Ayo main

Sabar semua kebagian karcis.

Hidangan Pembuka

Asyiiiiiikkkkkkkkk

Nah gitu dong

Terimakasih terimakasih terimakasih

Gedung kesenian ya begini

Setiap aktris aktor atau bintang yang pernah tampil bangga

Apalagi

Mendapat tepuk tangan panjang dan penghargaan yang tak terlupakan

Sunday, March 8, 2009

From Indonesia With Laugh





Sunday, March 1, 2009

April Masih Hujan dan Banjir by Tiyok



Empat Sekawan yang Edan

SEKARANG, tak ada lagi Bandung lautan api. Yang ada Bandung lautan kendaraan. Bila Anda pendatang baru, belum lengkap rasanya mengenang Bandung bila Anda belum pernah kesasar. Jalan-jalan di Bandung memang istimewa. Punya daya pikat luar biasa untuk membuat pendatang baru kesasar. Semakin sering orang kesasar, semakin indah rasanya melahap pesona kota ini.
Saya tidak kesasar. Karena dulu pernah kesasar. Sekarang tidak lagi. Ada seorang rekan –bernama Joe—yang benar-benar turun ke Bandung. Tepatnya tinggal di Jalan Cikutra. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjananya, ia menyunting mojang Priangan. Lengkap kebahagiaannya, setahun kemudian dikaruniai seorang bayi mungil yang lucu dan bermutu.
Joe –bukan mahluk sembarangan. Kelakuannya semasa mahasiswa bukan main antiknya. Perawakannya sedang, kulitnya coklat kehitaman, berkumis tak begitu lebat, pembawaannya pendiam dan santun, tapi gairah melucunya luar biasa. Hidupnya pun akhirnya dia jalani dengan lucu. Setidaknya ketika ia masih mahasiswa, dan bergabung dalam kelompok kost – sebut saja “Empat Sekawan”—yang tingkahnya benar-benar edan-edanan. Andaikata boleh memberi cap padanya, maka dialah “kartun” yang benar-benar hidup.
Seusai basa-basi, saya mengajaknya ngobrol. Ia mengusulkan di suatu tempat yang khas, warung makan tenda. Dengan bangga ia memamerkan rasa nikmat mie kocok Bandung. Ia menyetir mobil sambil berlenggang di malam yang lengang dan nyaris larut itu. Saya setuju-setuju saja. Inilah kisah Joe dan kawan-kawannya.

PALING tidak ada empat penghuni di sebuah rumah kontrakan sederhana di daerah Petompon, Semarang. Keempatnya bernama: Joe, Prie Kisut, Wied, dan Kokok Demo. Berani sumpah, mereka itu mahasiswa sebuah perguruan tinggi yang berkampus di Kelud Raya. Berani sumpah lagi, terhadap tetangga-tetangganya mereka mengaku bekerja sebagai buruh bangunan. Kesan itu mereka buktikan lewat cara berpakaian dan penampilan sehari-hari. Orang-orang sekitarnya pun percaya saja.
Keempatnya bukan mahasiswa miskin. Bukan pula berlagak miskin. Tapi –lagi-lagi berani sumpah—mereka acapkali menderita kemiskinan. Artinya tidak pegang uang, pada awal bulan sekali pun. Bahkan sepeser pun. Entah karena jodoh atau kompak, keempatnya gemar royal bila dompet penuh. Satu contoh yang gampang misalnya, begitu keempatnya terima wesel dari orang tua, malam harinya halaman rumah kontrakan mereka langsung meriah. Penjual mie, bakso, ronde, kue puthu, sate, dan lain-lainnya mangkal dengan gayeng-nya. Itu terjadi karena keempatnya memiliki selera yang berbeda dalam hal makanan. Tepatnya lagi, bila dompet lagi penuh uang.
Lain soal bila dompet sedang menganga seperti kuda nil menguap. Selera makan bisa diajak kompromi. Itu terbukti ketika seekor ayam jago tak sengaja menyelinap masuk ke rumah mereka.
“Aku punya ide,” ujar seseorang.
“Apa itu?” tanya lainnya.
“Lihat itu. Pesta besar!” Lainnya, tanpa diberitahu langsung paham. Ketiganya langsung siap-siap hendak mengamankan “benda” berharga itu.
“Tunggu! Ideku belum rampung. Jangan langsung tubruk, itu kuno! Kalau ayam itu berteriak, tetangga pasti tahu. Bunyikan radio dan tape recorder! Sekeras-kerasnya, semuanya pasti beres!” Sore itu juga ayam naas itu jatuh ke dalam genggaman Empat Sekawanan dengan aman, tenteram, dan damai.
Penyembelihan berlangsung dengan lancar. Tibalah saatnya menggoreng. Orang pertama yang punya ide, buru-buru berteriak begitu melihat potongan daging ayam itu hendak dimasukkan ke penggorengan yang berisi minyak mendidih.
“Tunggu! Sudah kukatakan, ideku belum rampung. Berbahaya menggoreng ayam secara langsung. Tetangga pasti curiga. Ingat, kita ini hanya “buruh bangunan” kurang pantas memasak ayam goreng secara demonstratif. Harus pakai kiat. Nah, Kokok, kamu beli ikan asin di warung. Bakar di atas tungku. Setelah seluruh kampung ini dihebohkan oleh bau ikan asin bakar, barulah masukkan ayam itu ke penggorengan! Aku jamin, semua aman dan nyaman! Semua orang akan menyangka kita menggoreng ikan asin!”
Selain mereka bekerja sama, adakalanya juga terlibat dalam kompetisi untuk saling mengerjai. Itu terbukti ketika suatu malam seorang penjual mie goreng berhenti di depan rumah. Joe mengambil dua piring kosong lalu menyodorkannya ke penjual. Saat itu hanya dua orang yang ada di rumah, Joe dan Prie. Melihat Joe membawa dua piring, dalam hati Prie langsung yakin, ia kebagian.
Selang beberapa menit Joe masuk ke dalam sambil membawa satu piring mie goreng. Ia duduk dengan nyaman, lalu menyantapnya dengan lahap. Prie yang sibuk menggambar, menunggu dengan sabar. Semenit dua menit, bahkan setengah jam, tukang mie tidak memanggil juga. Ia tidak sabar, langsung ke luar. Di luar tidak ada siapa-siapa. Jejak tumang mie pun sudah tak tampak. Prie langsung menyusul ke kamar Joe.
“Joe, mana mie bagianku?”
“Lho, aku cuma pesan satu kok.”
“Tapi, kamu kan bawa dua piring tadi?”
“Iya memang, tapi yang satu buat bayar!”

SELAIN sibuk kuliah Empat Sekawan juga sibuk mengerjakan order membuat taman. Maklum mereka kuliah di jurusan seni rupa, wajar bila jauh-jauh hari sudah pintar ngobyek.
Suatu ketika Joe memperoleh order. Cukup gede. Di atas kertas, setelah pekerjaan usai, dia pasti mengantongi uang Rp. 3 juta. Seminggu kemudian dengan wajah berseri-seri ia mengajak Prie ke super market. Dalam hati Prie berpikir, “Ia pasti ingin membelikan sesuatu untukku.” Makin yakin Prie, ketika Joe menyuruh Prie memilih jaket, celana, atau tas, yang disukainya. Mula-mula Prie ragu.
“Ayo Prie, pilih saja yang kamu suka, suruh pelayan membungkusnya.”
Prie tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia mengambil jaket, celana, dan tas yang dia sukai. Petugas pun dengan sigap mencatat, dan membungkusnya. Tak lama kemudian Joe menghampiri. Joe menggandeng Prie ke tempat yang agak sepi. Ia meminta bungkusan yang dibawa Prie. Lalu meletakkannya di tempat yang tersembunyi.
“Ayo Prie, pulang,” kata Joe.
“Lho. Lha bungkusan itu?”
“Siapa yang bilang mau beli? Kalau kau mau beli, beli saja. Pakai duitmu sendiri. Aku tak punya duit kok. Lihat!” Joe membuka dompet, saku baju, dan celana. Hanya ada uang beberapa ratus perak.
Joe memang kelewatan badungnya. Bahkan ia pun dapat bebas dari tugas membuat karya tulis yang diberikan dosennya. Saat pengumpulan karya tulis, Joe tidak membuat, apalagi mengumpulkan. Tapi dengan tenang ia mengambil karya tulis teman-temannya yang tergeletak di meja, lalu menyerahkannya ke meja Ibu Dosen. Meja nyaris penuh, tak muat. Joe disuruh membawa ke kantor. Dengan senang hati Joe membantu mengangkatkan ke kantor.
Pada pertemuan berikutnya, karena merasa bersalah Joe berpikir lebih baik bertanya lebih dulu daripada dimarahi kemudian. “Bagaimana Bu, karya tulis saya?” Ibu Dosen tersenyum sambil mengatakan belum sempat memeriksa. Pertemuan berikutnya, Joe bertanya lagi, “Bagaimana Bu, karya tulis saya?” Lagi-lagi Ibu Dosen belum memeriksa. Begitu terus-menerus, sampai akhirnya Ibu Dosen itu mengatakan, “lumayan”. Di pengumuman, Joe memperoleh nilai 7. Bukan main! Bagaimana itu bisa terjadi? Tak ada yang tahu. Mungkin Ibu Dosen bingung, setelah dicari berulang kali karya tulis Joe tak juga ketemu.

(Darminto M. Sudarmo)

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular