Friday, December 30, 2011

Halo Seni Lawak Indonesia?



SEBAGAI bagian dari seni suguh, lawak dipandang sebagai bentuk pertunjukan yang cukup ampuh. Dalam arti mampu menyedot penonton dan bahkan, dicari penonton. Selama ini, ketika seni lawak dikemas dalam bentuk “paket” acara di TVRI, para penonton selalu menyiapkan diri untuk dapat menikmatinya. Demikian pula halnya ketika dikemas dalam bentuk sajian film, atau rekaman kaset.
Di Indonesia, popularitas seni lawak memiliki sejarah yang khas. Paling tidak ada suatu era yang mengawali iklim seperti itu. Misalnya, ketika Bing Slamet bersama Kwartet Jaya-nya sempat malang-melintang di kancah pertunjukan atau film Indonesia, satu tahapan bahwa pamor seni lawak mulai diperhitungkan secara serius. Di samping itu, era tersebut juga memancing tumbuhnya grup lawak baru yang kemudian mampu eksis di mata penonton. Bahkan ada pula sementara personal lawak yang nekad menjadi single fighter. Menjelajah karier seorang diri.
Kejayaan grup Bing Slamet Cs, memberikan inspirasi besar bagi kemunculan grup-grup lawak baru; maka kemudian muncul grup-grup seperti Bagio Cs, Warkop, Kwartet S, dan sekian grup lain yang kehadirannya ternyata juga mampu merebut hati penonton.
Tetapi, bahwa grup-grup lawak itu kemudian sarat dinamika dan perubahan, makin menarik untuk diamati. Bongkar pasang formasi, “migrasi” anggota dari satu grup ke grup lain, adalah fakta yang harus dilihat dengan bijak dan penuh rasa maklum. Proses berorganisasi, bagi mereka, memerlukan waktu dan pembelajaran.

Manajemen dan Kualitas
Ada sementara dugaan yang mengatakan bahwa kondisi demikian karena kurang profesionalnya pengelolaan manajemen; ada pula yang beranggapan karena secara kualitatif, grup-grup itu sudah surut pamornya. Setidaknya frequensi hadir mereka kepada publik semakin menurun. Grup-grup potensial seperti De Kabayan, Srimulat, menghadapi kondisi yang tak jauh dari dugaan itu. Srimulat (Jakarta) yang belakangan ini banyak ditinggalkan oleh pemain-pemain andalannya, harus merasakan repotnya karena munculnya fenomena yang cukup merisaukan tersebut.
Bila ada sementara grup yang di TVRI masih aktif mengunjungi publik, seperti Jayakarta Grup, De Bodor, Tom Tam dan sebagainya, memang mengembirakan bila ditilik dari sisi produktivitas mereka. Namun demikian secara kualitatif, orang menangkap bahwa tema atau gagasan yang disampaikan oleh grup-grup tersebut hanya memenuhi target rutinitas.
Gagasan mereka belum memunculkan tawaran-tawaran yang menggebrak publik. Demikian pula Grup Ria Jenaka yang muncul di TVRI setiap Minggu siang; lebih banyk terjebak pada warna sponsor yang sangat dominan. Kita sulit membedakan itu sajian lawak atau penerangan.
Memasukkan pesan-pesan tertentu dalam pertunjukan lawak, boleh saja selama kreator mampu mengemas isi tanpa harus mengorbankan estetika; tanpa harus mengesampingkan bobot humornya. Bahkan dari dialog yang muncul acapkali kita dibuat bingung; terutama tentang satria culun yang omongannya agak kolokan itu bernama Lesmono Mondrokumoro atau Lesnomo Mondrokumoro. Sebab beberapa kemunculan Ria Jenaka, nama Lesmono lebih banyak diucapkan Nomo ketimbang Mono.

Kreativitas Digugat
Sebenarnya, bila kita mau sedikit berendah hati, prospek seni lawak Indonesia dapat “disiasati” dengan berbagai cara dan pilihan. Salah satu contoh misalnya, ini sekadar wacana, dalam film Kejarlah Daku Kau Kutangkap yang diperankan oleh personal-personal bukan pelawak tetapi justru mampu menghasilkan produk yang sarat lelucon dan “tinggi” mutu. Sudah selayaknya bila kita bertanya, bagaimana hal yang tampaknya mustahil itu bisa terjadi?
Mustahil? Tentu saja, mereka bukan pelawak tetapi dapat melucu demikian bagus; bagaimana mungkin? Mungkin saja. Melucu itu bukan monopoli pelawak. Bukan pelawak juga dapat melucu asalkan ada skenario yang lucu dan pengarahan sutradara yang tepat.
Improvisasi dalam seni lawak, tidak jelek. Bahkan ia menjadi semacam kekuatan. Tetapi dalam kenyataannya, improvisasi yang baik, yang cerdas, yang tepat timing, selalu lahir dari pelawak yang rakus belajar (akses materi). Tak mungkin pelawak dapat memberi sesuatu yang dia sendiri tidak punya. Oleh karena itu, kata belajar atau akses materi, dari mana pun sumbernya (membaca, menonton, mendengar orang lain, mengamati sesuatu, menganalisa gejala di lingkungan sekitar dan sebagainya). Dalam bahasa yang sangat banal dikatakan, bagaimana ente bisa buang hajat jika sehari-hari kagak pernah nyantap makanan?
Siasat yang lain, belajar pada seni teater. Terutama teater modern yang lebih toleran mengaktualisasikan unsur gerak, lighting, musik, dan properti lainnya. Unsur-unsur ini bisa disentuh untuk kepentingan humor. Lewat berbagai siasat dan kreasi sutradara atau pembuat skrip. Obyek yang bisa dioptimalkan untuk kepentingan humor tak hanya terpancang pada unsur cerita dan verbal saja, tetapi lebih kaya dari itu.
Paduan teknik teater dengan seni lawak “tulen”, akan menghasilkan bentuk sajian yang beragam dan berdimensi ganda. Hal ini mengingatkan kita bagaimana sebuah humor kartun dilahirkan, yang dapat mengeksplorasi obyek secara tak terbatas itu.
Hal lain yang perlu dimaklumi, grup lawak itu harus mengerti pentingnya fungsi sutradara yang akan mengolah bukan saja masalah estetika tetapi juga unsur-unsur lain yang terkait dengan lelucon. Bagi yang mengerti, peran sutradara itu akan sangat membantu, bukan malah menjadi beban, sebagaimana yang sering disalahpahami oleh sementara pihak. Apalagi bila grup tersebut secara “jiwa besar” mau pula melibatkan bintang-bintang tamu, yang akan memberi kesan kesegaran tersendiri kepada penikmat.
Kerja serius dalam seni lawak memang sudah seharusnya dimulai. Masyarakat sudah terlalu toleran menghargai kehadirannya, sekaligus dengan penghargaan finansial yang mahal. Bila para pelawak, kreator humor yang berkaitan erat dengan seni lawak tahu diri, sudah saatnya “melayani” penikmat dan masyarakat penonton dengan imbangan “mutu” yang selayaknya. Sekaligus pula memulai masa “era” baru dalam bidang seni suguh. (Darminto M Sudarmo)

0 comments:

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular