Ayo main

Sabar semua kebagian karcis.

Hidangan Pembuka

Asyiiiiiikkkkkkkkk

Nah gitu dong

Terimakasih terimakasih terimakasih

Gedung kesenian ya begini

Setiap aktris aktor atau bintang yang pernah tampil bangga

Apalagi

Mendapat tepuk tangan panjang dan penghargaan yang tak terlupakan

Thursday, February 26, 2009

Pelawak Tarzan, Buku dan Bulan April


Bulan April adalah bulan milik Pelawak Tarzan. Pria bertubuh tinggi, 180 cm, ini adalah fenomena tersendiri dalam blantika lawak Indonesia. Di usianya yang memasuki angka 64, pria dengan nama asli Toto Muryadi, kelahiran Malang, Jawa Timur, 24 April 1945, ini telah berbuat banyak bagi dunia perlawakan Indonesia.
Mengapa ia menjadi fenomena? Karena dialah satu-satunya pelawak yang berani men-deklarasikan diri untuk membuat buku tentang pelawak Indonesia. Dalam pertemuan di pusat perbelanjaan World Trade Center, Manggadua, Jakarta, beberapa waktu lalu, dia bilang ternyata membuat buku itu tidak gampang.
“Saya telah mengirim blangko agar diisi data tentang diri masing-masing pelawak, ternyata tak banyak alias sedikit yang memberikan respon. Sebenarnya dana sudah saya siapkan, tetapi karena data-data yang masuk kurang memenuhi syarat, rencana pembuatan buku saya tunda. Dan dana itu kini sudah saya sumbangkan ke yayasan yatim piatu.”
Okelah, sebenarnya bukan Tarzan yang berkewajiban untuk membuat buku tentang Pelawak Indonesia. Ada pihak-pihak lain, apakah dia seorang penulis, wartawan atau pengamat yang mungkin lebih terampil untuk melakukan itu. Sementara pihak pelawak melakukan sinergi proaktif dengan cara membantu pembiayaan riset, penulisan, design dan percetakan. Kalau perlu juga membantu penyebaran informasi dan publikasi lewat “sensasi” tertentu sehingga dapat menarik perhatian pers.
Pada 1979, di Amerika terbit buku tentang pelawak berjudul Joe Franklin’s Encyclopedia of Comedians. Disusun secara alpabetis. Dari nama-nama yang berawalan huruf A hingga Z. Melihat penjelasan tiap-tiap pelawak yang ditampilkan, kita benar-benar mendapatkan gambaran proses perjalanan tiap pelawak tersebut. Rata-rata dari keadaan susah, terutama saat merintis karier, hingga setelah sukses yang bertabur dengan gelimang kemewahan.
Ada yang memberi saran, kalau toh buku tentang pelawak Indonesia bakal diwujudkan, seyogiyanya juga memuat pelawak-pelawak yang sudah meninggal. Itu penting sebagai catatan sejarah agar duduk perkaranya dunia perlawakan tergelar jelas. Kontroversi siapa yang memulai melawak dalam gaya modern (seperti stand up comedy), sebagaimana pernah disinggung Tarzan dalam suatu obrolan santai, rasanya dapat diletakkan dalam folder tersendiri; yaitu folder kategori, yang pengesahannya dapat dilakukan dari semacam sidang atau kesepakatan berdasarkan fakta-fakta yang memadai.
Jadi, di bulan ulang tahunnya pelawak Tarzan, kita segarkan kembali niat baik yang besar sekali manfaatnya bagi sejarah perlawakan Indonesia. Sebagaimana kita tahu, buku adalah power. Karena begitu ia tercetak, ia akan bergerak menemukan takdirnya sendiri. Begitu ia tercetak, ia tak dapat dihapuskan lagi, karena cetakan adalah abadi.
Selamat ulang tahun Pak Tarzan…
(Darminto M Sudarmo)

Monday, February 23, 2009

Dagelan Alam Kubur by Jitet Koestana

Dagelan Mataram

Saya mendapat kesempatan yang sangat langka, yaitu membaca penelitian rekan Sholahudin dari “Jojon Center” tentang Dagelan Mataram sebuah Kajian Sosial Budaya. Usai membaca itu, saya jadi tergerak untuk menulis sebagai refleksi spontan. Inilah refleksi yang saya tujukan untuk rekan Shola tersebut.

Menarik Mas, itu bahasanya orang-orang pinter.

Kajian sosial budaya memang tema yang sangat luas dan terbuka; sungguh itu tidak mudah. Saya lalu teringat waktu sekolah dasar atau SMP (saya lupa) bahwa Borobudur itu (kalau gak salah ingat pula) didirikan (dibuat) oleh Rakai Pikatan (kalo nggak salah ingat juga) pada tahun sekian-sekian. Dalam konteks ini, masyarakat lalu bisa saja bertanya, “Wah hebat tuh Rakai Pikatan bisa menjadi arsitek, insinyur sekaligus pelaksana di lapangan.” Orang yang berpikir kritis kemudian makin bertanya lagi, “Mungkinkah itu?”

Mengapa para sejarawan zaman dulu dengan gampangnya meng-klaim bahwa Borobudur didirikan oleh Rakai Pikatan? Apa karena dia seorang raja yang berkuasa dan berkemungkinan membiayai seluruh aktivitas pendirian candi tersebut? Mungkin persoalan akurasi akan menjadi lain ketika para sejarawan itu menulis, bahwa Borobudur itu didirikan pada zaman Mataram Hindu dan Rakai Pikatan sebagai raja yang berkuasa saat itu.

Dan makin menarik lagi ketika gelombang pemikiran yang agak revolusioner dan dianggap sodrun pada zamannya, menggempur teori sebelumnya tentang “akurasi” dan “keadilan” faktual lewat pembelaan pihak-pihak yang terpinggirkan atau dipinggirkan karena politik kekuasaan, maka terbukalah mata publik, bahwa campur tangan kekuasaan sudah terlalu besar terhadap dokumentasi sejarah. Mengapa Gunadarma (kaitannya dengan Borobudur) tidak dicatat sebagai project officer atau bahkan sutradara dari kerja tim pembangunan Borobudur (malah kalau di film disebut: A Gunadarma Borobudur. Mengapa para arsitek, insirnyur, seniman pematung dan mungkin konsultan-konsultan budaya yang besar andilnya dalam proyek itu tidak dicatat oleh penutur sejarah kita seperti halnya sebuah tim produksi film menampilkan rolling text yang berisi kerabat kerja: dari Produser, sutradara hingga tukang tarik kabel misalnya.

Yang menarik dari kasus di atas, suka tidak suka, peran dua tokoh seperti Michael Foucault (baca: Misel Fuqo) dan Jacques Derrida (ini kalo gak salah tulis nama), membuat umat manusia teringat pentingnya detail, akurasi dan keadilan dalam menjajikan fakta obyektif. Dua tokoh ini, terutama Foucault dianggap (pada zamannya) sebagai pendobrak metodologi penelitian old fashion yang sering terjebak dalam generalisasi fakta dan persoalan ke penelitian yang cenderung empirik-logik yang faktual akuratif; sehingga setiap fakta sejarah dianggap tidak ada yang sama; tidak ada yang dapat digeneralisasi; yang ada adalah case by case. Kasus demi kasus; folder demi folder.

Seperti Karen Amstrong menulis “Sejarah Tuhan”; bertolak dari sekumpulan masyarakat yg berpola pikir naif dan sederhana (yang menganggap Gunung itu Tuhan, Pohon Besar, Batu Besar dsb) bergerak terus, bergerak terus, paralel dengan tingkat pemahaman dan kemajuan peradaban/kebudayaan manusianya, maka (ini dugaan saya terhadap metamorfosa pemikiran dan persepsi masyarakat) bukan tak mungkin esksistensi Tuhan (kalo digolongkan secara sederhana) mengalami fase perubahan persepsi dari kuno, modern, pascamodern dan mungkin pasca pascamodern…entah apa lagi. Dari mitologis, logis hingga metalogis.

Tentang Dagelan Mataram, kalo boleh sedikit sharing, saya justru merasakan (bukan meneliti, bukan menganalisis) adanya fakta-fakta kecil yang unik dan genuine (mudah2-an di kebudayaan masyarakat lain tidak ada) yaitu perangkat mereka untuk melucu (bisa bahasa verbal, bisa bahasa tubuh) yang bernama: guyon parikeno, solu (bukan Shola: digunakan untuk nyolu atau nglulu) dan rezim strata (dupak bujang esem mantri semu bupati: dalam bahasa komunikasi kepada masyarakat strata bawah kalo tidak didupak tidak akan mengerti; di strata menengah: dengan esem saja dia sudah mengerti. Sementara di tingkat strata tertinggi/bupati: cukup dengan semu/pasemon: orang sudah mengerti).

Menurut seorang kawan kartunis dan penulis dari Australia, Rofl Heimann, dia sudah baca semua teori humor (dia bilang puluhan buku) dari yang klasik sampai modern adanya cuma itu-itu saja dan mereka tak jengah saling kutip mengutip. Tetapi ketika dia menemukan “Guyon Parikeno” misalnya, dia heran, bagaimana seorang bawahan yang notabene menjadi korban represi dari atasannya (penguasa) masih mau bersikap sopan saat mengkritik mereka?

Lalu jawab saya, ya itu mungkin di tempat Anda atau di masyarakat barat pada umumnya; di Jawa, di Yogyakarta misalnya; atasan justru menjadi tempat bergantung bagi kawula alit atau bawahannya. Seorang atasan dianggap menjadi pelindung. Pengabdian dan kesetiaan bawahan kepada Ndoro Bei adalah sekaligus sebagai canthelan status dan kehormatan diri.

Mas Shola sementara ini dulu, ya. Pengetahuan saya sangat sedikit tentang hal ini. Mudah-mudahan dari yang sedikit lama-lama bisa sampai Bukit Kencana Jaya, ngobrol bareng di tempat saya. Sekian, maju terus…..

Bagi rekan pembaca lain yang mungkin ikut memberi masukan agar “diskusi” semacam ini dapat berkembang lebih intensif, silakan kirim sharing Anda ke kolom komentar dan saya sangat menghargai partisipasi itu.

Salam,

Darminto M Sudarmo

Kebon Jeruk, 21/02/09

Saturday, February 7, 2009

Ada yang Tetap Bengal karya Qomar Sosa

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular