Monday, May 11, 2009

The Gondez Ambelgedez (2)

Oleh Darminto M Sudarmo

Terengah-engah ketiganya menghadap sang Prof. sebelum secuil kata meluncur dari mulut mereka, Prof. Durgandana telah tahu apa yang harus dikatakannya.

“Inilah kebrengsekan berikutnya kenapa untuk bilang tidak punya, tidak berani?! Kenapa harus membuang-buang waktu untuk kepura-puraan itu. Sungguh tidak logis. Otak kalian memang ditaruh di dengkul. Tak pernah diajar ya bagaimana menyanggah sinyalemen?"

Dul Goen, Jimat, dan Jupri seperti ditelanjangi mukanya. Tapi tanpa komentar Prof. galak itu pun muka mereka sebenarnya sudah biasa dengan ketelanjangan.

"He, kenapa pada kemplu begitu? Jawab dong!"

"Ta....tapi apa yang harus kami jawab Prof?” tanya Jimat terbata-bata. Wajahnya tiba-tiba sendu. Jupri sudah dua detik yang lalu sesenggukan menahan tangis. Tak kepalang Dul Goen. Meski pun cuma kethap-kethip seperti monyet kehilangan handai tolan, pipinya telah basah oleh air mata.

Bentakan-bentakan profesor galak itu membuat mereka jadi nelangsa. Jimat ingat emaknya di kampung ketika dia digendong sambil dikudang-kudang saat masa kecil yang amat indah. Jupri terkulai dalam rasa pilu yang luruh, teringat simboknya yang telah pergi ke alam baka ketika usianya masih kanak-kanak. Dul Goen sebenarnya tak ingat siapa-siapa, tetapi melihat orang menangis, dia selalu tak bisa tahan, maka tangisnya kali ini sudah sekali dikategorikan termasuk jenis apa.

Melihat tingkah ketiga mahasiswa yang kelak bakal dikaderkan sebagai tokoh pelopor non-gelar, tetapi kolokan sekali, Prof. Durgandana tak bisa menahan amarahnya lagi. Kemarahan puncak. Kemarahan yang bisa menghancurkan gunung dan membelah langit . Lalu dengan gaya seorang guru besar yang amat abstrak, dia meloncat bangkit. Berdiri tegak di hadapan ketiga mahasiswa pilihannya dengan tangan gemetar menahan ledakan dinamit di dadanya.

"Bojleng, bojleng! Murid-murid tak punya guna nyaris saja kupanggilkan arwah Hitler buat menyembelih kalian semua!" Matanya menyala merah. Menatap ketiga mahasiswa yang duduk terbungkuk-bungkuk. Nyaris saja dia hendak menelan mereka bulat-bulat. Lalu ujarnya pula.

"Apa yang harus saya lakukan buat menghukum kalian? Menyerahkan ke Westerling atau kupenggal sendiri leher kalian dengan pedang samurai Musashi?"

Ketiganya masih melipat tengkuk. Prof. Durgandana kian naik darah. Maka segera bermunculanlah “lagu wajib”-nya dalam bentuk sumpah serapah menggunakan berbagai bahasa asing. Salah satu bahasa asing yang paling sering dia ucapkan waktu kesal adalah: sontoloyo!
Setelah kenyang mencaci cemooh, perasaannya jadi ngilu. Lalu sendu. Kemudian ingat anak cucu. Perasaannya yang paling dalam pun kini jadi tersentuh. Orang-orang yang dimarahi diam saja selalu mengundang belas kasihan. Menerbitkan rasa empati. Tetapi Prof itu tetap ingat, tugasnya kali ini adalah menggembleng mental ketiga kader itu supaya jadi tangguh. Supaya tidak cengeng dan gampang ngambek. Maka keterharuannya cuma singkat saja. Lalu kembali wajah garangnya menggelantung dengan liat.

"Sudah kukatakan kalau berani jadi mahasiswa jangan menyusu orang tua terus. Tak tahu malu! Pakai atribut, jaket, emblim, naik motor atau mobil berstiker universitas sambil mendongakkan kepala. Menganggap remeh atau melecehkan kanan kiri, terutama kepada orang-orang sederhana yang bekerja setulus hati, meski bentuknya butut dan kampungan, tetapi mereka telah berbuat bagi kehidupan dengan jitu dan otak waras. Sikap kalian itu sikap badut! Ngerti, nggak? Sebab yang kalian pakai, yang kalian naiki, yang kalian rasa miliki, semuanya kostum sementara untuk pentas di panggung. Itu pinjaman, itu sewa, dan, bukan kalian yang membayarnya; lalu apa yang bisa kalian banggakan sebenarnya? Diktat dan buku-buku tebal? Istilah-istilah sulit dan cara berpikir pelik? Atau gelar-gelar yang bakal berserakan di depan atau di belakang nama?"

"Ampun Profesor! Ampun.... berilah kami petunjuk." ketiganya kemudian berebut memegang kaki Pokal.

"Jadi kalian menganggap perlu apa yang kuberikan?"

"Benar Porf."

"Baik, sekarang jawab pertanyaanku dengan pola berpikir gila. Sekali lagi logika gila."

Dul Goen, Jimat dan Jupri segera mengambil tempat yang agak layak. Ketiganya duduk dengan takzim. Tangannya masing-masing telah siap mencatat apa saja yang bakal diucapkan oleh sang Profesor. Untuk sesaat itu rumah di Jalan Tonggak 15, benar-benar sepi dan menegangkan. Profesor Durgandana belum juga membuka mulut, matanya terpejam penuh wibawa.
Seperti orang tengah melakukan meditasi. Gerak di dadanya menunjukkan sikap pernapasan yang rapi. Beberapa saat kemudian kelopak matanyya mulai membuka. Bibirnya menyungging senyum arif. Tak tampak sikap garang dan congkaknya. Bahkan kesan sebagai seorang guru besar sebuah perguruan tinggi, lenyap sudah. Kini muncul sebagai bentuk yang amat tak bisa dipahami oleh ketiga mahasiswa hijau itu.

“Ada kisah yang pernah hidup ribuan tahun lalu. Atau paling tidak ratusan tahun yang lalu. Kisah ini akan menguji ketangkasan kalian dalam mengasah pikiran. Siapa di antara kalian yang bisa mengupas dengan pola berpikir gila, dan menghasilkan argumen paling gila, itulah tandanya, kalian bisa membebaskan diri dari kerudung dan norma-norma lapuk tadi: Pada suatu hari ada seseorang menangkap seekor burung. Burung itu berkata kepadanya.
‘Aku tak berguna bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja nanti kau kuberi tiga nasehat.’
Si burung berjanji akan memberikan nasehat pertama ketika masih berada dalam genggaman orang itu, yang kedua akan diberikannya kalau dia sudah ada di cabang pohon, dan yang ketiga sesudah ia mencapai puncak bukit.
Orang itu setuju, dan meminta nasehat pertama.
Kata burung itu, ‘Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun kau menghargainya seperti hidupnya sendiri, jangan menyesal.’
Orang itu pun melepaskannya, dan burung itu segera melompat ke dahan.
‘Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti.’
Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana dia berkata.
‘O manusia malang! Di dalam diriku terdapat dua permata besar, kalau saja kau tadi membunuhku, kau akan memperolehnya!’
Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun katanya, ‘Setidaknya katakan padaku nasehat yang ketiga itu!’
Si Burung menjawab, ‘Alangkah tololnya kau, meminta nasehat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kurenungkan sama sekali! Sudah kukatakan kepadamu agar jangan kecewa kalau kehilangan, dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku toh tidak cukup besar untuk bisa menyimpan dua permata besar! Kau tolol. Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia’.
Begitulah kisahnya, siapa diantara kalian punya nyali untuk terlihat paling dulu tololnya, eh, bertanya?"

"Saya, Prof." Jupri mengangkat jari.

"Sampaikanlah".

"Kisah itu memusingkan, tapi ada juga sisi yang cerah. Burung itu cerdik, dia gunakan segala tipu daya untuk menyelamatkan diri. Dan manusia itu memang gambaran makhluk yang lagi tolol, dengan mudahnya dia menuruti saja dibodohi oleh binatang sepele yang tentunya tak pantas didengar ocehan palsunya itu."

"Kasihan sekali analisamu Buyung, kau belum bisa melihat apa yang disebut masalah itu. Nah, siapa mau coba lagi?"

"Saya Prof. Menurut pendapat saya, kedua-duanya sama-sama tolol. Si Burung yang bisa terbang kenapa mau ditangkap manusia. Si Manusia yang sudah memperoleh apa yang dicarinya, kenapa mudah saja melepaskannya,." ujar Jimat dengan gaya bahasa yang taktis.
Sang Profesor, yang tentu saja berfigur Pokal, tersenyum kegelian. Tak berkomentar apa-apa.

"Kalau pendapat saya lain lagi Prof. Ketika Anda membawakan kisah tadi, maka segera timbul anggapan dalam benak saya. Bahwa Anda itu jadi si manusia dan sayalah yang jadi burungnya." ujar Dul Goen dengan santainya.

Sang Profesor mengangguk-anggukan kepalanya. Apa maknanya itu, tidak ada yang tahu.
"Sampai ketemu pada kuliah mendatang.” ujarnya kalem, lalu tubuh Pokal limbung. Dengan gesit, mereka bertiga menangkapnya. Tubuh Pokal diletakkan di atas dipan lagi, dan tak lama kemudian terdengar dengkur khasnya yang luar biasa. Wajahnya masih tetap tampak sehat kemerahan. Tak ada tanda-tanda baru saja terjadi peristiwa unik dan merepotkan. Jantungnya berdentang sebagaimana biasanya. Perutnya juga tetap membuncit sebagaimana kebiasaan orang-orang yang doyan makan dan tidur. (Bersambung ke Bagian 3)

0 comments:

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular