Friday, December 30, 2011

Naskah dan Literatur Komedi



SEORANG pengamat tayangan TV pernah merekomendasikan buku Comedy Writing Secrets, tulisan Melvin Helitzer, tergolong bagus untuk pedoman penulisan naskah humor TV. Dalam hati saya: mudah-mudahan, betul.
Buku yang lumayan tebal dan terdiri 19 bab ini memang menyajikan gambaran yang (nyaris) menyeluruh tentang seluk-beluk rahasia penulisan humor. Tetapi, kalau dengan buku itu seorang penulis naskah komedi langsung bisa bermain dan menghasilkan karya sebagus naskah komedi TV Amerika Serikat, misalnya, maka itulah yang disebut: sekali tepuk dua lalat.
Memang harus diakui, manfaat referensi; umum atau spesifik; sungguh penting untuk dunia humor sebagai cabang kesenian yang masih bertanda petik dalam wacana perilmiahan. Nah, berkaitan dengan semangat itu, tak ada salahnya mengintip buku-buku berikut. Setidaknya, ini menjadi pelengkap atau malah “pedoman” vital bagi dunia penulisan komedi.
Simak saja: Comedy Techniques for Writes and Performers tulisan Melvin Helitzer juga; ada pula How the Great Comedy Writers Great Laughter oleh Larry Wilde. Atau kalau mau lebih tajam dan tune in, tidak berdosa menyantap Movie Comedy tulisan Stuart Byron dan Elizabeth Weis.
Harap diingat, muatan materi dari buku-buku tersebut tidak otomatis menyulap Anda menjadi penulis komedi TV/film yang jempolan! Ibarat kata, teori-teori itu baru membangkitkan kemampuan “manajerial”, sistematika dan disiplin analisis otak bagian kiri Anda. Otak bagian kanan, yang memiliki berjuta kegilaan, “kecerdasan”, kreativitas, dan keliaran tanpa batas, tetap membutuhkan waktu dan tempaan tersendiri supaya terampil.
Ngomong-ngomong, lalu mana peran literatur asal negeri awak? Ini pertanyaan menarik. Jangankan untuk memperoleh bahan tentang metodologi seni melawak di panggung, sinetron dan film, untuk mencari peta sejarah perlawakan di bumi Nusantara tercinta ini pun, sulitnya cukup menggigit tulang menyerap sumsum. Ada sebuah buku tentang “Teguh dan Srimulat” tulisan Herry Gendut Janarto; namun, sentuhannya sangat khusus dan terbatas.
Tradisi lawak atau bebodoran atau punakawan-an yang ada pada kita adalah warisan yang ditularkan secara oral; secara learning by doing. Maka tak heran, kalau pada sekitar 1983, ketika saya menanyakan pada Indro Warkop tentang kemungkinan diadakan sekolah lawak di Indonesia, langsung disambut dengan jawaban: tidak mungkin! Alasannya, lawak di Indonesia lebih banyak muncul karena bakat alam dan panggilan jiwa. Setidaknya, pendapat serupa juga diyakini oleh pelawak-pelawak lain.
Apa teori tidak penting? Tentu saja penting. Hanya saja, yang terjadi di negeri kita, proses pemindahan “ilmu” itu terproyeksi secara oral, langsung dalam pengalaman. Mungkin ini sejalan dengan lingkungan tumbuhnya seni lawak itu sendiri, yaitu lewat kelompok: ketoprak, wayang orang, sandiwara permanen, bahkan sandiwara keliling. Apalagi, manajemen yang diterapkan dalam gurup-grup itu lebih banyak menganut forma paguyuban. Sangat kontras dengan beberapa grup yang ada di negeri asing, yang sejak awal sudah menyadari pentingnya sistem atau forma administratif.
Lawak panggung, TV, film, memang ada bedanya? Mungkin hanya disiplin teknis yang membedakan. Namun, kebiasaan berkarya dalam jalur “spesialisasi”, baik panggung, TV, maupun film tetap mengundang risiko nilai kurang dan nilai lebih. Sebuah grup yang terbiasa dengan konsep nonskrip (tanpa naskah), tetap memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan “lakon” atau “laga” yang menggunakan konsep atau skenario. Demikian pula sebaliknya.
Akhirnya, baik jalur spesialisasi maupun campur (umum) tak akan pernah menjanjikan semangat lestari dan survival kalau mengabaikan pentingnya visi, strategi, konsep, perencanaan, persiapan, dan sejenisnya. Persiapan naskah, untuk tradisi sebagian lawak kita, memang tidak otomatis dalam bentuk tertulis. Bisa saja dalam bentuk diskusi yang kemudian berlanjut ke pembagian peran dan penyimpanan “ide” di dalam kepala masing-masing.
So, apa pun dalihnya, persiapan dalam bentuk naskah atau “naskah”, tetap penting. Ini perlu diingatkan supaya jangan sampai terjadi sebuah grup yang sudah kesohor justru meninggalkan penggemarnya karena paceklik ide dan kekeringan kreasi. Alangkah terbatasnya lingkungan pergaulan kreativitas grup yang kayak gitu. Seingat saya, di Indonesia kagak ada deh. Percayalah. (Darminto M Sudarmo)

0 comments:

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular