Saturday, July 4, 2009

SARI IKUT KAMPANYE



Cerpen Nadjib Kartapati Z.


Dengan iming-iming sembako, akhirnya Sari mau juga ikut kampanye. Di lapangan kabupaten, sembilanbelas kilo meter dari desanya. Bareng teman-teman, beramai-ramai naik truk, berdiri berdesak di bak.

Sari mengenakan celana panjang. Agak ketat. Seketat kaosnya. Lekuk-liku tubuhnya, dari mulai pundak, dada, perut, hingga pinggang dan pinggul, tampak lebih nyata karena pakaian ketatnya. Mata lelaki pada melotot melahap tubuh indah itu. Tapi Sari tak menyadari. Lebih pasnya, tak peduli. Teman-temannya menyebutnya gadis tomboy. Toh begitu, mereka memujinya cantik.

Sari ikut mengayun pinggul ketika musik ndang-ndut koplo itu menendang-nendang kuping. Lagu Kucing Garong, didendangkan penyanyi dari Solo. Alangkah senangnya ikut kampanye. Sudah dapat sembako, naik kendaraan gratis pula. Bisa kumpul teman dan banyak orang, masih dihibur musik dan penyanyi seksi.

Wah, bagi Sari ini tidak cuma pesta demokrasi. Juga pesta musik, pesta joget, pesta decak kagum pemuda begajulan yang geleng-geleng memandang indah tubuhnya.

Tapi, setelah penyanyi dan pemusik itu turun dari panggung dan digantikan seorang politisi, semuanya berubah. Semua jadi membosankan.



Di jantung kota Semarang. Di rumah gedongan. Di dalam kamar rias yang menyerupai salon pribadi. Di situlah Sari duduk manis di depan cermin. Nia, sang perias itu, sibuk mencari-cari gaun yang ideal untuknya.

Sebentar kemudian, ketika Refan, lelaki muda perlente itu menjelaskan tentang pekerjaan yang harus dijalaninya malam ini, Sari muntab. Ia melotot.
“Apa? Saya mau dijadikan pelacur?”
“Apalah sebutannya, yang penting asal jangan menyulitkan!” jawab Refan.
“Ndak! Ndak sudi! Mas Didik janji sama saya mau kasih kerja jadi asisten. Mending jadi pembantu ketimbang jadi begituan!”

Ada gelagat Sari mau kabur. Refan cepat menangkap bahunya ketika Sari beranjak. Nia mengunci pintu kamar dan mengantongi kuncinya.

“Kamu sudah masuk rumah ini, Sari. Bagaimana kamu bisa keluar, tergantung negomu sama lelaki yang booking kamu!” kata Refan.

“Lelaki yang booking?”

“Iya, langganan tetap Tante Anggi itu. Dia ‘kan paling suka sama daun muda. Orangnya yang tadi itu, yang menepuk-nepuk pundak kamu.”

Tanpa terduga Sari menyentakkan tangan Refan dan menendangnya. Refan mundur tanpa keseimbangan.

“Kamu ndak bisa maksa saya!” jerit Sari melengking.

Seperti kesurupan, Sari kalap mengobrak-abrik seisi ruangan. Ruangan yang semula tertata rapi jadi semerawut. Kursi rias jempalitan. Kaleng hair spray dan sisir-sisir berjatuhan. Bedak, lipstick, kacamata, berhamburan. Berpegang pada tiang gantungan baju, Sari berancang-ancang. Saat Refan menyergapnya lagi, ia jatuhkan gantungan baju yang bulat bagian atasnya itu. Dengan cepat ia menyambar gunting dari troli. Nia memekik dari pojok ruangan.

“Jangan macam-macam kamu!” gertak Refan.

“Refan! Awas, dia nekat!” pekik Nia.

Refan mengelak, tapi kurang perhitungan. Saat disergap dari samping, Sari memutar tubuh sambil mengibaskankan tangan kuat-kuat. Lengan Refan tergores ujung gunting. Berdarah. Tak hanya itu, jakunnya keras tersikut. Refan mengerang kesakitan.

“Refan, Nia... ada apa? Buka pintunya! Buka!” teriakan dari ruangan lain, beradu dengan suara gedoran pintu berulang-ulang. “Buka, Refan! Buka! Ada apa ribut-ribut?”

“Ayo, kalau masih pengin maksa, maju!” ancam Sari.

“Refaaaan!”

Pintu terbuka. Perempuan setengah baya bernama Anggi itu muncul dan terhenti di ambang. Tampak langsung tercekat. Sari tak menyia-nyiakan. Gunting di tangannya mengarah ke wajah pemilik rumah gedongan itu.

“Tante Anggi, masuk atau menyingkir!” ancamnya.

“Telpon polisi! Suruh lempar si jalang ini ke penjara!” pekik Anggi.

Sari mendorong kuat tubuh Anggi hingga perempuan itu terjengkang. Ia melompat dan lolos. Refan mencoba membuka pintu, kecele. Sari sudah menguncinya dari luar.

“Semprul!” rutuk Refan.

Sekarang, di sudut pagar, Sari harus berhadapan dengan Satpam yang berkumis tebal. Satpam sigap menyongsong. Sari gugup melihat pintu pagar yang terkunci.

“Ada apa, Non?”

Sari memutar otak untuk menyiasati Satpam.

“Mana kuncinya? Cepat, di dalam ada keributan. Perlu bantuan Bapak!”

Terbawa kepanikan Sari, Satpam mengeluarkan kunci dari saku celananya. Sari langsung menyambar dengan ketangkasan yang mengagumkan.

“Di dalam perlu bantuan segera! Cepat ke sana, Pak!”

Sari menyelinap keluar ketika Satpam bergegas melangkah ke rumah. Pas ketika itu sebuah mini bus behenti. Seorang lelaki meloncat turun.

“Sari! Sar!”

Sari membunuh langkah. Menoleh. Kontan matanya nanar melihat Didik. Dua perempuan cantik ikut turun dari mobil itu.

“Mas Didik jahat! Menjebak saya ke tempat seperti ini!” raung Sari.

Didik tertegun. Sari berlari lagi. Saat akan mengejar, dua perempuan tadi melarang. “Mas Didik! Ingat! Kita sedang diburu waktu! Tante Anggi bisa marah besar kalau meleset!”

Didik balik lagi, masuk mobil. Sari menghilang di tikungan.

Di pinggir jalan raya yang sepi, Sari memperlambat langkahnya, memegang dada sambil mengatur napas. Di wajahnya masih terpancar kegeraman sekaligus ketakutan.

“Mas Didik kebangetan. Dari jauh saya disuruh datang, hanya akan dijadikan pelacur. Dasar penipu!” gerutu Sari.

Lampu-lampu kota menyiramkan sinarnya ke wajah Sari. Ia melihat ke sekeliling. Tampak bingung menentukan arah. Ia tak pernah paham kota Semarang.

Sari terus berjalan, sampailah ia pada sebuah taman. Di sinilah para wanita malam itu nunggu rezeki dari lelaki iseng. Di pojok dekat gardu listrik ada pasangan yang tengah berhimpitan di atas sepeda motor. Di sudut selatan ia lihat ada yang mojok di bawah pohon. Di trotoar ada yang melambaikan tangan untuk kendaraan yang lewat.

Sari mulai mengerti tempat apa yang ia injak ini. Ia jadi linglung seperti orang kesasar. Kalau ada cermin, pasti ia bisa lihat betapa wajahnya penuh gurat kebingungan. Melihat halte bus, itulah tempat paling tepat untuk pelarian.

Pelan-pelan Sari duduk di sudut, di dekat tiang halte itu. Ia tahu, ada beberapa pasang mata yang memperhatikannya. Bahkan ada lelaki yang berdehem-dehem dan melontarkan sapaan tak sopan.

Di luar halte, seorang lelaki tanpa sungkan bicara pada temannya.

“Wah! Yang begini nih, yang bantingannya asyik!”

Lelaki lain dengan sengaja mendekati Sari, bicara di sampingnya.

“Lagi frustrasi, Mbak? Ditemenin, mau?!”

Sari berusaha tenang. Ia bergeming. Membutakan mata dan membudegkan telinga. Tapi, hatinya gaduh bukan kepalang. Aduh, kenapa jadi begini? Saya harus ke mana lagi sekarang? Gusti Allah, selamatkan saya!

Semata-mata demi menghindari lelaki iseng di sebelahnya, Sari berdiri, lalu menyeberang jalan. Ia menuju sebuah warung rokok yang cukup terang di pinggir trotoar sana. Ia mengajak bicara ibu tukang warung yang kemudian memberinya kursi.

Tanpa ia sadari, malam sudah larut. Ia terkantuk-kantuk di kursi warung rokok. Raungan sirine menggagalkan mimpinya. Sari tersentak, menyangka ada ambulan lewat. Padahal, sirine itu dari mobil patroli Tramtib. Sari masih tak paham apa yang terjadi. Ia malah tersenyum-senyum menyaksikan sejumlah perempuan yang tadi megal-megol itu berhamburan seperti tawon. Pada lari ngumpet, menyelamatkan diri. Petugas mengejar dan menangkap. Ada yang melawan, tapi toh sia-sia. Mereka digiring masuk mobil, menyerupai truk, tapi punya tangga di belakangnya.

“Aku bukan pe-es-ka. Aku lagi nunggu bus! Lepaskan!” protes perempuan yang tadi sibuk melambaikan tangan kepada setiap mobil yang lewat.

Sekarang giliran Sari. Begitu cepat, ia merasa dua orang petugas sudah menyengkal bahunya dan menggelandangnya. Sari memekik kaget. Memberontak.

“Mana KTP-mu?”

“Saya tidak bawa.”

“Naik!”

Tahu-tahu ia sudah dilempar ke mobil. Ia terduduk, menimpa perempuan tadi.
Sari berpikir, apa salahnya sehingga harus diangkut? Tapi kemudian ia juga berpikir, ke mana aku kalau tak diangkut? Bukankah mengikuti kemauan petugas itu justru lebih aman? Maka Sari pun duduk dengan manis.

Inilah saatnya petugas pembinaan mengintrograsi Sari. Gadis tomboy itu duduk menghadap petugas perempuan berseragam Pemda. Ia tatap mata petugas yang menginterogasinya itu dengan keberaniannya yang terpancar dari perasaan tak bersalah.

“Kamu masih terlalu muda. Namamu siapa?” tanya petugas perempuan itu.

“Sari, Bu.”

“Sari, bagaimana kamu bisa ikut-ikutan cari teman kencan?”

“Itu ndak benar, Bu.”

“Terus untuk apa kamu ada di taman malam-malam begitu?”

“Demi Tuhan, Ibu. Saya benar-benar baru datang dari kampung. Saya kabur dari tempat teman saya bekerja, karena disuruh jadi pelacur. Saya tidak tahu mau ke mana.”

“Kalau memang dalam kesulitan, kenapa tidak segera lapor petugas?”

“Saya bingung, Ibu. Saya takut malah dipenjarakan!”

Ibu petugas tersenyum.

“Sebelum ini kamu pernah kerja?”

“Belum pernah, Ibu. Karena itu, waktu teman saya bilang mau kasih kerjaan, saya datang ke sini. Ternyata mau dijadikan pelacur.”

“Kamu masih gadis?”

“Ya masih’lah, Bu. Saya siap diperiksa kalau diperlukan.”

“Baik, Sari. Sekarang... coba tunjukkan alamat temanmu.”

Sari mengangkat wajah, teringat sesuatu. Dia lalu bangkit untuk mengeluarkan selembar kecil catatan dari saku celananya, lalu memberikannya kepada ibu petugas.

“Ini nomor telponnya, Bu. Tapi jangan bilang dari petugas, nanti dia kabur. Jebak saja, Bu. Suruh polisi tangkap dia!”

Ibu petugas menerima catatan itu.



Bagi Sari, bahkan, kampanye itu tak sekadar membosankan. Tetapi juga memberinya kejutan. Lelaki bersafari di atas panggung, yang kini tengah pidato sebagai calon legislatif untuk daerah pemilihannya itu, pernah menepuk-nepuk pundaknya sewaktu di rumah Tante Anggi, dua tahun lalu.

Jakarta 2009.

0 comments:

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular