Sunday, December 14, 2008

Evaluasi Akhir Lima Tahunan, Lawak dan Sinetron Komedi di Program TV

Oleh Darminto M. Sudarmo

Di era televisi memegang peran penting dalam mengakomodasi kebutuhan hiburan masyarakat, maka dunia perlawakan tak dapat dipisahkan darinya. Bahkan, ketergantungan lawak pada dunia industri budaya (kreatif) semakin bergayut-gayut saja.
Kita lihat misalnya, beberapa kali paket API (Audisi Pelawa k TPI), hasilnya adalah untuk menunjang kebutuhan program televisi. Ketika jumlah pemenang tiap tahunnya terus bertambah, dan kecenderungan mutunya makin menurun, dampaknya justru merepotkan TPI sendiri selaku institusi yang notabene “memproduksi” pelawak baru secara periodik.
Tetapi, apapun yang kemudian terjadi, program-program berbasis komedi tetap dibutuhkan oleh masyarakat penonton; pilihannya kemudian ketika tawaran dari pelawak tak dapat diharapkan terlalu banyak, beberapa stasiun TV akhirnya beralih kepada pengandalan konsep (naskah) dan pemain/bintang (tidak selalu harus pelawak). Kenyataannya dengan naskah (humor/komedi) yang baik, Trans TV berhasil mengantarkan “Bajaj Bajuri” menjadi salah satu paket komedi yang sangat fenomenal; baik dari segi mutu penyajian maupun respon masyarakat penonton.
TPI sendiri yang pada mulanya menjadi produsen pelawak populer (Lenong Bocah, Patrio, Cagur, Teamlo, dan beberapa saja grup pemenang API) akhirnya tak dapat mengakomodasi ekspresi mereka dalam produk program-program berbasis lawak atau komedi di stasiunnya sendiri; akibatnya terjadilah sesuatu yang tak dapat dielakkan, yaitu “hengkang”-nya sejumlah personal atau grup binaan TPI ke stasiun lain yang tertarik memberi ruang ekspresi kepada mereka. Hengkang di sini dalam arti, tidak semata bermain dan berekspresi di TPI saja, tetapi juga merambah di beberapa stasiun TV lain.
Bukan Pelawak tapi Lucu
Meskipun demikian, beberapa program komedi yang belakangan terlihat naik daun (terutama setelah eranya “Extravaganza”) justru muncul dari personal atau tim yang bukan pelawak. Sebutlah misalnya “Suami-suami Takut Istri” sekelompok pendatang baru dalam dunia komedi, namun sepak terjang mereka tampak seperti tim yang sudah sangat berpengalaman dan mengesankan.
Timbul pertanyaan kepada para pelawak kita, apa yang terjadi dengan mereka semua? Masyarakat pada akhirnya tidak pernah peduli, apakah program yang lucu di TV itu berbentuk lawak atau sinetron komedi; yang penting mereka mendapatkan hiburan yang memadai.
Melihat beberapa upaya pelawak yang menghadirkan program lawak dengan setting out door, lalu memvisualisasikan joke-joke pendek yang dipanjang-panjangin, dan meniru-niru program “Just for Laugh” yang hanya didukung oleh properti dan gagasan seadanya, terasa ada sesuatu yang hampa di sana. Mengapa mereka tak melihat tuntutan penonton sudah semakin tambah dan maju. Apakah hanya sampai di situ kekuatan yang ada pada para pelawak kita?
Gagasan Baru dan Beda
Untunglah, sesekali ada juga pihak yang mau berpikir dan menawarkan gagasan beda dan baru, itu ditandai dengan lahirnya program TV berbasis humor yang diberi nama “Republik BBM”. Untuk sekian saat negeri kita diguncang tawa dan sajian yang agak bermutu. Kalau karena sesuatu hal lalu berganti menjadi “Republik Mimpi” dan lain-lainnya, tidak menjadi masalah; tetapi, para pemikir kreatif dalam industri “kreatif” ini, termasuk dari pihak broadcast sendiri rasanya akan tetap bijak bila memperhitungkan “masa laku” atau batas trend sebuah program. Dalam konteks ini, bukan semata wadahnya, tetapi yang paling penting adalah isi yang ditawarkan kepada masyarakat penonton. Perlu terus ada eksplorasi dan penjelajahan yang tak kenal henti agar jangan sampai penonton tiba pada titik yang sangat mengkhawatirkan kita semua: bosan. Di Jepang ada sebuah program di bawah tajuk “Kato Ken Show” (pemain intinya lima orang) yang bertahan lebih dari 32 tahun; tetapi karena para pemainnya merasa sudah semakin uzur, bukan program itu yang digusur oleh broadcast atau masyarakat penonton; tetapi justru para pemainnya sendiri yang meminta izin ke pemirsa agar diberi kesempatan untuk istirahat dan menikmati sisa hari tua.
Peran Broadcast
Selera masyarakat mungkin menentukan sebuah program komedi menjadi berhasil atau tidak menurut parameter lembaga rating yang sendirian dan tak ada pembandingnya itu, tetapi program yang baik dan dibutuhkan masyarakat tetap membutuhkan kesabaran dan kepercayaan diri dari pihak broadcast agar tak terlalu cepat goyah oleh klaim-klaim dari pihak marketing. Contoh yang sudah di depan mata dapat dilihat pada program “Empat Mata” (sekarang: “Bukan Empat Mata”) dan terutama, meskipun tidak berlabel komedi atau humor: “Kick Andy”. Mengapa kedua program itu membutuhkan kesabaran dan kepercayaan diri yang tinggi dari pengelola? Karena dalam situasi yang sangat rentan dan tegang, didukung oleh arogansi para pengambil keputusan di tingkat “dewa”, sedikit saja salah menentukan sikap, maka sejarah yang terjadi di dunia pertelevisian akan sangat berbeda: dua “mutiara” itu tak akan pernah “berkilau” dan dapat mengunjungi penonton TV di seluruh Nusantara.

Darminto M. Sudarmo, Penulis dan Pengamat Humor, Tinggal di Semarang.

0 comments:

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular