Tuesday, November 17, 2009

TIRAH oleh Imam Tantowi

Sudah lebih tiga bulan, kami seolah terbuang dari kehidupan masyarakat berbudaya. Seperti terdampar di pulau terpencil, tanpa surat kabar, tanpa listrik, tanpa televisi. Bahkan nyaris tidak pernah bersentuhan dengan dunia luar, sejak satu-satunya genset yang menyuplai listrik untuk keperluan mengelas dan membor besi-besi siku untuk membangun menara BTS (Base Transceiver Station) jebol. Sebenarnya sebagian besar sudah difabrikasi di Jakarta, tapi tetap kami membutuhkan genset untuk menanggulangi kalau ada yang kurang persisi.

Saya beserta lima pekerja lain seperti terpenjara di pegunungan terpencil, nyaris tidak ada kendaraan yang melintasi desa. Menara BTS yang dibangun di punggung bukit itu untuk menjangkau telekomunikasi seluler tiga kota di sekitarnya. Kami tinggal di rumah milik Perhutani yang sudah lama ditinggal. Seluruh pegawai Perusahaan BUMN itu meninggalkan desa itu setelah reformasi, karena semua kayu jati dijarah oleh penduduk dan tanahnya diserobot untuk lahan pertanian. Pada saat itu melawan rakyat bisa celaka. Karena hutan jati sudah punah, maka tidak ada lagi pegawai yang datang.
Menurut cerita penduduk semuanya dipindahkan ke Pulau Muntu. Untuk keperluan makan, mas Jamil pimpinan kami, memesan dari salah seorang penduduk yang tidak terlalu jauh dari rumah pondokan. Kebetulan masakannya cocok untuk lidah kami. Setiap jam makan, pagi, siang, malam, kami hafal sekali suara parau tapi agak melengking dari seorang gadis yang maaf saya tidak bermaksud menghina, wajah dan bentuk tubuhnya jauh di bawah standar. Namanya Tirah, puteri Pak Samin. “Rimbang !!! Bantulah aku hooi!” Terus terang kalau bukan tugasku, malas sekali aku harus menuruni jalan makadam dari pondokan kami yang letaknya di atas perbukitan ke pintu gerbang yang terletak di jalan desa di bawah. Tapi untuk makan malam, Tirah selalu diantar oleh ayahnya. Begitu seterusnya. Dan hampir tiga bulan itu hanya suara Tirah satu-satunya suara gadis yang selalu kami dengar, ibunya yang sakit-sakitan jarang ke pondokan kami. Sudah seminggu Mas Jamil pimpinan kami yang lapor ke pusat, belum juga datang. Rencananya dia sekalian membawa montir untuk memperbaiki genset. Sehingga nyaris kami hanya duduk-duduk main catur, angkat-angkat barbel sambil menunggu makanan datang.
Setiap jam dua belas tepat, pasti suara parau itu terdengar memanggil namaku… “Rimbaang….!” Entah kenapa akhir-akhir ini suara itu terasa tidak buruk-buruk amat. Kalaupun parau masih memiliki karakter yang punya daya pikat. Jujur aku mulai suka warna suara Tirah…..semakin eksotik. Sekarang ada kebiasaan baru, kami melakukan ritual setiap siang. Mata kami mengikuti detak jarum panjang jam dinding yang bersijingkat menuju ke angka dua belas di mana jarum pendek sudah mendekam di sana, dan ketika tepat masuk waktu, Si Salim mengadu jempol dengan jari tengahnya yang menimbulkan bunyi detak yang keras, dan………………… “Rimbaaang….!” Biasanya itu suara Tirah. Suara yang selalu kami tunggu. Tapi kali ini bukan ….. Kami saling berpandangan. Aku turun membantu pak Samad bapak Tirah yang membawa rantang-rantang makanan dan bakul nasi, seperti yang biasa dibawa Tirah. Aku mendengus kesal. Entah kenapa tiba-tiba aku kecewa …. Sangat kecewa ! Malamnya pun Tirah tidak datang, hanya pak Samad dan Umin, adik lelaki Tirah yang sedikit songong muncul di pondok kami. Ternyata bukan cuma aku yang punya perasaan seperti itu. Si Abul, Landi dan Juki punya perasaan begitu, juga si Salim. Seperti biasanya Samad menata makanan sambil bercerita riuh. Kami acuh trak acuh mendengarnya. Tidak semangat. Sudah tiga hari Tirah belum juga datang, kata pak Samad masih di rumah datuknya yang sedang sakit. Siang itu benar-benar seluruh penghuni pondokan seperti kehilangan gairah. Tidak ada lagi yang bernafsu main catur ataupun mengangkat barbel. Kami hanya tidur-tiduran saja di amben kayu lebar yang digelari kasur palembang. Sama-sama menatap lelangit rumah, sama-sama menerawang…. Entah kenapa tiba-tiba terlontar dari mulutku sesuatu yang tiga bulan yang lalu tidak mungkin bisa keluar dari mulutku. “ Kira-kira aku sakit jiwa nggak ya….?” “ Kenapa ? “ “ Aku kangen sekali suara gagak si Tirah…. “ Suaraku agak mengambang. “ Nggak juga…., terus terang, aku juga….. “ Salim menoleh ke arahku. “ Jujur, akhir-akhir ini aku baru menemukan keindahan di alis mata Tirah yang lebat…” “Memang ternyata Tirah luar biasa... “ Abul menyahut tanpa menoleh. “Semalam aku mimpi berciuman sama dia…. Gila… belum pernah aku mendapat ciuman sedahsyat itu sepanjang hidup.” “ Tapi cuma mimpi, kan?” “ Tapi dahsyat, sampai terpaksa aku keramas dulu waktu mau subuhan.“ Terus terang aku cemburu sama si Abul. Di antara teman kerjaku, wajahnya paling tidak bermutu. Kenapa harus dia yang mendapat ciuman dalam mimpinya. Untung aku masih bisa menahan emosi…. Kami sudah tidak lagi memperhatikan detak jarum panjang jam dinding di kamar yang nyaris menunjuk angka dua belas, ketika tiba-tiba terdengar dari jauh suara memanggil namaku. “ Rimbaaaaang…..!!! Bantulah aku hooi!” Aku terlonjak dari pembaringan, demikian pun si Abul, Landi, Juki dan si Salim, lalu sama-sama kami berlari keluar rumah menuruni jalanan makadam yang menurun…. Di bawah tampak Tirah bersama seorang pemuda tampan, kulitnya bersih dan tampak seperti wajah orang terpelajar. “ Ai semuanya, kenalkan ini calon suamiku.., namanya Darus… dia baru pulang dari Jakarta…..” Kami hanya bisa ternganga dan manggut-manggut seperti burung kaka tua… Ingin rasanya kami bunuh diri masal. Untung sorenya mas Jamil datang bersama montir yang langsung memperbaiki genset. Jakarta, 13 Nopember 2009

1 comments:

wlelelel...saya adalah monyet monyet adalah saya lalu siapa asli monyet itu./?? kalian berdua ya....

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular