yang berhasil adalah bila sang pelawak (demikian pula sang dramawan) mampu menampilkan sosok (karakter) dirinya secara jelas. Mungkin lewat permainan jeda yang benar atau strategi menyiasati kondisi panggung (teknik bloking) secara cerdik. Dalam hal ini sangat dibutuhkan kreativitas sang pelawak itu sendiri. Kemampuan berimprovisasi dan berspontan secara kaya, akan semakin memberi kans besar kemungkinan sang pelawak menguasai suasana dan massa penontonnya.
Jika fase ini mampu dilampaui dengan mulus, bukan berarti hasil akhir yang bernama sukses bisa dijamin. Sebab masih berderet kewajiban bagi sang pelawak untuk mampu mempertahankan suasana “gayeng” itu scara utuh dan total. Dalam hal ini, sutradara harus pandai-pandai bersiasat. Jika dalam suasana demikian hendak dihadirkan partner main lain, maka di samping ketangguhan materi yang hendak dilemparkan ke penonton satu hal yang paling penting dan tak boleh dilupakan adalah penggalangan kerjasama secara manis dan pas.
Sebab bila seluruh pemain hendak memaksa diri untuk bisa melucu sebanyak-banyaknya, sementara jeda dan gilir tampil atau bicara tidak disiapkan dengan matang, yang ada justru suasana yang gaduh dan kacau. Materi yang dilempar tak mengesankan satu kesatuan yang utuh dan terpusat, melainkan cerai-berai. Bahkan boleh jadi berantakan!
Kaidah lain mengenai materi lawak itu sendiri yang perlu menjadi catatan, yaitu pantang sekali bagi sang pelawak untuk mengulang dua kali atau lebih materi atau suasana mood yang berhasil mendatangkan gelak. Ibaratnya minum kopi, bila secangkir telah habis kita reguk bakal terasa hambar jika kita jerang lagi untuk kemudian kita suguhkan kedua kalinya. Kesalahan yang banyak dilakukan oleh para pelawak. Pasalnya sederhana, mereka menganggap penikmat belum jelas. Karena itu mereka perlu menjelas-jelaskan lagi.
Seni lawak bukan ceramah atau pidato. Celaka sekali bila pelawak terperosok dalam anggapan yang keliru ini. Pada seni humor secara umum, sesuatu yang hadir secara sembunyi atau berkesan tak jelas (sengaja disembunyikan) justru merupakan suasana yang mampu mengundang bagi sang penikmat untuk berpikir. Dan bila para penikmat itu telah sanggup memecahkan kelucuan atas usaha dan jerih payahnya sendiri (tergantung pula pada IQ dan referensi sang penikmat), maka tawa dan gelak yang dimunculkan adalah gelak dan tawa yang benar-benar mengesankan. Terutama bagi penikmat itu sendiri. Ya, makna sebenarnya dari rekreasi adalah penciptaan kembali, kata Arthur Koestler.
Kemampuan berefleksi para penikmat terhadap kelucuan yang dihidangkan memang berbeda-beda. Tergantung pada kemampuan kerja otak dan kekayaan referensi yang dimiliki. Ada penikmat yang responsif, ada pula yang lambat. Kendati demikian, bila mereka menemukan kelucuan atas dasar upaya sendiri (biar lambat atau cepat) maka kesan yang mengendap, tingkat kepuasan yang diperoleh dan sebagaimana akan berbeda bila kelucuan itu diperoleh karena disodorkan atau dijelaskan oleh pelawaknya.

Strategi
Strategi yang dimaksudkan di sini adalah upaya para pelawak dalam beradaptasi dengan lingkungan di tempat mereka hendak melawak. Terutama kaitannya dengan arah topik atau tema yang hendak diangkat. Akan sangat menguntungkan bagi si pelawak jika ia mau mengangkat topik yang sudah akrab dengan masyarakat setempat atau konteks dengan situasi dan kondisi yang ada.
Lain soal bila masyarakat penontonnya heterogen, maka pelawak harus telah mempersiapkan segala sesuatunya jauh-jauh waktu sebelum melakukan pertunjukan . Pemilihan topik pun harus jeli. Bisa saja mengambil jalan tengah; separo lawakan bertopik universal dan separonya lagi mengangkat topik yang diperkirakan memuat idiom-idiom lokal.
Karena itu, dari gambaran di atas jelas bagi kita bahwa profesi di bidang seni lawak mengandung risiko yang tidak kecil. Bila mereka tak tahan banting, maka sudah jelas nasib seperti apa yang akan menjemput mereka di depan nanti.
Maka sungguh menarik ucapan salah seorang pelawak terkenal negeri ini, ia dan kelompoknya tak akan pernah berhenti belajar karena memang tak ingin ditinggalkan penggemar mereka.
Hubungan otak manusia dan ide, jangan-jangan tak beda kendi dan air. Bila kendi itu sudah kehabisan air, maka tugas yang harus dilakukan adalah mengisinya lagi. Demikian pula soal pelawak. Bila ia sudah sudah kehabisan ide, maka salah satu tindakan bijaksana yang harus dilakukannya adalah belajar.

Pelawak
Manusia macam apa dia? Siapakah yang bisa menjadi pelawak? Bagaimana rasanya menjadi pelawak?
Para ahli menyebut pelawak adalah orang yang melankolik dan suram. Mereka membuat orang lain ketawa dan tergelak, tetapi dirinya sendiri tak pernah tertawa. Pelawak yang tertawa karena leluconnya sendiri, tidak mengerti profesinya.
Para pelawak yang sudah mencapai tingkat seniman, juga tak beda dengan para seniman atau kreator seni lain. Sering dihuni perasan gelisah, resah, ragu-ragu, tak menentu, jika sesekali lolos dari keseimbangan jiwanya (kadar kecil), lalu tanpa sadar, terekspresi dalam tingkah laku fisik; maka tafsiran orang tentang dirinya pun, lalu macam-macam. Ada yang menyebutnya nyentrik; ada yang mengatakan sombong, dan ada pula yang menuduhnya tak waras. Meskipun “rongrongan” dari dalam demikian laten dan cukup menyiksa, tetapi pada umumnya para seniman ini dapat mengendalikan diri.
Penyair Inggris J. Keats menyebut kegelisahan yang tak bisa ditolak oleh para seniman itu sebagai negative capability. Sebuah kondisi yang justru sangat dibutuhkan dan baik bagi mereka. Sebab dari keadaan seperti itulah sesungguhnya yang membuat mereka menjadi subur dalam berkreasi dan mencipta.
Seorang pelawak besar memang lahir karena bakat besar. Tetapi bakat besar tanpa ditunjang teknik, pengarahan dan momentum yang sesuai, bisa-bisa malah tidak jadi apa-apa. Pesan Thomas Alva Edison tetap relevan sepanjang zaman; untuk sukses, dia hanya perlu 1% bakat, tapi 99% kerja keras. Nah! Memang dikiranya pelawak boleh enak-enak? (Darminto M Sudarmo)

0 comments:

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular