Wednesday, June 17, 2009

Wanita Pelawak

Penghibur atau Pengocok Perut


Oleh Darminto M. Sudarmo

MELAWAK adalah profesi menghibur. Tetapi wanita pelawak berbeda sekali substansi maknanya dengan wanita penghibur. Di kesenian ludruk, lengger dan sejenisnya, pada mulanya tidak menyertakan wanita karena alasan budaya dan nilai sosial yang berlaku saat itu; namun kini, dalam perkembangannya, peran wanita menjadi sangat penting dan tidak di-“tabu”-kan lagi.
Titik tumpu yang ingin kita bicarakan dalam forum ini adalah wanita sebagai pelawak atau komedian. Dilihat dari jumlah atau kuantitasnya memang tak sebanyak pria yang menjadi pelawak; namun harus diingat, apa yang pernah dan tengah dicapai para wanita yang menjadi pelawak di negeri ini, cukup memadai untuk dikatakan: lumayan.
Wanita pelawak legendaris seperti Ratmi B29, adalah figur yang penuh dedikasi dan kuat dalam stilisasi. Ia sangat menonjol dalam eranya. Sebutan pelawak atau komedian untuknya sangatlah pas dan tidak bias.
Seiring dengan perkembangan dunia pertelevisian, sosok pelawak acapkali menjadi bias karena, si pelawak kadang lebih menonjol sebagai presenter atau entertainer. Sebut misalnya nama Ulfa Dwiyanti. Sebagai pelawak ia layak; namun, sebagai presenter dan entertainer ia lebih layak lagi. Ini cukup “membingungkan” kategori.

***

SEBENARNYA pelawak itu apa? Pertanyaan ini sungguh tidak sederhana. Tak heran bila Indro Warkop DKI, pemimpin umum Persatuan Seniman Komedi Indonesia (PASKI ) melihat pengertian pelawak atau komedian dalam perspektif yang lebih akomodatif; tidak dibatasi oleh pengertian harfiah semata; sehingga seorang penulis naskah lelucon untuk lawak, sutradara lawak, kelompok kreator yang bekerja di bidang kreatif, kelompok artistik dan siapapun yang terlibat dalam proses produksi lawak dapat menjadi anggota PASKI.
Kelonggaran ini tidak mustahil muncul karena kesadaran akan perkembangan yang terjadi dalam kesenian lawak itu sendiri. Seni lawak tidak dapat menafikan peran industri yang integrated dengan jiwa dan ekspresinya. Apalagi ketika TV menjadi salah satu media ekspresi andalannya. Bargaining yang terjadi adalah lawak menjadi bagian dari industri budaya; oleh karena itu, konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung dan dikalkulasi adalah ia harus menjadi sebuah pilihan profesi.
Seperti halnya profesi-profesi lain, apalagi yang sudah mendeklarasikan diri sebagai perkumpulan, tentu memiliki kode etik, memiliki anggaran dasar dan rumah tangga. Begitu juga di PASKI.
Sesungguhnya, lahirnya perkumpulan dengan format yang lebih moderat dan modern ini pantas disyukuri oleh anggotanya. Sebuah format organisasi yang fleksibel mengantisipasi dan menghadapi tantangan di masa depan yang lebih kompleks.

***

PAYUNG organisasi ini juga sangat bermanfaat bagi wanita-wanita pelawak. Bila terjadi diskriminasi yang menimpa mereka, organisasi telah menyediakan pengacara untuk membantu advokasi atau konsultasi hukum. Pihak-pihak yang menjadi kolega para wanita pelawak dalam menempuh karier seperti broadcast, rumah produksi, penanggap off air, akan berpikir seribu kali jika punya niat tidak profesional, misalnya.
Ini artinya, karier sebagai pelawak atau komedian atau presenter kocak atau entertainer bagi para wanita, tersedia lorong pilihan yang cukup menjanjikan. Bila nilai sosial dan kultur kita melihat wanita seyogianya muncul sebagai sosok yang anggun dan elegan, apakah menjadi pelawak harus berkostum dan bertingkah laku seperti badut?
Stilisasi yang cocok bagi wanita pelawak mungkin tersedia berjuta pilihan; tetapi sebagai spirit untuk mencapai karier yang anggun dan terhormat, seyogianya bila tiap pelawak mencanangkan semangat untuk menjadi diri sendiri: menjadi aku yang pertama; bukan Ratmi kedua, bukan Ulfa ketiga atau Nunung kelima dan seterusnya.
Bagaimana jalan untuk mencapai itu? Hemat saya, seyogianya si aku berekspresi sesuai dengan naluri dan kodrat estetik yang dimilikinya. Gaya Ratmi B29 dalam melucu jelas berbeda dengan Ulfa. Ratmi wanita yang bertubuh gemuk dan tembem, kemudian bergaya seakan-akan ia adalah gadis manis yang kemayu (genit), dengan sendirinya menimbulkan kontraksi-kontraksi persepsi di benak penonton. Kontraksi-kontraksi persepsi inilah yang menjadi pendorong terciptanya suasana kelucuan.

***

SEPERTI sekilas kita singgung di atas, tampaknya, makna pengertian penghibur, telah menjadi bias dan baur; sebias dan sebaur yang terjadi dengan makna dan pengertian kata pelawak. Selama ini, yang disebut pelawak, baik perseorangan atau grup, adalah penampil kocak di sebuah pertunjukan. Apakah ia/mereka tampil dengan membawakan “lakon” (naskah runtut) atau potongan-potongan ide yang muncul secara spontan.
Dalam perkembangan industri pertelevisian, tampilan pelawak atau para pelawak di panggung (stage) itu diambil gambar (tape); kemudian setelah melewati sentuhan pasca produksi, lalu ditayangkan sebagai salah satu bagian dari acara TV.
Ternyata, sang pelawak yang kemudian popular dan punya selling point lumayan ini, dipercaya juga untuk menjadi presenter. Maka ketika Anda menyaksikan acara talk show “Empat Mata” di Trans 7, dan Tukul Arwana yang notabene seorang pelawak itu bertindak sebagai presenter, Anda bertanya dalam hati, “Lho, Tukul itu lagi ngelawak atau mimpin acara?”
Pertanyaan itu sebenarnya penting tidak penting; bagi penonton, yang paling penting acara itu dapat memberikan hiburan atau tidak. Tukul berhasil mengantarkan acara itu dengan enak atau tidak.
Menyimak dari fakta dan perkembangan yang terjadi di dunia hiburan, orang tak perlu bingung dengan bertanya-tanya: Tesa Kaunang itu pelawak atau artis? Dorce itu pelawak atau entertainer? Anya Dwinov itu pelawak atau presenter? Tike Priatna Kusuma itu pelawak atau artis? Virnie Ismail itu pelawak atau artis? Tika Panggabean itu pelawak atau presenter? Pretty Asmara itu pelawak atau artis? Dan jawaban yang sesuai dengan fakta menunjukkan; mereka pandai menghibur pemirsa atau penonton. Itu saja. Lalu haruskah untuk menjembatani kebiasan dan kebauran istilah pelawak dan lain-lainnya itu, mereka disebut sebagai penghibur?
Tampaknya, kata ini secara historis punya konotasi yang kurang enak didengar, tapi kita kan tidak pernah kekurangan akal. Orang pun lalu mengambil jalan tengah, untuk profesi pelawak dan lain-lainnya yang campur baur itu, dengan menyebut mereka sebagai: entertainer! Anda boleh setuju, boleh juga tidak; namanya juga campur-baur!
Begitulah, kalkulasi dari sebuah profesi tak dapat dipisahkan dari kalkulasi industri pertelevisian yang penuh perhitungan untung-rugi. Dari kalkulasi bisnis yang ketat itulah akhirnya melahirkan “kreativitas” broadcast yang nyaris tanpa batas. Bahasa candanya, siapapun selebriti yang lagi laku dijual, dapat di-set up untuk menjadi apapun. Pelawak atau artis atau apapun, dapat nyeberang ke penyanyi, ke presenter, ke sutradara, ke penulis naskah, ke produser, ke apapun dan sebaliknya, asalkan oke dan laku dijual.

Esais adalah peminat masalah humor, penulis dan wartawan. 


 Hiburan Selingan Lihat Kartun di Bawah

    

  
  

2 comments:

klo udah terjun ke entertainer udah deh pasti nyebar kemana2...udah bnyak sekai artis yang ganti2 profesi dari mulai pemain sinetron, terus menyanyi, pelawak dan samapi ke politik juga...

begitu ya gan .... untuk bisa survive dan tetap laku, konsisten di satu bidang tampaknya di Indonesia belum bisa menjamin kelangsungannya hingga akhir karier...

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular