Ayo main

Sabar semua kebagian karcis.

Hidangan Pembuka

Asyiiiiiikkkkkkkkk

Nah gitu dong

Terimakasih terimakasih terimakasih

Gedung kesenian ya begini

Setiap aktris aktor atau bintang yang pernah tampil bangga

Apalagi

Mendapat tepuk tangan panjang dan penghargaan yang tak terlupakan

Tuesday, August 19, 2008

Aneka Artikel Tentang Lawak dan Humor




Wahyu Legendaris untuk Tiga Pelawak


Semua Artikel Berikut
ditulis oleh pengamat humor/lawak:

Darminto M Sudarmo


BELUM jelas benar bagaimana kriterianya, tiba-tiba beredar gosip di kalangan terbatas yang mengatakan, bahwa tiga nama pelawak: Bing Slamet, S Bagyo dan Benyamin S; pantas menerima “gelar” legendaris sesuai dengan prestasi, dedikasi dan kontribusi mereka yang besar dalam dunia “kesenian”. Khususnya, seni lawak. Gelar yang dimaksud muncul secara rela hati tanpa rekayasa pihak mana pun. Itu terjadi karena turunnya semacam wahyu, yang membuat seseorang atau mereka bertiga dipilih oleh sejarah untuk menjadi sang maha bintang. Menjadi pemicu fenomena. Bahkan, pengobar optimisme.
Mengapa Bing Slamet, S Bagyo dan Benyamin S? Berhubung belum adanya semacam lembaga; walaupun lembaga Humor Indonesia dan Paguyuban Lawak Indonesia ada; yang secara spesifik mengkalkulasi prestasi, dedikasi dan kontribusi seseorang atau pelawak selama menjalankan kariernya, maka metode apresiasi yang dipilih pun berlangsung secara emosional. Terjadi, begitu saja. Pilihan kepada ketiga tokoh ini, tidak melewati perdebatan berbelit. Tidak melewati sidang-sidang. Cukup mengalir, sebagaimana mengalirnya gosip dan rumor yang bisa dianggap serius, bisa pula dianggap cuma guyon.
Bing Slamet, S Bagyo dan Benyamin S tergolong pelawak yang liat namun lembut dalam sosialisasi. Selama hidupnya banyak memberikan sentuhan dan inspirasi bagi kelompok yang lebih muda. Memberi tempat dan ruang untuk calon pengganti. Mereka tidak memonopoli fenomena. Dermawan dalam menyebarkan wabah optimisme. Mereka juga menyiapkan calon pengganti tanpa harus menampakkan diri, apalagi intervensi.
Pelajaran-pelajaran “besar” bagi yang muda, mereka berikan secara sederhana. Dengan menjalani fitrah sebagai manusia profesional. Tak pernah berhenti mencari, tak pernah puas menawarkan gagasan, tak pernah selesai dalam belajar. Tidak jumawa dan menganggap yang lain tak pernah ada. Setidaknya, demikian kesan umum yang bisa diagenda.
Dalam hidup mereka, jarang bisa dijumpai trik dan kegenitan akting dan PR (Public Relations), kecuali cara hidup yang tulus dan mensyukuri nikmat yang ada. Situasi demikian; pada zaman sekarang ini; mungkin semakin sulit kita jumpai. Menjadi orang yang rela hati terhadap pilihan-pilihannya sendiri, adalah persoalan yang tidak sederhana. Mereka, figur-figur yang konsisten, dalam duka maupun suka.


***

TANGGA-tangga karier yang mereka lewati, juga tidak sederhana. Tidak seperti wahyu yang jatuh dari langit kemudian dalam sekejap menyulap mereka menjadi manusia-manusia luar biasa. Pelawak-pelawak hebat dan serba bisa. Humoris-humoris tulen yang karya-karyanya memang sepadan. Mereka belajar dengan keras. Tapak demi tapak. Tak ada “kursi” kesenimanan yang bisa dicapai dengan jalan pintas, dengan instan, dengan karbitan lalu menempatkannya dalam singgasana keabadian. Karena kursi itu ada dalam diri pelawak itu sendiri. Tak bisa dibeli, tak bisa dimanipulasi.
Kesabaran dan kesadaran pada proses waktu, adalah pelajaran besar dan contoh besar yang mereka tinggalkan kepada kaum muda. Walaupun agak “pahit” untuk citarasa saat ini, kaum muda yang sedang meniti dan merangkak di karier yang sama, dapat menjadikannya sebagai katarsis atau apologia sesaat. Boleh saja ia menjadi semacam fatamorgana di keruncingan padang pasir; karena situasi dan tantangan sekarang mungkin lebih kompleks dan sulit dipeta; setidaknya, pengalaman-pengalaman para pendahulu masih menyisakan sebagian kearifan. Bahkan, harapan.
***

DI sisi lain, dunia perlawakan kita, dan humor pada umumnya, ditandai dengan kemiskinan tradisi literer. Ini sulit dibantah. Sangat tak sepadan dengan upaya karsa dan karya para seniman lawaknya. Banyak debut penting, yang hanya didokumentasi oleh pers atau kaset, video atau film layar lebar. Kadang tercecer, lalu terlupakan atau hilang ditelan oleh data baru. Upaya untuk melakukan kajian; menyangkut segi sosiohistorisnya; sama sekali belum dilakukan secara serius.
Buku tentang apa-siapa pelawak Amerika, Joe Franklin”s Encyclopedia of Comedians, misalnya, terdiri atas 348 halaman, mencatat dari Abbott dan Costello hingga Zacherley; bisa dibilang atau tergolong agak kuno. Cetakan kedua buku ini saja dicetak tahun 1979. Meskipun demikian, sebagai informasi dasar ia masih relevan. Komedian kondang seperti Bill Cosby, misalnya, yang saat ini diberitakan bayarannya melangit, saat itu (di buku) untuk tampil di klub malam, masih menerima sekitar 50.000 dollar hingga 100.000 dollar per minggu. Pemutakhiran (up dating) buku ini, memang sangat diperlukan agar berimbang dengan perkembangan paling baru.
Satu-satunya buku lawak di Indonesia, yakni tentang Teguh dan Srimulat, ditulis oleh Herry Gendut Janarto; yang ternyata merupakan upaya pendokumentasian dari tulisan bersambung, di media cetak. Lumayan. Sedemikian miskinnya tradisi apresiasi dan pendokumentasian seni lawak kita, hingga pelawak Qomar mengambil inisiatif dan hendak membukukan ensiklopedi para pelawak Indonesia itu dengan upaya sendiri.
Untunglah, tersiarnya upaya untuk membuat buku tentang “Apa Siapa Pelawak Indonesia” itu bukan sekadar guyon; mudah-mudahan sedang dalam proses dan segera rampung. Bahkan, buku tentang biografi (proses kreatif?) pelawak “Bagito” juga sedang dalam proses akhir. Tentu perlu diingatkan, para “master” lawak seperti Basiyo, Gepeng, Johny Gudel dan lain-lain yang masih hidup juga dipikirkan pendokumentasiannya. Bukankah untuk menghargai jasa seorang pelawak (Jaya Suprana, Media Minggu, 10 September 1995) tidak harus menunggu mereka jadi almarhum?
Betapapun, lembar demi lembar catatan perjalanan para pelawak, sangat penting artinya bagi sejarah kesenian lawak di Indonesia. Sebuah format profesi yang telah mengalami transformasi secara mencengangkan. Dari dilecehkan dan disia-siakan, menjadi sesuatu yang bereksistensi. Bahkan, bergengsi. Setidaknya, itu yang “dianggap” terjadi di negeri ini.



***





(Artikel Berikutnya)


Humor Kontekstual – Universal, Sebuah Gurauan


HUMOR, dalam beberapa kasus, tak beda dengan karya sastra. Ia juga dikisruhkan oleh tema dan topik. Ada tema atau topik yang demikian tipikalnya sehingga hanya sekelompok orang tertentu saja yang dapat memahami persoalannya. Makin gawat lagi bila persoalan yang diangkat menyangkut masalah symbol atau local contents yang makin menyempit, maka ruang pemahaman terhadap konteks itu hanya dapat dipahami orang-orang tertentu pula. Namun dengan adanya penyebaran informasi yang amat luas, adakalanya humor-humor bermuatan lokal juga dapat diakses dan dipahami oleh orang-orang di luar konteks budaya tersebut.
Orang Jawa yang melepas selop saat masuk lift atau telepon umum, orang Sunda yang lebih fasih mengucapkan huruf p ketimbang f, maupun orang Bali dan Aceh yang mengucapkan huruf t dengan tekanan khusus, adalah hal-hal yang sudah menjadi pemahaman dan permakluman bersama. Sebagaimana gurauan Dr. George Aditjondro, t di Bali diartikan turis dan t di Aceh diartikan teroris, maka orang bisa saja memberi tambahan: di Tabanan dan Buleleng t juga diartikan tawuran!
Agar penyelaman ke dalam makna kontekstual-universal yang makin silang lilit ini tak nyasar ke mana-mana, tak ada salahnya kita menyimak tiga contoh humor di bawah ini, diambil dari buku GAM (Geerr Aceh Merdeka), hal. 81, 105, dan 109, terbitan Garba Budaya Sahabat Aceh, setidaknya untuk kajian perbandingan.
Kita mulai dengan humor yang berjudul Terimakasih untuk Tentara. Ada seorang petani dari Kabupaten Pidie, menulis surat ke anaknya di penjara Nusakambangan karena dituduh terlibat GAM; bunyinya: “Hasan, bapakmu ini sudah tua, sekarang sedang musim tanam jagung, dan kamu di penjara pula, siapa yang mau bantu bapak mencangkul kebun jagung ini?” Anaknya membalas beberapa minggu kemudian, “Demi Allah, jangan cangkul itu kebun, saya tanam senjata di sana.” Besoknya, setelah si bapak terima surat, datang satu peleton tentara dari Banda Aceh; tanpa banyak bicara, mereka segera ke kebun jagung dan sibuk seharian mencangkul tanah di kebun tersebut. Setelah mereka pergi, kembali si bapak tulis surat kepada anaknya, “Hasan, setelah bapak terima suratmu, datang satu peleton tentara mencari senjata di kebun jagung kita tanpa hasil, apa yang harus bapak lakukan sekarang?” Si anak kembali balas surat tersebut, “Sekarang bapak mulai tanam jagung saja, kan sudah dicangkul sama tentara, dan jangan lupa mengucapkan terimakasih pada mereka.”
Wartawan. Suatu hari, satu regu prajurit TNI menyeberangi sungai Krueng Aceh, yang membelah Banda Aceh. Di tengah sungai, buaya-buaya yang ganas menelan bulat-bulat prajurit tersebut. Apa boleh buat, senjata M –16 tidak mampu menghadapi buaya itu. Esoknya, dikirim satu kompi polisi . Nasib sama terulang lagi. Semua gugur di mulut buaya. Senjata SS – 1 tak berdaya menghadapi serangan membabi buta dari gerombolan buaya. Hari ketiga, giliran angkatan GAM yang diterjunkan ke sana. Lagi-lagi mereka pun mengalami nasib yang tragis. AKA – 47 milik GAM menjadi loyo melawan barisan buya krueng (buaya sungai). Hari keempat datang konvoi lain. Kali ini para buaya jadi keheranan. Konvoi ini tidak menyandang satu senjata pun. Yang tergantung hanya secuil kertas bertuliskan: Pers. Buaya pikir ini lebih mudah lagi untuk memakannya. Namun tiba-tiba komandan buaya berteriak, “Stop! Itu rombongan wartawan. Jangan diganggu. Mereka lebih buaya daripada kita!”
Intel Inside. Suatu ketika, militer menyerahkan seperangkat komputer kepada para pemuda di salah satu desa di Aceh. Namun apa lacur, mereka membuang komputer tersebut ke laut. Pasalnya, di komputer tersebut tertulis kalimat, “Intel Inside”.
Humor berjudul Terimakasih untuk Tentara dapat dijadikan model humor tipikal Aceh, sangat konteks dengan semangat Aceh; bahkan oleh orang Aceh sendiri itu diakui sebagai tipu ala Aceh. Kendatipun persoalannya sangat khas dan hanya ada di Aceh, namun pembaca dari latar belakang budaya manapun tentu dapat memahami humor tersebut, apalagi bila referensinya juga ditunjang oleh berita-berita di media massa cetak dan elektronik. Sementara itu, humor berjudul Wartawan dan Intel Inside, dapat saja dimodifikasi untuk dilekatkan pada humor dengan tema lain; misalnya: Humor Papua, Maluku atau Poso. Tidak ada yang spesifik di sana; kecuali wilayah konflik dan adanya pendudukan militer.
Lalu humor-humor universal, seberapa universalnya? Mungkinkah ia tak terkait dengan masalah konteks atau ikon lokal yang sangat tipikal dan tak terdapat di tempat lain? Pertanyaan ini pun mengundang jawaban yang kisruh. Dalam usia peradaban umat manusia yang sudah demikian tinggi mungkinkah kebudayaan suatu bangsa tidak mempengaruhi kebudayaan bangsa lain? Contoh-contoh lelucon yang diambil dari buku Humor SMS, Guyon Demokrasi dan Guyon SexGar, terbitan Kombat Publishers berikut dapat menambah ramainya persepsi yang berkembang dan simpang siur itu.

Humor SMS
Sebagaimana lazimnya SMS (Short Message Service), maka bahasa yang digunakan pun singkat, padat, lugas dan bergegas. Kita mulai dari humor yang berjudul Pemabuk. Di mana rumahmu! Bentak polisi pada seorang pemabuk. “Itu!” sambil menunjuk rumah mewah, polisi tercengang, lalu sebuah mobil mewah masuk. “Itu mobil saya,” polisi tambah kagum. Seorang wanita cantik turun dari pintu kiri. “Itu istri saya.” Kemudian disusul laki-laki turun dari pintu kanan mobil itu juga. “Nha ..kalau itu saya, Pak.” Langsung pemabuk itu digiring ke kantor polisi.
Istri Setia. Istri saya setia, waktu saya masuk penjara dia hamil 6 bulan, begitu setahun saya keluar dia tetap hamil 6 bulan.
Dokter Gigi. Jangan mau punya suami dokter gigi dan pegawai telkom, soalnya kalo dokter gigi, goyang dikit saja, langsung dicabut, sedangkan pegawai telkom maunya cepat selesai, takut pulsanya tinggi.
Phone a Friend. Setelah nonton “Who Wants to Be a Millioner” suami ngajak making love istri tapi ditolak.”Oke,“ kata suami, “Saya gunakan fasilitas phone a friend.”
Alkohol. Hai orang-orang budiman, janganlah kau minum minuman beralkohol, karena alkohol itu minuman setan, kalau kau tetap minum terus, lha nanti setan minum apa.

Guyon Demokrasi
Beda dengan humor-humor SMS, humor-humor demokrasi agak menuntut pemikiran dan wawasan yang lebih. Paling tidak, pembacanya adalah orang-orang yang punya perhatian pada masalah sosial politik. Rajin mengikuti berita di koran/majalah atau televisi. Dengan kata lain, pembaca atau penikmat yang klop untuk humor-humor jenis ini adalah kalangan educated people dan up to date. Kita mulai dari humor yang berjudul Memutarbalikkan Fakta. Sambil marah-marah, seorang pengurus partai memasuki kantor redaksi sebuah suratkabar yang telah memuat beritanya pagi itu. "Kalian dengan sengaja telah memutarbalikkan apa yang saya katakan semalam! Koran kalian telah memuat kebohongan!" "Sabar, Pak! Anda tidak bisa marah-marah begini. Apa kata dunia nanti bila kami memuat sesuatu yang benar tentang Anda?!"
Uji Kasus Soal Pilihan. Seorang politikus dari Partai Republik dengan rajin mendatangi setiap rumah untuk memastikan memilih partainya. "Tidak," kata seorang laki-laki yang dikunjunginya, "ayah saya seorang demokrat, begitu juga kakek saya. Saya tidak akan memilih partai selain Demokrat." "Itu bukan alasan yang tepat," sahut si orang Partai Republik, "apakah kalau ayah Anda dan kakek Anda pencuri kuda, akan
membuat Anda jadi pencuri kuda juga?" "Tidak," jawab si Demokrat, "dalam kasus seperti itu, saya kira, saya akan menjadi pengikut Partai Republik!"
Politik Uang Salah Alamat. "Orang-orang asing ini sudah pasti tidak boleh ikut memilih, Pak," kata seorang penduduk melapor kepada anggota pimpinan partai. "Itulah yang membuatku bingung. Sepertinya, separuh dari mereka adalah orang-orang yang kuberi uang kemarin. Tapi yang mana, ya, aku tak ingat lagi."
Peramal dan Politikus. Seorang politikus muda berjalan-jalan di sebuah taman. Ketika dia melalui seorang peramal, dia berhenti. Si peramal langsung saja berceloteh. "Tuan, Tuan sudah menikah, bukan?" "Betul." "Anak Tuan dua, bukan? Laki-laki semuanya?" "Ya, betul." "Tuan pengikut Partai Republik?" "Nah, Anda sudah berbuat kekeliruan dalam ramalan Anda! Itu masih tergantung! Peramal lain mengatakan saya akan dapat suara lebih banyak bila di Partai Demokrat!"

Guyon SexGar
Berbeda dengan humor seks lain yang cenderung vulgar dan mengeksploitasi seks dalam pengertian sebanal-banalnya, humor-humor seks yang dicontohkan dalam kasus ini, sama sekali jauh dari motif itu. Yang ada adalah sport logika seputar seks atau para pelaku dalam bingkai humor dan tetap elegan.
Kita mulai dari humor yang berjudul Ranjang Kembar. John bercerita pada teman sekantornya. "Kehidupan seks kami semakin membaik sejak kami, saya dan istri, punya ranjang kembar." "Bagaimana kejadiannya?" "Kami mendapatkannya di rumah yang berbeda."
Cuma Seorang Suami. Broto menatap wajah pacar gelapnya yang sangat ia cintai.
"Saya sakit hati. Kemarin saya melihatmu berjalan dengan laki-laki lain." "Nggak usah cengeng, deh. Itu kan cuma suamiku. Percayalah, nggak ada laki-laki lain selain kamu."
Dua Lima Ribu Siap Apa Saja. Pria yang memakai mobil merah itu berhenti di pinggir jalan, ketika seorang bencong yang mengenakan pakaian ketat dan rias yang medok melambai-lambaikan tangannya. Bencong itu berbisik, menggoda, "Untuk dua puluh lima ribu rupiah, saya akan melakukan apa saja yang kamu minta." "Tolong catkan rumahku," kata laki-laki itu sambil memberikan uang.
Tiga Kata yang Menyebalkan. "Tiga kata apakah yang tidak ingin Anda dengarkan ketika sedang bercinta?" "Sayang, saya pulang!"
Bagaimana Bisa Mengganggu? Begitu mendengar pacarnya dirawat di rumah sakit, bergegaslah Joni ke sana dan bertanya pada dokter. "Sebaiknya jangan diganggu dulu, ia masih sangat lelah," sahut dokter, serius. "Bagaimana aku akan mengganggunya di tempat umum macam begini, Dok. Di rumah pun kami biasa mencari kesempatan baik, setelah orang tuanya tidur," ujar Joni dengan nada sinis.
Dari contoh-contoh humor di atas, akhirnya terbukti bahwa polarisasi antara kontekstual -universal sepertinya akan sampai pada tahap gurauan belaka. Transformasi di bidang komunikasi telah menjembatani berbagai kemustahilan dan kemuskilan. Setidaknya itu yang tampak pada contoh-contoh humor yang ada dalam artikel ini. Oleh karena itu, salah satu contoh humor paling kontekstual mungkin dapat digambarkan di bawah ini.
Tersebutlah sebuah komunitas yang beranggotakan tujuh orang peminat humor atau joke. Mereka punya jadwal yang sangat ketat untuk nge-joke setiap minggunya. Sehingga untuk joke-joke yang tergolong lucu dan kuat mereka sepakat memberi nomor. Misalnya joke nomor 1 tentang mincing, nomor 2 tentang pemabuk dan seterusnya. Hingga pada suatu ketika mereka berpisah karena tugas. Bertahun-tahun ketujuh orang ini tak pernah bertemu, sehingga mereka berencana mengadakan reuni. Ketika reuni tiba, masing-masing mendapat giliran untuk memberi sambutan (maksudnya: nge-joke). Dengan enteng Si A, maju dan berkata: Joke nomor 3! Dan enam orang lain langsung merespon dengan ketawa terbahak-bahak. Bagaimana dengan anak-anak dan istri-istri mereka? Hanya bengong tak mengerti, karena joke yang dibawakan Si A memang sangat kontekstual!






(Artikel Berikutnya)


Sukses Merangkak Cara Pelawak

Syahdan, ini relung renik tentang nasib pelawak yang tertuang dalam buku berjudul “Bagito, Trio Pengusaha Tawa”.

Suatu malam medio tahun 1982. Gedung pertemuan Nyi Ageng Serang di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, menghentak gempita. Dari luar sebentar-sebentar gelegar tawa deras terdengar. Di pentas, tampak trio Warkop DKI: Dono, Kasino, Indro, tengah seru beraksi. Jenaka bukan main. Dari samping panggung, diam-diam sesosok pemuda berjaket biru lusuh menatap takjub ke arah pentas. Segala gerak-gerik Kasino dan kawan-kawan ia cermati dengan tuntas.
Pemuda ceking berambut awut-awutan itu, siapa lagi bila bukan Dedi Gumelar (Miing). Ia baru saja mem-pe-ha-kakan diri sebagai karyawan honorer Pemda DKI yang mengurusi arsip bangunan, dan kini praktis nganggur.
Panggung telah sepi. Dedi tak juga beranjak pergi. Ia lihat Kasino menggenggam segepok uang, lalu sibuk membagiratakan ke sejumlah stafnya. Tanpa canggung Dedi dekati dedengkot Warkop DKI itu. “Mas, gue... selembar dong,” ucapnya tiba-tiba seperti bercanda. Rada kaget Kasino pandangi pemuda tukang angkat-angkut (peralatan) itu, lantas ia sorongkan lembar puluhan ribu itu kepadanya.
Dengan nyengir Dedi lalu mengenalkan diri. “Mas Kasino, saya pengin banget belajar ngelawak sama Mas,” katanya agak terbata. Untuk kedua kalinya Kasino dikejutkan ulah dan ucap pemuda satu itu (hlm. 13-14).

***

Penggalan sebagian kisah di atas itu, bukan saja membuat “merinding” bulu kuduk saat membaca – karena merupakan momentum yang sangat tipikal – tetapi juga menjadi kunci dan peletak dasar nasib trio lawak Bagito yang sebelumnya terlunta-lunta, sehingga berhasil merebut fenomena sukses di kemudian hari. Titik menentukan itu di antaranya, karena Dedi (Miing) berani mengambil langkah ngenger atau ngawulo atau nyantrik pada Warkop DKI.
Ya. Kisah Bagito, baik sebelum maupun sesudah Hadi (Unang) bergabung, penuh dengan cucuran keringat dan air mata. Gambaran hidupnya di masa lalu sangat kontras dengan produk lelucon dan hiburan yang bisa dinikmati saat ini. Bagito, merangkak dari dasar penderitaan, dari bawahnya bawah. Mungkin tak banyak masyarakat umum bisa memahami, bila di balik gebyar tawa dan pekik hura para pelawak, komedian atau penghibur kondang sekalipun, acapkali tersimpan sebagian kenyataan hidup mereka yang amat menyelinap: tragedi dan kepiluan.
Membaca riwayat dan sebagian proses kreatif Bagito yang ditulis dengan pendekatan “manusiawi” ini terasa memperoleh banyak masukan dan inspirasi. Sedikitnya percikan “nilai” dan “kebajikan” universal. Potongan spirit yang membuat seseorang atau sekelompok orang bisa survive di zaman yang penuh persaingan keras.
Menurut penuturan penulis buku ini, Herry Gendut Janarto, Bagito sadar betul bahwa sebuah proses tidak kalah penting dari hasil. Mereka tak ingin cuma “memetik” tanpa lebih dulu “menanam”. Bagito bahkan meloloskan sebagian riwayat kesialan, kedunguan dan kepicikan yang pernah mereka lakukan muncul dalam buku ini. Suatu langkah yang amat hebat, mendahului sejumlah buku riwayat hidup yang seringkali hanya berkutat di atmosfer kebajikan dan basa-basi artifisial.
Adanya bunga rampai komentar dan tanggapan yang dijamin independen dari tokoh-tokoh Umar Kayam, Kris Biantoro, Arswendo Atmowiloto, N. Riantiarno, Marwah Daud Ibrahim, Ishadi SK, Jujuk Srimulat dan lain-lain, makin membuktikan iktikad penerbitan ini memang ingin memberikan semacam tawaran yang luwes bagi masyarakat luas.
Pembaca yang kurang akrab dengan istilah dan idiom Jawa atau asing (Inggris), mungkin sedikit terganggu keasyikan membacanya. Namun sebagai ritme lirik, tidak terlalu berlebihan mengapa penulis buku mengambil keputusan demikian. Dengan gaya penuturannya yang renyah dan akrab, sebenarnya penulis buku cukup punya kemampuan menggiring rasa ingin tahu pembaca.


***

Mengapa penerbitan buku Bagito – selain kelompok Srimulat – terkesan melompati Warkop DKI, para pelawak senior dan pendahulu? Jawaban ini jelas tidak sederhana. Warkop DKI, menurut penuturan Dono, merasa tidak enak (secara etis) bila inisiatif itu datang dari pihaknya. Sementara penerbitan biografi para pelawak pendahulu: Bing Slamet, Bagio, Benyamin S, Basiyo, Johny Gudel, Gepeng dan lain-lain hanya bisa terealisasi bila ada iktikad tulus dari pihak lain yang merasa punya kewajiban moral untuk membukukannya. Dan salah satu pilihannya adalah menerbitkan buku sejenis: apa-siapa pelawak Indonesia.








(Artikel Berikutnya)


Arwah Setiawan tentang Srimulat

DI kalangan pencinta humor maupun para humoris, nama Arwah Setiawan sangat akrab. Figur yang satu ini, setidaknya bisa dibilang sebagai orang Indonesia “pertama” yang menyadari perlunya mendekati humor maupun berbagai gejala seputar humor dengan jurus-jurus ilmiah.
Maka tak aneh, ia kemudian mendirikan Lembaga Humor Indonesia (LHI) yang berkedudukan di Jakarta. Mengadakan serangkaian kegiatan yang di dalamnya sarat bernafaskan humor. Satu ciri yang menandai upayanya adalah munculnya corak humor jenis baru atau bernada subversif, eh, revolutif. Sehingga dibanding dengan corak-corak yang ada sebelumnya, corak humor yang lahir dari konsep Arwah Setiawan, sangat tampak perbedaannya.
Seperti misalnya ketika pada awal “operasi”-nya, LHI pernah mementaskan wayang humor dengan lakon “Ratu Jadi Petruk”. Kemudian ketika ia menjadi pengasuh majalah humor Astaga, banyak orang mengakui bahwa humor-humor yang lahir dari majalah itu masuk kategori humor bermutu. Terutama pada awal-awal edisinya.
Maka tak aneh, eksistensi seorang Arwah Setiawan sebagai konseptor maupun pengamat, sulit dicari tandingannya. Menurut pengakuannya, hingga kapan pun tak mungkin ia menjauh dari humor, karena humor merupakan salah satu iman hidupnya.
Berbagai jabatan pun pernah dipegangnya, baik ketika bekerja di USIS (Kedutaan Besar Amerika) maupun ketika mengelola majalah sebagai pemimpin redaksi. Bahkan salah satu kejutan yang sempat dibuatnya, ia pernah duduk sebagai redaktur pelaksana sebuah majalah paling serius di Indonesia, yakni majalah sastra Horison. Lalu bongkar pasang terus. Terakhir ia berkantor di Citra Audi Vistama (pelayanan profesional media audiovisual) sebagai kepala divisi kebudayaan, sementara yang duduk sebagai direktur utama perusahaan ini adalah Dwi Koendoro, kartunis jempolan Indonesia yang sering diidentikkan dengan Panji Koming.
Tulisan ini merangkum serangkaian wawancara dengan Arwah Setiawan di beberapa tempat dengan waktu nyaris tak terbatas. Baik ketika berlangsung di Wisma Seni TIM, Jakarta; di kantor Citra Audivistama; maupun ketika penulis berkesempatan menginap di rumahnya.
Salah satu isu yang cukup menarik belakangan ini, sekitar dunia perlawakan di Indonesia, tampaknya menjadi salah satu sentral perhatiannya; yakni, tentang Srimulat.
Tanya: Apa pendapat Anda tentang gejala yang ada di tubuh Srimulat (terutama unit Jakarta), apakah itu suatu indikasi kemunduran, kemandegan atau justru kemajuan?
Jawab: Tampaknya sulit mengelak untuk tidak mengatakan bahwa di tubuh Srimulat memang sedang menunjukkan gejala-gejala yang menuju ke arah kemunduran, sebagaimana yang diramalkan banyak orang. Karena orang dengan mudah mendeteksi tanda-tanda krisis itu; misalnya dengan gencarnya para pemain andalan (top star) yang keluar dari Srimulat. Karena dengan demikian nilai selling point dari produk yang akan dijual ke masyarakat mau tidak mau memang mengalami semacam penyusutan. Tetapi bagi saya, persoalannya tidak sesederhana itu. Ada masalah-masalah tertentu yang saling berkait sehingga sebagai sebuah gejala, keadaan yang ada di tubuh Srimulat itu banyak menyiratkan pelajaran berguna yang bisa dipetik oleh para pelawak maupun grup lawak lainnya.
T: Apa saja misalnya?
J: Saya melihat ada tiga masalah atau sebab-sebab mengapa Srimulat mengalami apa tadi? Oh ya, kemunduran (konon). Mungkin pula problemnya sama. Tidak hanya di Jakarta, tapi di unit-unit lainnya, seperti misalnya di Semarang, dan di Surabaya. Tiga masalah tadi, atau tiga faktor tadi menurut perkiraan saya, pertama faktor keseniannya itu sendiri. Jenis atau pola lawakan Srimulat itu berakar pada lawakan tradisional. Terutama dari segi bahasa, sehingga yang diungkapkan adalah lawakan kata-kata yang memakai dasar bahasa Jawa. Makin lama, Srimulat seperti dituntut untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat yang lebih modern dan kosmopolitan. Kosmopolitan dalam arti bahasa itu bisa menjangkau atau punya nilai komunikasi luas. Lalu idiom-idiom tertentu, yang harus diadakan pergeseran, termasuk di antaranya subject matter-nya. Ini tidak otomatis bisa tumbuh hidup dan enak. Tidak otomatis para pemain bisa mengimbangi tuntutan tersebut. Akibatnya, bagi para pemain yang tidak bisa, tentu saja tidak menarik bagi para penonton.
Kedua, di bidang manajemennya, yang bermula dari corak non manajemen, artinya bertumpu pada sebuah figur god father atau seorang bapak, di mana ikatan anak buah terhadap atasannya lebih bersifat primordial loyality, atau loyalitas yang tidak saklek. Ikatan batin. Hal ini dengan makin terkenalnya Srimulat, maka Srimulat dituntut untuk otomatis mengorganisasi. Adanya penataan yang lebih sistematis dan kemudian manajemen keuangan. Ini tentu saja membutuhkan kiat atau ilmu tersendiri. Apalagi lokasinya semakin tersebar, Surabaya, Solo (dulu) dan kini Semarang serta Jakarta.
Dengan adanya kenyataan demikian, sistem ketergantungan terhadap seorang bapak, kurang relavan lagi. Paling tidak dituntut untuk mengadakan semacam pembagian tugas, pendelegasian. Kebetulan orang-orang yang terpilih untuk ini kebanyakan ipar-ipar Pak Teguh sendiri, dan mungkin bagi para pemain, sentuhan kepemimpinannya lain dengan yang dahulu ketika langsung ditangani Pak Teguh, sehingga agak menimbulkan rasa tidak puas dan sebagainya. Dengan kata lain, di bidang manajemen itu mengalami kemerosotan.
Ketiga, faktor yang ditentukan oleh hal-hal yang lebih bersifat ekstern. Misalnya soal job-job yang ditawarkan kepada para pemain/pelaku dengan imbalan yang lebih menarik dari segi finansial. Dengan adanya tawaran demikian, secara tidak sengaja lalu tumbuh semacam super starism. Lalu tercipta semacam level. Dan bagi para super star tadi setidaknya juga tergoda oleh keinginan untuk bisa memperoleh in come yang lebih. Dengan adanya pola manajemen yang kurang memuaskan, maka kenyataan ini merangsang bagi para “jagoan” tadi untuk keluar dari Srimulat. Ini merupakan salah satu contoh bentuk evolusi dari sebuah forma paguyuban (guyub) menjadi forma administratif. Sikap-sikap primordial loyality lama kelamaan makin terkikis oleh sikap yang lebih modern.
T: Namun demikian, salah satu kenyataan yang ada, para super star yang mencoba mandiri di luar dari Srimulat, ternyata toh tak juga menunjukkan kepesatan kemajuan. Malah beberapa di antaranya justru semakin tak jelas sosoknya. Mengapa bisa demikian?
J: Menurut saya, Pak Teguh memang sengaja mengemas Srimulat dengan versinya yang khas. Dan para super star yang keluar dari Srimulat banyak yang tidak menyadari, bahwa yang membuatnya hebat adalah sistem atau iklim yang ada di Srimulat itu sendiri. Bukan semata-mata capability atau kemampuan yang ada padanya.
T: Menurut Anda, apakah Srimulat (dalam semua unit) masih ada kans untuk mengawali masa kejayaannya lagi atau justru sedang siap-siap untuk pamit pada para penggemarnya?
J: Langkah-langkah yang bisa diambil, artinya secara teoritis. Apakah akan dilakukan atau tidak saya tidak tahu, andaikata akan dilakukan pun rasanya juga tidak mungkin. Salah satu hal yang menurut saya vital dilakukan adalah menaikkan penghasilan mereka. Atau paling tidak meskipun tidak sama dengan tarif job yang ada di luar, ya mendekati begitu. Hal ini dengan konsekuensi penonton juga harus meningkat. Ini bisa atau tidak? Langkah-langkah lain misalnya, Srimulat tak perlu mengadakan pengkaderan dengan cara mengambil pelawak-pelawak yang belum jadi. Andaikata akan diadakan pengkaderan pun seyogianya mengambil pelawak yang sudah jadi atau setengah jadi, sehingga upaya untuk menstabilkan citra atau selling point itu tidak perlu menunggu waktu yang terlalu lama. Misalnya mereka ambil Warkop, Jayakarta dan sebagainya. Bukan sebagai bintang tamu, tetapi sebagai karyawan. Jadi fungsi Srimulat sebagai label atau nama performance (di bidang karya grafis mirip fungsi syndicate; dms). Atau bila itu terlalu sulit, bikin saja dengan tidak berpretensi melayani penonton yang kosmopolitan. Kembali lagi dengan pola lawakan Srimulat semula. Yang menggunakan bahasa Jawa. Tentu saja dengan risiko cuma menjangkau khalayak yang lebih sempit. Atau ditinggalkan oleh penonton dari kalangan menengah ke atas.
T: Misalnya mengupayakan semacam pola lawak yang mengandung unsur eksperimental dan sebagainya, apakah ini bukan semacam nilai lain atau alternatif lain yang bisa ditawarkan agar membuat Srimulat bisa dilirik orang lagi?
J: Kalau melayani masyarakat kosmopolitan atau modern memang perlu. Tetapi kalau mengingat nilai instrinsik mereka apa bisa? Kalau saya melihat Srimulat, semuanya itu polanya Pak Teguh semua, ya begitulah Teguh. Media ekspresinya, maupun mimbar bagi kreasi-kreasinya.
T: Tentang perlawakan Indonesia, apakah Anda melihat sesuatu yang baru dan layak dilirik pada periode setengah dasa warsa ini?
J: Secara umum, belum ada yang begitu kuat dan menonjol. Itu bila meninjau lawak dari segi keseniannya. Tetapi dari segi hiburannya, banyak juga grup lawak yang cukup eksis di masyarakat.
T: Obsesi Anda tentang seni lawak Indonesia?
J: Adanya kesadaran menggali dan menampilkan hal-hal baru. Sehingga lawak tak sekadar sebagai ekspresi hiburan semata, tetapi seyogianya ada tanggung jawab berkeseniannya. Dan bila esensi ini dilakukan betul, barangkali orang baru sadar bahwa lawak atau humor itu benar-benar serius.









(Artikel Berikutnya)


Naskah dan Literatur Komedi


SEORANG pengamat tayangan TV pernah merekomendasikan buku Comedy Writing Secrets, tulisan Melvin Helitzer, tergolong bagus untuk pedoman penulisan naskah humor TV. Dalam hati saya: mudah-mudahan, betul.
Buku yang lumayan tebal dan terdiri 19 bab ini memang menyajikan gambaran yang (nyaris) menyeluruh tentang seluk-beluk rahasia penulisan humor. Tetapi, kalau dengan buku itu seorang penulis naskah komedi langsung bisa bermain dan menghasilkan karya sebagus naskah komedi TV Amerika Serikat, misalnya, maka itulah yang disebut: sekali tepuk dua lalat.
Memang harus diakui, manfaat referensi; umum atau spesifik; sungguh penting untuk dunia humor sebagai cabang kesenian yang masih bertanda petik dalam wacana perilmiahan. Nah, berkaitan dengan semangat itu, tak ada salahnya mengintip buku-buku berikut. Setidaknya, ini menjadi pelengkap atau malah “pedoman” vital bagi dunia penulisan komedi.
Simak saja: Comedy Techniques for Writes and Performers tulisan Melvin Helitzer juga; ada pula How the Great Comedy Writers Great Laughter oleh Larry Wilde. Atau kalau mau lebih tajam dan tune in, tidak berdosa menyantap Movie Comedy tulisan Stuart Byron dan Elizabeth Weis.
Harap diingat, muatan materi dari buku-buku tersebut tidak otomatis menyulap Anda menjadi penulis komedi TV/film yang jempolan! Ibarat kata, teori-teori itu baru membangkitkan kemampuan “manajerial”, sistematika dan disiplin analisis otak bagian kiri Anda. Otak bagian kanan, yang memiliki berjuta kegilaan, “kecerdasan”, kreativitas, dan keliaran tanpa batas, tetap membutuhkan waktu dan tempaan tersendiri supaya terampil.
Ngomong-ngomong, lalu mana peran literatur asal negeri awak? Ini pertanyaan menarik. Jangankan untuk memperoleh bahan tentang metodologi seni melawak di panggung, sinetron dan film, untuk mencari peta sejarah perlawakan di bumi Nusantara tercinta ini pun, sulitnya cukup menggigit tulang menyerap sumsum. Ada sebuah buku tentang “Teguh dan Srimulat” tulisan Herry Gendut Janarto; namun, sentuhannya sangat khusus dan terbatas.
Tradisi lawak atau bebodoran atau punakawan-an yang ada pada kita adalah warisan yang ditularkan secara oral; secara learning by doing. Maka tak heran, kalau pada sekitar 1983, ketika saya menanyakan pada Indro Warkop tentang kemungkinan diadakan sekolah lawak di Indonesia, langsung disambut dengan jawaban: tidak mungkin! Alasannya, lawak di Indonesia lebih banyak muncul karena bakat alam dan panggilan jiwa. Setidaknya, pendapat serupa juga diyakini oleh pelawak-pelawak lain.
Apa teori tidak penting? Tentu saja penting. Hanya saja, yang terjadi di negeri kita, proses pemindahan “ilmu” itu terproyeksi secara oral, langsung dalam pengalaman. Mungkin ini sejalan dengan lingkungan tumbuhnya seni lawak itu sendiri, yaitu lewat kelompok: ketoprak, wayang orang, sandiwara permanen, bahkan sandiwara keliling. Apalagi, manajemen yang diterapkan dalam gurup-grup itu lebih banyak menganut forma paguyuban. Sangat kontras dengan beberapa grup yang ada di negeri asing, yang sejak awal sudah menyadari pentingnya sistem atau forma administratif.
Lawak panggung, TV, film, memang ada bedanya? Mungkin hanya disiplin teknis yang membedakan. Namun, kebiasaan berkarya dalam jalur “spesialisasi”, baik panggung, TV, maupun film tetap mengundang risiko nilai kurang dan nilai lebih. Sebuah grup yang terbiasa dengan konsep nonskrip (tanpa naskah), tetap memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan “lakon” atau “laga” yang menggunakan konsep atau skenario. Demikian pula sebaliknya.
Akhirnya, baik jalur spesialisasi maupun campur (umum) tak akan pernah menjanjikan semangat lestari dan survival kalau mengabaikan pentingnya visi, strategi, konsep, perencanaan, persiapan, dan sejenisnya. Persiapan naskah, untuk tradisi sebagian lawak kita, memang tidak otomatis dalam bentuk tertulis. Bisa saja dalam bentuk diskusi yang kemudian berlanjut ke pembagian peran dan penyimpanan “ide” di dalam kepala masing-masing.
So, apa pun dalihnya, persiapan dalam bentuk naskah atau “naskah”, tetap penting. Ini perlu diingatkan supaya jangan sampai terjadi sebuah grup yang sudah kesohor justru meninggalkan penggemarnya karena paceklik ide dan kekeringan kreasi. Alangkah terbatasnya lingkungan pergaulan kreativitas grup yang kayak gitu. Seingat saya, di Indonesia kagak ada deh. Percayalah.









(Artikel Berikutnya)


Teknik dan Strategi dalam Melawak


Tak terasa posisi seni lawak semakin mantap menghuni bumi negeri ini, menjadi semacam bentuk kesenian yang punya daya pikat tersendiri. Bentuk kesenian ini, bukan saja digemari oleh kaum muda, tua, anak-anak, tetapi juga oleh individu maupun kelompok dari berbagai satus sosial yang beragam.
Mengapa seni lawak digemari? Sederhana jawabannya: sebagai tontonan, lawak memang memiliki unsur hiburan yang padat. Penuh kelucuan di samping sisi-sisi lain yang mampu membikin penikmat terpenuhi harapan.
Tentu saja harapan yang dimaksud di sini adalah harapan yang umumnya berisi khayalan kosong atau berlebihan. Lewat media lawak, imej, dan emosi penikmat diajak melambung atau berpesiar ke berbagai pengalaman gembirawi. Sehingga segala hal yang tampaknya tak masuk akal, bakal memperoleh penyaluran rasa dan hasrat lewat permainan multi rasio sang pelawak.
Manfaat seni lawak sudah tentu tak bisa diragukan lagi, yakni sebagai pelepas ketegangan. Adakalanya emosi dan hasrat-hasrat kita yang terpendam perlu sesekali kita manjakan (sebatas dosis yang sehat) supaya keseimbangan mental dan fisik dapat tercapai secara proporsional.
Kenyataan-kenyataan inilah yang mendasari, mengapa seni lawak digemari masyarakat. Bagaimanapun seni lawak hampir identik dengan kondisi kegembiraan itu sendiri. Sebuah kondisi yang sanggup membuat manusia sejenak melupakan urusan dunia yang terus membelit. Keajaiban-keajaiban yang terus bertimbun. Tekanan-tekanan yang terus menghimpit! Pendek kata, seseorang butuh dalam hidupnya (meski hanya sekali) bisa lepas dan bebas dari berbagai rongrongan psikologis dan kesulitan hidup.
Lawak adalah seni suguh; yang bisa divisualkan lewat berbagai media, di antaranya media pandang-dengar (panggung, televisi, film, dan sebagainya), media pandang saja (pantomim), media dengar saja (rekaman cassete, radio, dan sebagainya), maupun via media tulis (buku, koran, tabloid dan sebagainya).
Menurut para ahli, seni pertunjukan lawak akan disebut berhasil bila mampu menghadirkan suasana lucu bagi para penikmatnya. Di samping lawak itu sendiri mengandung hal-hal seperti: unsur kebaruannya menonjol (olah kreasi), berdaya kejut dan berdaya cegat (unsur sensasional) materi yang dibawakan mengandung segi-segi pendidikan (unsur edukatif), mampu menghadirkan persoalan atau problematika yang merangsang penikmat untuk berpikir (olah intelejensia), dan peka terhadap kondisi di sekitarnya (kontrol dan kritik sosial).

Kaidah
Sebagai seni yang pengekspresiannya memerlukan berbagai media, maka tak bisa dielakkan bahwa seni lawak butuh dan harus patuh pada kaidah-kaidah yang ada dalam media itu sendiri. Pada media pandang-dengar (panggung misalnya), maka lawak itu harus berurusan dengan kaidah-kaidah seni panggung (pentas) pada umumnya. Misalnya bagaimana pelawak harus muncul pertama kali; harus mengatur bloking, mengatur intonasi suara, harus diam ketika yang lain bicara, harus menembakkan lelucon pada saat yang tepat, dan harus mengakhiri dengan kejutan yang menggegerkan!
Sikap teatral yang berhasil adalah bila sang pelawak (demikian pula sang dramawan) mampu menampilkan sosok (karakter) dirinya secara jelas. Mungkin lewat permainan jeda yang benar atau strategi menyiasati kondisi panggung (teknik bloking) secara cerdik. Dalam hal ini sangat dibutuhkan kreativitas sang pelawak itu sendiri. Kemampuan berimprovisasi dan berspontan secara kaya, akan semakin memberi kans besar kemungkinan sang pelawak menguasai suasana dan massa penontonnya.
Jika fase ini mampu dilampaui dengan mulus, bukan berarti hasil akhir yang bernama sukses bisa dijamin. Sebab masih berderet kewajiban bagi sang pelawak untuk mampu mempertahankan suasana “gayeng” itu scara utuh dan total. Dalam hal ini, sutradara harus pandai-pandai bersiasat. Jika dalam suasana demikian hendak dihadirkan partner main lain, maka di samping ketangguhan materi yang hendak dilemparkan ke penonton satu hal yang paling penting dan tak boleh dilupakan adalah penggalangan kerjasama secara manis dan pas.
Sebab bila seluruh pemain hendak memaksa diri untuk bisa melucu sebanyak-banyaknya, sementara jeda dan gilir tampil atau bicara tidak disiapkan dengan matang, yang ada justru suasana yang gaduh dan kacau. Materi yang dilempar tak mengesankan satu kesatuan yang utuh dan terpusat, melainkan cerai-berai. Bahkan boleh jadi berantakan!
Kaidah lain mengenai materi lawak itu sendiri yang perlu menjadi catatan, yaitu pantang sekali bagi sang pelawak untuk mengulang dua kali atau lebih materi atau suasana mood yang berhasil mendatangkan gelak. Ibaratnya minum kopi, bila secangkir telah habis kita reguk bakal terasa hambar jika kita jerang lagi untuk kemudian kita suguhkan kedua kalinya. Kesalahan yang banyak dilakukan oleh para pelawak. Pasalnya sederhana, mereka menganggap penikmat belum jelas. Karena itu mereka perlu menjelas-jelaskan lagi.
Seni lawak bukan ceramah atau pidato. Celaka sekali bila pelawak terperosok dalam anggapan yang keliru ini. Pada seni humor secara umum, sesuatu yang hadir secara sembunyi atau berkesan tak jelas (sengaja disembunyikan) justru merupakan suasana yang mampu mengundang bagi sang penikmat untuk berpikir. Dan bila para penikmat itu telah sanggup memecahkan kelucuan atas usaha dan jerih payahnya sendiri (tergantung pula pada IQ dan referensi sang penikmat), maka tawa dan gelak yang dimunculkan adalah gelak dan tawa yang benar-benar mengesankan. Terutama bagi penikmat itu sendiri. Ya, makna sebenarnya dari rekreasi adalah penciptaan kembali, kata Arthur Koestler.
Kemampuan berefleksi para penikmat terhadap kelucuan yang dihidangkan memang berbeda-beda. Tergantung pada kemampuan kerja otak dan kekayaan referensi yang dimiliki. Ada penikmat yang responsif, ada pula yang lambat. Kendati demikian, bila mereka menemukan kelucuan atas dasar upaya sendiri (biar lambat atau cepat) maka kesan yang mengendap, tingkat kepuasan yang diperoleh dan sebagaimana akan berbeda bila kelucuan itu diperoleh karena disodorkan atau dijelaskan oleh pelawaknya.

Strategi
Strategi yang dimaksudkan di sini adalah upaya para pelawak dalam beradaptasi dengan lingkungan di tempat mereka hendak melawak. Terutama kaitannya dengan arah topik atau tema yang hendak diangkat. Akan sangat menguntungkan bagi si pelawak jika ia mau mengangkat topik yang sudah akrab dengan masyarakat setempat atau konteks dengan situasi dan kondisi yang ada.
Lain soal bila masyarakat penontonnya heterogen, maka pelawak harus telah mempersiapkan segala sesuatunya jauh-jauh waktu sebelum melakukan pertunjukan . Pemilihan topik pun harus jeli. Bisa saja mengambil jalan tengah; separo lawakan bertopik universal dan separonya lagi mengangkat topik yang diperkirakan memuat idiom-idiom lokal.
Karena itu, dari gambaran di atas jelas bagi kita bahwa profesi di bidang seni lawak mengandung risiko yang tidak kecil. Bila mereka tak tahan banting, maka sudah jelas nasib seperti apa yang akan menjemput mereka di depan nanti.
Maka sungguh menarik ucapan salah seorang pelawak terkenal negeri ini, ia dan kelompoknya tak akan pernah berhenti belajar karena memang tak ingin ditinggalkan penggemar mereka.
Hubungan otak manusia dan ide, jangan-jangan tak beda kendi dan air. Bila kendi itu sudah kehabisan air, maka tugas yang harus dilakukan adalah mengisinya lagi. Demikian pula soal pelawak. Bila ia sudah sudah kehabisan ide, maka salah satu tindakan bijaksana yang harus dilakukannya adalah belajar.

Pelawak
Manusia macam apa dia? Siapakah yang bisa menjadi pelawak? Bagaimana rasanya menjadi pelawak?
Para ahli menyebut pelawak adalah orang yang melankolik dan suram. Mereka membuat orang lain ketawa dan tergelak, tetapi dirinya sendiri tak pernah tertawa. Pelawak yang tertawa karena leluconnya sendiri, tidak mengerti profesinya.
Para pelawak yang sudah mencapai tingkat seniman, juga tak beda dengan para seniman atau kreator seni lain. Sering dihuni perasan gelisah, resah, ragu-ragu, tak menentu, jika sesekali lolos dari keseimbangan jiwanya (kadar kecil), lalu tanpa sadar, terekspresi dalam tingkah laku fisik; maka tafsiran orang tentang dirinya pun, lalu macam-macam. Ada yang menyebutnya nyentrik; ada yang mengatakan sombong, dan ada pula yang menuduhnya tak waras. Meskipun “rongrongan” dari dalam demikian laten dan cukup menyiksa, tetapi pada umumnya para seniman ini dapat mengendalikan diri.
Penyair Inggris J. Keats menyebut kegelisahan yang tak bisa ditolak oleh para seniman itu sebagai negative capability. Sebuah kondisi yang justru sangat dibutuhkan dan baik bagi mereka. Sebab dari keadaan seperti itulah sesungguhnya yang membuat mereka menjadi subur dalam berkreasi dan mencipta.
Seorang pelawak besar memang lahir karena bakat besar. Tetapi bakat besar tanpa ditunjang teknik, pengarahan dan momentum yang sesuai, bisa-bisa malah tidak jadi apa-apa. Pesan Thomas Alva Edison tetap relevan sepanjang zaman; untuk sukses, dia hanya perlu 1% bakat, tapi 99% kerja keras. Nah! Memang dikiranya pelawak boleh enak-enak?






(Artikel Berikutnya)


Seni Lawak Indonesia, ke Mana?


SEBAGAI bagian dari seni suguh, lawak dipandang sebagai bentuk pertunjukan yang cukup ampuh. Dalam arti mampu menyedot penonton dan bahkan, dicari penonton. Selama ini, ketika seni lawak dikemas dalam bentuk “paket” acara di TVRI, para penonton selalu menyiapkan diri untuk dapat menikmatinya. Demikian pula halnya ketika dikemas dalam bentuk sajian film, atau rekaman kaset.
Di Indonesia, popularitas seni lawak memiliki sejarah yang khas. Paling tidak ada suatu era yang mengawali iklim seperti itu. Misalnya, ketika Bing Slamet bersama Kwartet Jaya-nya sempat malang-melintang di kancah pertunjukan atau film Indonesia, satu tahapan bahwa pamor seni lawak mulai diperhitungkan secara serius. Di samping itu, era tersebut juga memancing tumbuhnya grup lawak baru yang kemudian mampu eksis di mata penonton. Bahkan ada pula sementara personal lawak yang nekad menjadi single fighter. Menjelajah karier seorang diri.
Kejayaan grup Bing Slamet Cs, memberikan inspirasi besar bagi kemunculan grup-grup lawak baru; maka kemudian muncul grup-grup seperti Bagio Cs, Warkop, Kwartet S, dan sekian grup lain yang kehadirannya ternyata juga mampu merebut hati penonton.
Tetapi, bahwa grup-grup lawak itu kemudian sarat dinamika dan perubahan, makin menarik untuk diamati. Bongkar pasang formasi, “migrasi” anggota dari satu grup ke grup lain, adalah fakta yang harus dilihat dengan bijak dan penuh rasa maklum. Proses berorganisasi, bagi mereka, memerlukan waktu dan pembelajaran.

Manajemen dan Kualitas
Ada sementara dugaan yang mengatakan bahwa kondisi demikian karena kurang profesionalnya pengelolaan manajemen; ada pula yang beranggapan karena secara kualitatif, grup-grup itu sudah surut pamornya. Setidaknya frequensi hadir mereka kepada publik semakin menurun. Grup-grup potensial seperti De Kabayan, Srimulat, menghadapi kondisi yang tak jauh dari dugaan itu. Srimulat (Jakarta) yang belakangan ini banyak ditinggalkan oleh pemain-pemain andalannya, harus merasakan repotnya karena munculnya fenomena yang cukup merisaukan tersebut.
Bila ada sementara grup yang di TVRI masih aktif mengunjungi publik, seperti Jayakarta Grup, De Bodor, Tom Tam dan sebagainya, memang mengembirakan bila ditilik dari sisi produktivitas mereka. Namun demikian secara kualitatif, orang menangkap bahwa tema atau gagasan yang disampaikan oleh grup-grup tersebut hanya memenuhi target rutinitas.
Gagasan mereka belum memunculkan tawaran-tawaran yang menggebrak publik. Demikian pula Grup Ria Jenaka yang muncul di TVRI setiap Minggu siang; lebih banyk terjebak pada warna sponsor yang sangat dominan. Kita sulit membedakan itu sajian lawak atau penerangan.
Memasukkan pesan-pesan tertentu dalam pertunjukan lawak, boleh saja selama kreator mampu mengemas isi tanpa harus mengorbankan estetika; tanpa harus mengesampingkan bobot humornya. Bahkan dari dialog yang muncul acapkali kita dibuat bingung; terutama tentang satria culun yang omongannya agak kolokan itu bernama Lesmono Mondrokumoro atau Lesnomo Mondrokumoro. Sebab beberapa kemunculan Ria Jenaka, nama Lesmono lebih banyak diucapkan Nomo ketimbang Mono.

Kreativitas Digugat
Sebenarnya, bila kita mau sedikit berendah hati, prospek seni lawak Indonesia dapat “disiasati” dengan berbagai cara dan pilihan. Salah satu contoh misalnya, ini sekadar wacana, dalam film Kejarlah Daku Kau Kutangkap yang diperankan oleh personal-personal bukan pelawak tetapi justru mampu menghasilkan produk yang sarat lelucon dan “tinggi” mutu. Sudah selayaknya bila kita bertanya, bagaimana hal yang tampaknya mustahil itu bisa terjadi?
Mustahil? Tentu saja, mereka bukan pelawak tetapi dapat melucu demikian bagus; bagaimana mungkin? Mungkin saja. Melucu itu bukan monopoli pelawak. Bukan pelawak juga dapat melucu asalkan ada skenario yang lucu dan pengarahan sutradara yang tepat.
Improvisasi dalam seni lawak, tidak jelek. Bahkan ia menjadi semacam kekuatan. Tetapi dalam kenyataannya, improvisasi yang baik, yang cerdas, yang tepat timing, selalu lahir dari pelawak yang rakus belajar (akses materi). Tak mungkin pelawak dapat memberi sesuatu yang dia sendiri tidak punya. Oleh karena itu, kata belajar atau akses materi, dari mana pun sumbernya (membaca, menonton, mendengar orang lain, mengamati sesuatu, menganalisa gejala di lingkungan sekitar dan sebagainya). Dalam bahasa yang sangat banal dikatakan, bagaimana ente bisa buang hajat jika sehari-hari kagak pernah nyantap makanan?
Siasat yang lain, belajar pada seni teater. Terutama teater modern yang lebih toleran mengaktualisasikan unsur gerak, lighting, musik, dan properti lainnya. Unsur-unsur ini bisa disentuh untuk kepentingan humor. Lewat berbagai siasat dan kreasi sutradara atau pembuat skrip. Obyek yang bisa dioptimalkan untuk kepentingan humor tak hanya terpancang pada unsur cerita dan verbal saja, tetapi lebih kaya dari itu.
Paduan teknik teater dengan seni lawak “tulen”, akan menghasilkan bentuk sajian yang beragam dan berdimensi ganda. Hal ini mengingatkan kita bagaimana sebuah humor kartun dilahirkan, yang dapat mengeksplorasi obyek secara tak terbatas itu.
Hal lain yang perlu dimaklumi, grup lawak itu harus mengerti pentingnya fungsi sutradara yang akan mengolah bukan saja masalah estetika tetapi juga unsur-unsur lain yang terkait dengan lelucon. Bagi yang mengerti, peran sutradara itu akan sangat membantu, bukan malah menjadi beban, sebagaimana yang sering disalahpahami oleh sementara pihak. Apalagi bila grup tersebut secara “jiwa besar” mau pula melibatkan bintang-bintang tamu, yang akan memberi kesan kesegaran tersendiri kepada penikmat.
Kerja serius dalam seni lawak memang sudah seharusnya dimulai. Masyarakat sudah terlalu toleran menghargai kehadirannya, sekaligus dengan penghargaan finansial yang mahal. Bila para pelawak, kreator humor yang berkaitan erat dengan seni lawak tahu diri, sudah saatnya “melayani” penikmat dan masyarakat penonton dengan imbangan “mutu” yang selayaknya. Sekaligus pula memulai masa “era” baru dalam bidang seni suguh.








(Artikel Berikutnya)


Bisnis Lawak di Indonesia


SENI lawak adalah salah satu jenis kesenian yang cukup diperhitungkan kehadirannya. Salah satu ukuran yang bisa dijadikan acuan untuk itu adalah: masyarakat menyukainya. Tentu ini ukuran yang sederhana.
Yang menjadi pertanyaan, benarkah pelawak disukai masyarakat?
Pertanyaan ini ternyata mengundang jawaban dan respon yang amat beragam. Ada jenis jawaban atau katakanlah respon yang benar-benar di luar dugaan. Muncul dari seorang cendekiawan kita; ia mengatakan bangsa Indonesia suka lawak, suka guyon, suka yang segar dan enak-enak, karena bertolak dari kebiasaan kemalasan berpikir.
The Liang Gie, cendekiawan dan penulis buku filsafat seni, mengingatkan agar mahasiswa tidak membiasakan diri dengan mengadakan kegiatan lomba lawak, sebab ada tugas lain yang lebih relevan dan membawa kemajuan bagi bangsa, yakni berkiprah dalam bidang ilmiah.
Kalangan penggemar humor tentu sangat menghargai pandangan-pandangan seperti itu; namun mereka juga punya alasan dan versi yang lain lagi. Bahwa kegiatan berhumor bukanlah kegiatan sekadar hura-hura. Karena peran intelejensia banyak dibutuhkan di seni tersebut. Apakah itu untuk sang kreator, pelaku maupun para penikmat.
Maka lawak sebagai salah satu cabang humor, tak bakal bisa dikemas menjadi sajian yang enak, bila di balik itu tak didukung oleh intelejensia dan kreasi yang dilandasi kerja serius.
Para pelawak sendiri (pekerja seni lawak) tampaknya tak begitu peduli soal disuka atau tidak disuka. Apalagi oleh komentar para cendekiawan, pengamat atau kritikus lawak sekalipun. Apapun yang terjadi, mereka tetap jalan, selama masyarakat masih mau menerima kehadiran mereka.
Lawak adalah bagian dari “tradisi” yang diwarisi oleh bangsa ini. Karena itu masihlah dalam batas layak bila para pelawak punya harapan untuk menjadi makhluk yang rada berguna bagi lingkungannya. Agak dibutuhkan. Dan tidak melakukan kerja yang sia-sia. Mereka berkeyakinan, masyarakat menyukainya. Membutuhkannya.

Ladang Subur
Logika sederhana yang bisa ditarik, bila masyarakat menyukai, tentu banyak yang bisa dikerjakan oleh pelawak untuk dipersembahkan kepada publiknya. Ini berarti sebuah kesempatan dan sekaligus tantangan.
Kecenderungannya kini, bahkan, banyak orang mengidamkan profesi ini. Padahal dulu, pandangan orang tentang profesi melawak tak beda dengan pekerjaan membadut; di Jawa ia identik dengan pekerjaan para kawula, pembantu, atau punakawan. Kesan orang (kala itu) masih menganggap rendah terhadap profesi ini.
Bila sekarang terjadi pembalikan citra, bukan berarti tanpa sebab. Ada serangkaian trend yang menandai proses itu. Yakni sejak orang mendalami lebih jauh tentang kemungkinan sajian lawak diurus dan dikemas secara profesional. Hingga lawak bisa diangkat menjadi semacam bisnis atau bagian dari industri budaya.
Tak hanya menyangkut teknis, melainkan juga estetika, ide, strategi pemasaran dan sebagainya. Mungkin masih segar di ingatan kita pada tahun 1970-an, film-film humor tentang Bing Slamet, muncul sederas air terjun; sebut saja film Bing Slamet Sibuk; Bing Slamet Dukun Palsu dan sebagainya. Periode berikutnya, publik dihujani film-film berlabel Ateng. Ada Ateng Minta Kawin hingga sekian label yang menjual nama Ateng lainnya. Disusul juga film humor yang menjual nama pelawak Jalal, Bagio, Benyamin S, Kang Ibing dan paling tak terbendung ketika periode sampai pada film-film Warkop DKI (Dono, Kasino dan Indro).
Era pelawak Warkop, pada awalnya merupakan era yang punya daya lejit tersendiri. Selain materi lawakannya berkesan intelek, cara penyajiannya pun bervariasi. Warkop banyak mengandalkan penampilannya pada pingpong dialog atau verbal. Tentu dengan bekal penggalian ide yang tidak main-main. Ini salah satu bukti, bahwa lawak yang penuh gelak dan canda itu menuntut senimannya untuk kerja keras dan serius, agar karya mereka dapat hadir dengan sembada.
Warkop selain punya daya tarik pada materi lawaknya, juga pada personalnya itu sendiri. Selama ini orang yang menekuni profesi lawaknya umumnya adalah mereka yang berlatar belakang pendidikan formal kurang mendukung (otodidak, drop out dsb), tapi Warkop justru sebaliknya. Mereka ketika merintis karier masih calon sarjana dan kemudian setelah menjadi sarjana sungguhan, tetap nekad mau hidup-mati di bidang lawak, sungguh fenomena yang baru dan sangat mengejutkan.
Hanya sayang, di perkembangan berikutnya, sikap Warkop dalam menyikapi gencarnya serbuan industri budaya tampak lebih kompromis, dan lawakannya kurang seliat dulu. Tak lagi muncul debut-debutnya yang mengagetkan dan mendebarkan.
Apa boleh buat, itulah pilihan yang kemudian terjadi. Gara-gara kasus kompromi ini pula, konon Kasino dan Dono sempat tak bersitegur sapa hingga beberapa tahun lamanya. Melawak untuk sekadar menghasilkan gelak, memang berbeda dengan melawak yang selain menghasilkan gelak juga sambil menggonggong dan sedikit menggigit.

Era Srimulat
Bila ada grup lawak (sandiwara komedi) yang berangkat dari target kesenian “ndeso” (daerah) kemudian berkembang dan membengkak jadi santapan orang kota, maka Srimulat-lah jawabannya.
Mengapa Srimulat? Sebab banyak grup lawak daerah lain, tak mampu berbuat seperti Srimulat. Almarhum Basiyo misalnya, adalah salah seorang pelawak daerah dengan kualitas andal, punya grup atau setidaknya partner main. Tetapi karena pertimbangan teknis di bidang “manajemen” akhirnya medan edarnya cuma di sekitar kaset rekaman, maupun tanggapan orang punya kerja.
Berbeda dengan Johny Gudel, Atmonadi, Gepeng, Basuki dan sebagainya. Figur-figur tersebut sebenarnya berangkat dari semangat kedaerahan; tetapi ketika mereka sempat bergabung dengan pihak yang secara manajemen (Teguh) agak profesional, perjalanan yang terjadi kemudian jelas-jelas berbeda; bahkan menasional.
Inilah yang membedakan, Mengapa Charlie Chaplin, Bob Hope dan sebagainya bisa awet laris hingga usia renta. Manajemen mereka ditangani secara profesional, sedang beberapa pelawak kita (meskipun tak kalah dalam sisi kualitatif) banyak yang kurang perhatian pada masalah manajemen.
Era Srimulat boleh dikata era munculnya suatu warna yang penuh dengan optimisme di bidang bisnis lawak. Betapa mahal orang menghargai sajian lawak ini. Orang penthalitan, plethat-plethot, diketawain bergelak-gelak. Masyarakat penikmatnya yang kurang beres atau sistem dan jenis selera itu sendiri yang kurang sehat?
Bayangkan, betapa fanatiknya para penggemar lawak itu, sampai-sampai jenis lawakan yang tak keruan bentuknya pun mereka rela saja menikmatinya. Mengelu-elukannya.
Tentu saja Srimulat, selaku grup lawak profesional tak melakukan kefatalan yang demikian. Seburuk-buruknya produksi yang telah dilempar ke khalayak, belum pernah Srimulat meluncurkan produk dengan kualitas asal-asalan.
Sayang sekali, figur setangguh Teguh (pimpinan Srimulat) hanya satu. Orang yang mampu menggiring bentuk grup berkesan ndeso jadi bergengsi; memiliki pola manajemen lebih modern bila dibanding dengan jenis grup sewarna; kreativitas kreasi materi lawak dan pertunjukannya meluncur dinamik dan segar; serta berbagai bukti lain yang mampu membawa Srimulat ke puncak kejayaannya.
Memang sayang, bila orang setangguh Teguh hanya seorang. Dia pun harus mengalami masa uzur. Harus sakit “encok”. Harus merasakan kelelahan fisik dan mental. Harus menuruti saran dokter untuk istirahat dsb. dsb. Sehingga dalam waktu singkat saja, kelihatan tanda-tanda yang cukup mencemaskan; Yakni mundurnya beberapa pemain andalan Srimulat.
Peristiwa demikian bukan baru kini terjadi. Tetapi sejak Teguh punya niat untuk istirahat dari Srimulat, tanda-tanda kelesuan itu tak bisa ditutup-tutupi lagi. Lain halnya bila Teguh mampu mempersiapkan seorang kader, goncangan-goncangan yang bersifat substansial dan sensasional mungkin bisa dihindari.

Bisnis lawak
Mensiasati lawak sebagai komoditi tentu bukan suatu dosa. Karena proses berlangsungnya interaksi antara produsen dan konsumen tak perlu melibatkan pihak ketiga untuk menekan atau memaksa-maksa. Para pelawak melempar karya, masyarakat siap membeli dan menikmatinya.
Bisnis dalam lawak banyak media ekspresinya. Orang bisa menempuh lewat pentas (panggung), radio (rekaman suara), televisi (visual, bunyi dan suara), atau berbagai media ekspresi yang lain.
Ciri-ciri umum sebuah sajian lawak bakal disenangi oleh penikmatnya, bila materi lawakan itu relavan dengan kebutuhan audience. Dari ide/aktualisasi permasalahan, hingga pembawaan (visualisasi) di lapangan.
Pentas lawak lewat panggung memang memiliki banyak keuntungan; bisa lebih longgar melayani tuntutan soal bentuk dan ide/materi. Dengan jumlah penikmat yang terbatas, ada kemungkinan para pelawak berani membawakan materi yang sama, bila mentas lagi, di tempat lain. Artinya gagasan bagus, bila belum tersiar secara luas, masih dapat dijual di tempat-tempat lain yang berbeda.
Lain halnya bila materi lawakannya sudah dimunculkan di televisi, apalagi TV nasional, maka, pengulangan materi dapat menurunkan derajat kreativitas dari grup lawak bersangkutan. Apalagi bila ketahuan grup tersebut mencontoh dan menjiplak kreasi orang lain. Habis, dah, pamornya!
Bekerja sama dengan tim kreatif atau penulis naskah komedi dan pengarah/pengatur laku, mutlak perlu di zaman persaingan bisnis lawak sudah demikian ketatnya. Merekalah yang akan bekerja keras menggali bahan dan memilihkan materi bagi pelawak sehingga gebrakan pelawak di pertunjukan publik, efisien dan sampai pada inti persoalan.
Bisnis lawak memang menjual lelucon. Tetapi menghasilkan lelucon yang baik perlu ditangani oleh tenaga-tenaga dan ahli-ahli yang kompetensinya memadai. Karena itu kesan bahwa lawak cuma sebuah kegiatan hura-hura, sungguh pendapat yang berlebihan. Meskipun asumsi yang menjustifikasi bahwa bangsa Indonesia secara umum punya kecenderungan malas berpikir, tidak terlalu salah; tetapi. itu bukan berarti bila di Indonesia tidak ada tontonan lawak, bangsa kita lalu rajin berpikir; saya belum melihat nalar yang adil, dalam benturan saling-silang wacana ini.

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular