Wednesday, January 14, 2009

Rompi Anti Peluru

Oleh Dibyo Primus


Pemandangan di teras rumah Samin Tampak tak begitu sedap, sebab teras yang biasanya asri itu tiba-tiba berubah jadi mblangkrah bin amburadul gara-gara adanya alih fungsi teras; yakni dipakai tempat menaruh jemuran. Ini terpaksa dilakukan karena beberapa hari ini hujan turun tak menentu. Beberapa saat panas, tapi tiba-tiba hujan deras. “Daripada capek mindah-mindah ya mendingan bikin jemuran di teras,” pikir Samin.

Letak rumah Samin yang strategis membuat apa yang ada di beranda rumah jadi perhatian mata siapa saja yang melewatinya.

“Rompinya dijual berapa, Mas?” tanya Ndondot.

Samin terperanjat mendengar pertanyaan Ndondot yang dikenal sebagai pemuda yang gagah berani meskipun berpostur kurus jangkung. Samin tak langsung menjawab, sebab mau langsung menyebutkan harga tapi rompi-rompi itu bukan miliknya. Mau ngaku terus terang kayaknya sayang, karena kesempatan mencari untung kalau bisa menjual dengan harga mahal.

“Tiga juta rupiah!” jawab Samin mantab.

“Ah…masa mahal banget. Bisa kurang?” tanya Ndondot sembari memegang rompi yang digantung itu satu per satu. Secara fisik hampir sama hanya ukurannya yang jadi pembeda.

Ana rega ana rupa. Rompi ini mahal karena faktor sejarah,” sergah Samin

Ndondot tak langsung menawar, ia sempat ragu dengan omongan Samin karena mengait-kaitkan dengan sejarah. Apa sih latar belakang pendidikan Samin hingga berani-beraninya ngaku paham sejarah lha wong para pengelola situs sejarah dan benda purbakala saja banyak yang nggak ngerti arti sejarah. Dengan dalih bikin pusat informasi namun malah mendistorsi lokasi.

“Apa sih istimewanya?” tanya Ndondot.

“Rompi-rompi ini sudah sering dipakai berperang dan terbukti para pemakainya selalu selamat!” terang Samin meyakinkan.

“Serius???”

“Saya bersumpah. Harap Anda ketahui yang namanya Samin itu tak pernah bohong”.

Tampaknya Ndondot mulai kepincut. Salah satu rompi ditariknya lalu ditempelkan di depan dadanya; gayanya mirip orang-orang yang lagi ngepas baju di distro. Bedanya kalau di mal atau distro ruang fitting selalu dilengkapi kaca seukuran badan, sementara di teras Samin kalau mau ngaca ya lihat bayangan di kaca jendela.

“Nggak ada cermin yang lebih jelas?” tanya Ndondot.

“Maaf. Rompi-rompi ini untuk perang, jadi setting yang saya bangun adalah situasi darurat. Dalam perang masalah fesion itu nomor dua. Yang penting fungsi safety terpenuhi!” gaya Samin menirukan para sales yang digabur begitu saja oleh para upline-nya.

“Tapi serius ya ini sering dipakai perang?”Ndondot minta ketegasan.

“Masa saya harus mengulang jawaban yang sudah saya katakana tadi?” jawab Samin berlagak tak jadi dibeli pun tak masalah.

“Berhubung konteksnya perang. Maka jangan terlalu mengejar keuntungan pribadi. Kamu harus mendukung relawan seperti saya. Ini ada uang dua juta aku ambil satu rompi ya?”

Samin menghitung lembar-lembar uang dari Ndondot dengan cermat, karena nilainya beragam, dari seribuan sampai seratus ribuan. Mungkin uang itu dikumpulkan dari beberapa donatur atau bisa jadi habis mecah celengan. Beberapa kali lidahnya dijulurkan untuk mensuplai perekat yang digamit dengan jari tangannya.

“Baik uang saya terima dan silakan ambil rompi yang Anda pilih”kata Samin lega.

“Terimakasih semoga dengan rompi ini saya bisa selamat di jalur Gaza dan bisa memulihkan perdamaian di bumi Palestina,” kata Ndondot mengharukan.

Mendengar kalimat Ndondot yang sangat humanis dan disertai niat luhur untuk melerai pertikaian Israel vs Palestina tiba-tiba beberapa butir air keluar dari mata Samin. Dia teringat betapa banyak rakyat sipil yang jadi korban. Orang tua kehilangan anak, orang tua kehilangan tempat tinggal, anak-anak kehilangan tempat bermain, anak-anak kehilangan harapan dan masa depan.

“Mas ., ini uangnya saya kembalikan!” suara Samin mengagetkan Ndondot yang hendak pamitan.

Lhokan sudah deal? Apa uangnya kurang?”

“Bukan begitu, Mas. Saya takut terjadi apa-apa di jalur Gaza.”

Lho…katanya rompi ini sudah biasa dipakai perang. Ini anti peluru kan?”

“Benar rompi ini sering dipakai perang, tapi masalah dia anti peluru atau tidak saya belum bisa membuktikan.”

Lho…kalau rompi perang pasti anti peluru!’

“Masalahnya yang biasa pakai rompi ini hanya punakawan. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Di dunia wayang kan belum dikenal peluru?”

Ndondot menarik kembali uangnya. Dalam hati sebenarnya dia mau marah, tapi sudah telanjur mengaku sebagai relawan. Bukankah salah satu sifat relawan itu nggak gampang marah? Sebaliknya dia bersyukur karena nggak bisa membayangkan apa jadinya memakai rompi wayang di medan perang.

Dibyo Primus adalah pelawak yang juga aktif di beberapa kesenian lain, tinggal di Yogyakarta

0 comments:

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular