Saturday, November 1, 2008

Komedi Jalan di Tempat


UNTUK bicara komedi TV di negeri ini, sebaiknya kita kesampingkan dulu pemilahan terminologi; komedi, lawak, humor, lelucon, guyon, dan seterusnya. Semua itu bisa menjerumuskan kita ke dalam apologi-apologi rutin, yang akhirnya justru tidak menunjang proses pendewasaan diri.
Dalam setengah dekade ini, setidaknya sejak RCTI memproklamasikan diri sebagai TV swasta — yang kemudian secara beruntun diikuti TPI, SCTV, AN-teve, dan lain-lainnya — publik kita mulai mendapatkan menu “komedi” TV yang secara esensial berbeda dengan menu dari TVRI dan TVRI 2. Kecenderungan ini makin merebak, terutama sejak paket-paket komedi impor banyak diluncurkan, dan sering menjadi pemicu inspirasi industri “komedi” dari sejumlah rumah produksi domestik.
Dari fenomena yang ada, bisa disimpulkan sebuah kecenderungan “latah” yang menjadi warna dominan dari sebagian besar paket komedi TV kita, yakni: masih jalan di tempat, monoton, dan manja. Dalam konteks ini, posisi komedi TV tidak berdiri sendiri. Sangat mungkin keberadaannya terkait dengan sejumlah masalah yang kompleks: institusi periklanan, stasiun TV, rumah produksi, tenaga kreatif, komedian/aktor/aktris, teknis, rambu-rambu etis-politis-etnis-relegiusitas, dan lain-lain yang kita semua sudah pasti bisa menduganya.
Namun, semua itu bukan satu-satunya alasan, bahwa komedi TV boleh mengalami stagnasi. Kita ambil contoh sederhana: membanjirnya lelucon bergaya verbal (baca: ceriwis dan nyinyir) yang hampir menyita sebagian besar waktu penikmat, sepertinya semakin keterusan dan jadi satu-satunya pilihan. Kecenderungan ini seakan mem-fait a compli, bahwa pemirsa kurang memiliki rasa nalar, rasa imaji, rasa optis dan rasa estetis yang bisa dipertanggungjawabkan, yang harus dituntun dan didikte.
Hemat saya, kecenderungan ini sangat “kocak” lagi ketika bentuk dan isi komedi TV secara umum juga ikut-ikutan tak berkembang. Lihat saja pilihan setting yang—hampir wajib—indoor; properti, kostum, trick, tantangan akting, sudut bidik, yang cenderung menghindari kerumitan dan kesungguhan mutu.
Alhasil, lepas dari sejumlah masalah rutin di atas, ada persoalan asasi yang perlu terus diwaspadai, yakni soal daya lelucon. Institusi kreatif, perancang program, kreator gag, komedian/aktor/aktris, sutradara dan seluruh timnya, adalah pos-pos penting yang menjadi mata rantai dan titik akhir produksi komedi TV. Filosofi SDM mereka bagaimana? Ada tidaknya eksplorasi atau inovasi, juga tertangkap dari garis-garis haluan humor yang mereka rumuskan. Rowan Atkinson, pemeran Mr. Bean, dalam serial videonya “Rowan Atkinson in Funny Business” menyadarkan kita bahwa peluang mengolah dan mengembangkan paket komedi di TV terbuka sedemikian lebarnya. Inilah fatwa “Profesor” Atkinson berdasarkan tulisan David Hinton.
Suasana komedis, terutama untuk TV, dapat mengacu kepada beberapa jurus, yaitu: pertama, membangun lelucon dengan cara mempermainkan logika visual (visual comedy); kedua, lelucon via jurus slapstik dan “kekejaman” (slapstick and violence); ketiga, memanfaatkan logika ajaib dan surealis; keempat, pantomim dan plesetan bahasa tubuh (mime body language).
Logikanya, keberhasilan melawak, bukan hanya karena ide jokes/anekdot yang lucu; ia dinilai berhasil, di antaranya dari cara pemain membawakan peran secara konsisten dan berkesinambungan (the character of physical), misalnya corak: kekanak-kanakan, sok agung, berwibawa dan tak tersentuh, licik, suka mencelakakan, dan sebagainya.
Aneh kan, pilihan dan jurus demikian banyak, tapi kita cuma ambil sebiji dua biji doang: humor ceriwis dan... yang tadi itu. Sayang, kan?

Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor.

0 comments:

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular