Tuesday, April 28, 2009

The Gondez Ambelgedez

The First
Kesurupan


Oleh Darminto M Sudarmo


Pembekalan dari pengarang:
Seting cerita diambil secara absurd antah berantah, jadi dijamin tidak ada pihak yang perlu senang atau tersinggung karena nama, tempat, suasana, maupun pikiran-pikirannya masuk dalam cerita ini. Semua cerita asli bikinan khayalan sang pengarang. Menurut pengarang cerita ini yang konon sudah cukup lama menggerogoti honorarium berbagai penerbitan bergengsi atau setengah gengsi di negeri ini, segmen pembacanya adalah mereka-- tak peduli berlatar belakang akademis atau empiris—yang penting memiliki IQ khsusus!
Jadi menurut pengarang novel ini, bila ada dari Anda yang kurang mampu menjangkau isi yang terpapar, terangkum, terjulur, dan tercincang silang tunjang ini, berarti permasalahan terletak bukan pada jelek atau bagusnya cerita, tetapi pada khusus dan tidak khsususnya IQ Anda. Gitcuuu!



(Bagian Pertama)

Februari 1988.

Rumah kontrakan mahasiswa jantan yang terletak di Jalan Tonggak 15, tiba-tiba geger. Bukan karena ada kebakaran kompor atau listrik. Bukan pula karena barusan terjadi penggarongan dan penganiayaan. Apalagi pembunuhan dan berbagai tindakan kriminalitas lain. Bukan semua!
Yang ada, kegegeran itu berawal dari peristiwa aneh yang menimpa Pokal. Salah seorang mahasiswa yang memiliki kebiasaan paling khas. Yakni, tidur atau tidur-tiduran sambil merenda langit, menbayangkan bulan dan matahari jalan berduaan.

Menurut saksi mata, yaitu teman-teman se-rumah Pokal; yaitu Dul Goen, Jimat dan Jupri, peristiwa itu datangnya demikian mendadak. Tak terduga sama sekali. Tubuh Pokal tiba-tiba mengejang bagai kayu. Keras, dan lurus-lurus. Disusul bola matanya mendelik, kemudian membalik-balik. Keringta dingin meluncur membasahi seluruh tubuh dan wajahnya. Tubuh itu terus bergulingan di atas dipan tanpa kasur yang bunyinya ramai sekali.

Dul Goen, Jimat dan Jupri masih bingung dan panik ketika tiba-tiba tanpa diduga pula, mulut Pokal masih sempat mengucapkan kata.

"Saya kesurupan! Saya kesurupan! You know?"

Pokal memang baru saja membalik-balik buku conversation. Kemudian berguling dan berkelojotan di atas dipan riuhnya.

"Kita harus berbuat sesuatu!" ujar Jimat dengan sikap amat panik. Mahasiswa yang satu ini berbadan kurus, tapi kumisnya lebatnya minta ampun.

"Benar! Kita harus berbuat sesuatu." sambung Jupri sambil mengacungkan tangan. Jupri adalah penghuni bertubuh paling mungil, tetapi cerdiknya lumayan juga.

Mendengar ada yang mendukung idenya, buru-buru Jimat mengangkat pantat lalu menyalak lagi.

Ya! Kita tak boleh cuma berpangku tangan. Kita harus berbuat sesuatu!"

"Kita harus berbuat sesuatu!" Jupri tetap membeo.

Sementara itu, Dul Goen, berusia paling tua di kelompoknya, bertubuh paling subur, berwajah paling khas, tampak tenang-tenang saja. Dengan santai dia membalik-balik buku ensiklopedi Indonesia-sia. Mencari huruf K. Lalu dengan santai pula jari-jari tangannya yang tak gampang gemetar itu mencari-cari kata kesurupan. Tak lupa lidahnya agak terjulur untuk mencari sedikit cairan lewat sentuhan ujung jari penunjuk.

Tertulis: Kata kesurupan dirumuskan pendek saja, yakni sebuah keadaan di mana seseorang menjadi sangat tergoncang karena jiwanya tengah didesak oleh kekuatan lain. Mungkin ruh, mungkin jin, mungkin setan, dedemit atau genderuwo. Sebabnya, karena terlalu banyak bengong atau menghayal yang mokal-mokal. Cara mencegahnya, hindari semua sebab tadi. Sedang cara pengobatannya, cukup dibiarkan untuk beberapa saat. Setelah keadaan agak mereda, sang korban diajak dialog secara santai. Terutama dialog sama ruh yang indekost tanpa bayar itu; agar tahu diri segera angkat kaki. Kalau masih juga bandel, boleh pakai pelicin atau iming-iming yang lain; misalnya komisi atau sekedar upeti.

Setelah melempar ensiklopedi bercetak mewah itu, Dul Goen menyalakan sebatang rokok. Menghisapnya dalam-dalam. Menghampiri tempat tidur Pokal yang berserak-berantakan. Duduk di tepi dipan sambil menikmati rokok. Sementara itu Jimat dan Jupri kalang kabut tak karuan. Berlari ke ruang depan mencari-cari sesuatu agar bisa sesegera mungkin menghubungi dokter. Tapi usaha itu sesungguhnya usaha yang tak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena rumah kontrakan itu memang tak pasang pesawat telepon.

Tak berhasil mendapatkan pesawat telepon, buru-buru membuka laci alamari, meja dan sebagainya sambil berharap-harap semoga mendapatkan pesawat Handy Talky. Usaha yang ini pun tak kalah latahnya. Menyadari tentang kemustahilan itu, mereka lalu bergerak lagi dengan sigap meraih kunci kontak. Tentu saja tak ada mobil atau sepeda motor yang cocok, karena benda itu jodohnya sama almari pakaian. Masih juga belum jera mereka lalu menghambur ke luar rumah, hendak menghentikan taxi. Untunglah mereka masih ingat untuk merogoh saku dan membuka dompet masing-masing. Begitu tahu isinya, keduanya lalu saling pandang dengan mimik muka yang amat aneh. Tak sepeserpun uang ada di tempat itu. Seperti sudah dikomandokan, keduanya balik lagi ke rumah. Sasarannya juga sama, membalik-balik buku. Semua halaman buku. Buku kuliah, buku cetak, buku perpustakaan, sambil berharap-harap lagi, semoga ada selembar dua lembar ribuan ketlingsut di dalamnya. Sungguh tak bisa dimaafkan cara berfikir yang seperti itu. Apalagi berpredikat sebagai mahasiswa. Tetapi keduanya memaklumi keadaan. Bagai sang bijak yang murah hati, secara spontan keduanya mengucapkan kalimat yang nyaris berbareng.

"Sudahlah, tak apa-apa....tenang sajalah."

Lalu keduanya sama-sama tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. Maka bebaslah segala beban.

Tiba-tiba kedua orang itu, Jimat dan Jupri, dikejutkan oleh hadirnya suara aneh. Suara yang tak baisa mereka dengar. Suara berat tapi penuh wibawa. Bukan hanya Jimat dan Jupri, tetapi juga juga Dul Goen yang saat itu tengah rada 'slebor' menikmati lezatnya asap rokok yang konon punya daya bunuh cukup ampuh.

"Tidak logis! Tidak logis!" ujar suara itu. Jimat dan Jupri buru-buru pasang telinga. Dul Goen hampir pingsan. Suara itu muncul dari mulut Pokal. Tapi dua ratus persen itu bukan suara Pokal. Jimat dan Jupri masih linglung di tempatnya, terpisah dari tempat tidur Pokal.

"Itu pasti suara tetangga." ujar Jimat.

"Boleh jadi." sambung Jupri sesaat sepi. Tiba-tiba suara itu menggemuruh lagi.

"Heiiiii! kalian semua kemari!"

“Eh, sepertinya dari kamar Pokal," ujar Jimat. Keduanya langsung menghambur masuk. Dul Goen panas dingin, seperti orang yang pertama kali melihat hantu. Pokal kini tidak terlentang lagi. Tidak kelojotan lagi. Tidak mendelik-delik lagi. Tidak memperlihatkan biji matanya yang putih dan mengerikan lagi. Tapi justru tampak jauh lebih menakutkan dari semula. Duduk dengan sikap amat takzim. Wajahnya rada memerah. Sinar matanya aneh, tetapi mengandung kekuatan yang luar biasa.

"Hai kalian kenal aku tidak?"

"Ke...kenal, tentu saja," jawab mereka bertiga.

"Bagus. Siapa?"

"Kau temanku, eh, teman saya tersayang."

"Iya siapa?"

"Pokal tentu saja."

"Goblog! Aku bukan Pokal. Aku Profesor Durgandana. Guru besar ilmu sosial politik Universitas Gondolumayit. Ngerti?!!!"

"Ya ya ngerti Prof...."

"Aku juga dosen kehormatan bidang Hubungan Internasional di India-Indianan State University, Amerika Serikat, paham?"

"Paham Prof."

"Tahu kedatanganku masuk ke tubuh Pokal!?"

"Be....belum Prof."

"Untuk memberi kuliah kalian bertiga. Tapi syaratnya bila aku lagi pergi dari tubuh Pokal, kalian harus memberikan materi kuliah ini kepada Pokal."

"Baik Prof. kami akan laksanakan amanat itu."

"Nah, sebelum menyiapkan buku-buku dan alat-alat tulis, perlu juga kuberitahukan pada kalian kenapa cara yang aneh ini harus kutempuh. Pertama kalian semua punya otak rada encer, tapi kantong kalian selalu kosong. Kedua, menjelang kalian selesai semester akhir, akan terjadi musibah, yakni, kalian harus kena D O! Harus angkat kaki dari perguruan tinggi, karena selalu nunggak SPP. Maka biar jangan putus harapan, aku datang untuk kalian. Ketiga, kalianlah yang bakal mempelopori prinsip 'Deschooling Society' alias bebas dari sekolah di Indonesia ini. Nanti di tahun 2000-an istilahnya menjadi “Home Schooling”. Prinsip yang diteriak-teriakkan oleh Van Illich sejak lima belas tahun yang lalu itu, mulai terasa khasiatnya setelah adanya revolusi penggusuran gelar yang bakal kalian lakukan di kemudian hari. Orang bakal setahap demi setahap menengok pada kualitas ketimbang target. Jangan sedih menerima berita ini."
Jimat, Dul Goen dan Jupri saling pandang. Berita itu meskipun keluar dari mulut orang teler macam Pokal, tetapi di dalamnya mengandung hawa kemurniaan pendapat seorang Profesor Durgandana yang kemungkinan besar melihat dari kaca mata supra-rasional. Kalau itu benar, alangkah menyedihkan sudah menjual habis sapi dan kerbau serta sawah berhektar-hektar buat kuliah, akhirnya bakal dikeluarkan dan tak dapat gelar. Apa yang bisa dibanggakan saat pulang kampung dengan bendera tergulung?

Tak sadar ketiganya lalu meneteskan air mata. Di luar dugaan Prof. Durgandana marah besar melihat kenyataan itu.

"Kalian semua goblog dan cengeng! Pikiran picik itu musti dihilangkan. Berpikir tegar tentang masa depan hanya akan dipunyai bila kalian telah bisa membebaskan diri dari struktur lapuk itu. Ingatlah kata-kata saya, pada suatu era nanti, orang-orang spesialis, orang-orang akademis yang terkotak dalam bidang yang serba eksklusif bakal dipimpin oleh orang-orang yang telah bisa membebaskan diri dari struktur lapuk tadi. Meloncat dari pikiran-pikiran yang memburu kemasan fisik. Catat ini baik-baik, ngerti?!"

"Ngerti Prof...."

"Nah, sekarang kuliah akan dimulai. Sana ambil catatan. Ingat jangan sekali-kali main rekam pakai benda teknologi, itu tindakan bodoh dan malas. Kalian harus aktif, menggurat bunyi dalam tulisan sudah separo belajar."

Agak kalung kabut ketiganya berlari menuju ke rak buku masing-masing. Kemudian kembali dengan perasaan seperti tersihir.

"Ada lima paket pelajaran yang bakal saya sampaikan untuk jangka waktu tak kurang dari satu bulan penuh. Tiap pertemuan tak kurang dari dua jam. Dan kalian harus kerja keras untuk ini semua. Saya tak bakal mengulangi hal yang sama. Ngerti?"

"Ngerti Prof."

"Pertama, paket pelajaran saya beri judul, Teknik Berpikir Gila."

"Apa Prof?" Hampir berbareng mereka terlonjak seperti tak percaya pada pendengarannya.

''Tak bakal diulangi apa yang sudah diucapkan." ujar Profesor dengan nada dingin, "dengan topengnya yang cantik orang cenderung ogah disebut gila. Karena itu meskipun mereka menderita gejala-gejala yang hampir menjurus ke situ, mereka tetap berusaha untuk melupakan dirinya. Lalu larut dalam kehendak massa, bahwa liar disangka waras. Kemudian terjadi opini salah bahwa yang dilakukan oleh umum selalu benar, dan yang dilakukan oleh bukan umum, pasti menyimpang alias tak waras. Pahaaaaam?!!" Tiba-tiba mata Pokal seperti melotot ke salah satu arah.

"Hai yang boleh dengar kuliahku cuma kalian bertiga. Tak boleh pihak lain coba-coba mencuri dengar."

Dengan gugup Jimat buru-buru menjelaskan.

"Di sini aman Prof. dinding kami tak bertelinga. Lantai tidak, jendela tidak, pintu tidak, atap juga tidak. Semua bebas dari gangguan. Jangan kuatir di sini persis di kampus Gondolumayit Anda."

"Tapi aku belum percaya. Aku mendengar suara mencurigkan dari balik almari kalian. Benda apa yang ada di situ. Cepat diungkap sampai tuntas, waktuku tinggal sedikit."

Ketiganya bergegas menggeser alamari. Tak menjumpai apa-apa selain coro-coro dan cicak.

"Hanya coro dan cicak Prof. aman kok."

"Bego! Benda itulah yang kumaksud sangat mencurigakan. Harus segerra dihalau, kalau tidak kalian akan jadi lebih bodoh dari mereka. Mereka memiliki energi penangkap jauh lebih hebat dari pada kalian. Sebab mereka juga bisa menangkap bahasaku.

Urusan coro dan cicak rampung sudah. Baru saja hendak mulai Prof. Durgandana, rewel lagi.

"Aku dari tadi kehausan dan kelaparan, tetapi kalian benar-benar tak bisa membaca gejala dan lingkungan. Itu warisan pola-pola pelajaran yang kalian pelajari hingga kini. Makin jauh dari tanda-tanda, gejala, dan modal kepekaan. Jadinya yah begitu itu. Lamban, miskin inisiatif, serba takut menyimpang sedikit dari rumus-rumus, pola-pola, dan terutama norma dan sekian tetek-bengek etika bohong-bohongan. Nah kenapa tak cepat-cepat ambil minuman dan makanan."

Tetap dengan sikap kalang kabut, Dul Goen, Jimat dan Jupri menghambur ke dapur. Tetapi sesungguhnya itu cuma tindakan iktikad. Di dapur tak ada seujung sayur pun. Tak sesendok nasi atau bubur. Semua kosong. Prof. Gondo lebih tahu tentang itu. Tetapi sedikitnya dia menghargai usaha itu, sebab rumah kontrakan itu lebih kelihatan kumuh ketimbang bersihnya. Gombal dan pakaian kotor bergelantungan kayak monyet-monyet. Bekas bungkus kue dan makanan berserakan di pojok-pojok ruangan. Dan bila tak seorang pun lihat, sampah itu justru didorong-dorong agar masuk lebih dalam lagi ke sela-sela kolong yang tak terlihat oleh mata.

(Bersambung.....)

0 comments:

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular