Monday, December 1, 2008

Kontroversi Ruang Katarsis


Catatan:
Beberapa hari setelah terdengar berita “Empat Mata” di Trans 7 kena sanksi KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dengan akibat tidak dapat hadir di Trans 7 sebagaimana lazimnya, maka tulisan ini dikirimkan ke Harian Kompas dan ternyata tidak dapat dimuat; sampai akhirnya muncul alternatif “Bukan Empat Mata” sebagai pengganti “Empat Mata” dan tampaknya pelawak Tukul Arwana masih tetap dipakai sebagai host di acara pengganti tersebut. Mohon maaf bila artikel berikut terkesan flash-back.

Oleh Darminto M. Sudarmo


BILA dilihat dari sudut konsep, acara taklshow “Empat Mata” dengan presenter pelawak Tukul Arwana yang selama ini rutin muncul di televisi Trans 7, tergolong brilian. Memang talkshow-talkshow lain seperti Oprah atau Larry King show atau bahkan Kick Andy tak kalah menarik dan memukau, tetapi “Empat Mata” sungguh beda.
Perbedaan paling mendasar terletak pada positioning acara tersebut yang menawarkan kondisi paradoks atau ambigu dalam silang arus persepsi yang sulit ditebak bagaimana ujungnya. Pada satu ketika karena kondisi paradoks itu terus di-drive, maka muncullah berbagai gesekan yang kemudian mendatangkan suasana tak terduga sehingga timbullah reaksi tawa dari pemirsa di studio maupun di rumah. Uniknya lagi, pada ketika yang lain, Tukul selaku presenter, yang dalam performance-nya berupaya tampil elegan, ketika ia disergap atau diledek oleh narasumber, pemain pendukung maupun bintang tamu, bukannya bertahan sekuat tenaga atau mengelak dengan aneka dalih, tetapi ia malah lebih tajam lagi meledek dirinya sendiri. Tentu saja respon Tukul yang mengagetkan ini , langsung membuat penonton tertawa terbahak-bahak.
Muatan Humor
Dalam teori humor, “Empat Mata” memuat, bukan saja teori bisosiatif yang amat kompleks dan terkenal itu, tetapi juga sesekali memanfaatkan situasi yang merujuk pada teori “Unggul-Pecundang”. Seperti kita ketahui, teori bisositif menampilkan kejutan berlapis-lapis, sedangkan unggul-pecundang tergolong lelucon yang memakan korban; maksudnya, orang tertawa karena menyaksikan orang lain lebih sial, lebih bodoh, lebih jelek, atau lebih menderita. Tukul sering menyediakan diri jadi korban. Itu tidak masalah sejauh ia menganggap itu wajar dari sudut profesionalitasnya. Terkait dengan kondisi demikian, pernah ada seorang kawan yang berkomentar setengah berseloroh bahwa “Empat Mata” itu adalah satu-satunya acara TV paling cerdas di dunia karena mampu menjual kebodohan dan kesalahan.
Bagaimanapun masyarakat mengakui, “Empat Mata” adalah acara yang mereka gemari. Ternyata kelebihan konsep “Empat Mata” tidak berhenti seperti disebutkan di atas. Dalam aplikasi kreatifnya dapat dilihat betapa semua elemen yang ada, dari laptop, penonton skondan (tukang respon tawa), properti, kostum, hingga penonton sungguhan berupaya men-support agar kiprah Tukul dapat mencapai fokus maksimal. Sedemikian teliti dan penuh pertimbangan detail Trans 7 men-set up acara “Empat Mata” agar voltage daya tariknya tetap terjaga; tetapi mengapa kontruksi bangunan konsep yang sudah sedemikian solid tiba-tiba menjadi berserakan karena persoalan etik yang lepas kontrol? Benarkah persoalan ini telah menjadi final dan tak ada kesempatan untuk terbukanya dialog lagi?
Debut Fenomenal
Hemat saya, dari segi track record “Empat Mata” sulit dicari tandingannya; khususnya untuk acara sejenis pada tahun-tahun lampau. Ia pernah mencapai debut yang sangat fenomenal dalam paket acara TV yang bernama talkshow. Sebagai pelawak yang menjadi presenter, Tukul Arwana juga mendapatkan efek pengakuan yang sangat signifikan. Dari si pecundang menjadi sang pemenang. Ibarat pasangan “Empat Mata” dan Tukul Arwana sulit dipisahkan. Bangunan citra yang sudah terbangun antara acara tersebut dan sang pelawaknya sudah sangat klop dan kompak. Persoalannya kemudian, bila “Empat Mata” sebagai salah satu ruang katarsis bagi publik yang sedang jenuh dan jengkel oleh keadaan yang tak kunjung membaik harus dilenyapkan dari penonton TV demi tertibnya sebuah aturan main, lalu mengapa tayangan berita yang memuat foto-foto atau gambar-gambar seram (maaf, mayat terpotong-potong, kepala tanpa tubuh dan sebagainya) masih tampak lenggang kangkung muncul di TV kita. Tambahan lagi, paket-paket reka ulang kejahatan yang diungkap demikian lugas dan detail, sepertinya bukan tak membawa efek apa-apa bagi pemirsa; bukankah ia juga dapat menjadi salah satu “inspirasi” kursus kesadisan bagi sebagian masyarakat yang lugu dan sedang labil kondisi psikologisnya.
Dalam kasus “Empat Mata” atau kasus-kasus sejenis yang substansi iktikad etiknya bandel atau bahkan arogan, saya setuju KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) perlu memberikan “hukuman” agar tercapai efek jera, bagaimanapun KPI juga mewakili opini dan hati nurani masyarakat, namun dalam konteks “Empat Mata” seyogianya juga mempertimbangkan seberapa besar perbandingan “pahala” dan “dosa “ yang telah diperbuatnya. Jangan-jangan persoalan acara yang berakibat menjijikkan bagi masyarakat itu hanya kasuistik. Terjadi karena kurangnya wawasan terhadap persoalan-persoalan yang peka dan solusinya pun sebenarnya juga tidak begitu sulit, yaitu merekrut tim ahli dari berbagai latar belakang keilmuan atau keahlian sebagai rujukan.
Tekanan Rating
Dalam konteks tertentu, masyarakat kadang heran juga, mengapa produser acara sepertinya agak panik sehingga dalam memilih tema, bintang tamu atau narasumber seringkali rada dipaksa-paksakan. Kecemasan terhadap menurunnya rating adalah situasi yang umum terjadi di semua stasiun TV. Tetapi bila penurunan rating yang juga mengancam kredibilitas dan kedudukan sang produser, persoalannya menjadi lain. Berbagai upaya dilakukan supaya dapat mendongkrak rating. Frekuensi rapat dengan tim kreatif dilipatgandakan supaya mendapatkan gagasan-gagasan yang selalu segar dan baru. Sementara itu, catatan-catatan dari tim marketing soal produk yang dianggap kurang sesuai dengan kehendak masyarakat, kurang cocok dengan kehendak pemasang iklan, dan lain-lainnya serasa sebuah presure, sebuah beban, yang pada akhirnya dapat mendorong ke situasi pengambilan keputusan (memilih tema, tokoh narasumber atau bintang tamu) yang penuh risiko; tak peduli; yang penting dapat mengguncang pemirsa, menarik perhatian pemirsa dan tercipta wacana produktif yang berefek baik bagi rating maupun partisipasi pemasang iklan.
Bila “Empat Mata” diakui oleh masyarakat sebagai sebuah ruang katarsis untuk publik, ia telah terbukti memberikan manfaat yang cukup besar karena tolok ukur untuk itu memang ada. Dalam logika sederhana berarti acara itu sudah pernah berjasa dan punya manfaat bagi masyarakat; sehingga masyarakat dapat tereliminasi dari berbagai perilaku agresif yang berlebihan.
Dan bila keteledoran yang pernah dilakukan penanggungjawab acara semata karena persoalan teknis, bukan idelogis, tentu sanksi membekukan acara tersebut dapat melukai dan mengurangi hak-hak masyarakat untuk bebas dari rasa penat dan stres karena tekanan hidup.

Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor.

0 comments:

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular