Tuesday, January 25, 2011

Bisnis Lawak di Indonesia


Cartoon by Jitet Koestana
 SENI lawak adalah salah satu jenis kesenian yang cukup diperhitungkan kehadirannya. Salah satu ukuran yang bisa dijadikan acuan untuk itu adalah: masyarakat menyukainya. Tentu ini ukuran yang sederhana.
Yang menjadi pertanyaan, benarkah pelawak disukai masyarakat?
Pertanyaan ini ternyata mengundang jawaban dan respon yang amat beragam. Ada jenis jawaban atau katakanlah respon yang benar-benar di luar dugaan. Muncul dari seorang cendekiawan kita; ia mengatakan bangsa Indonesia suka lawak, suka guyon, suka yang segar dan enak-enak, karena bertolak dari kebiasaan kemalasan berpikir.
The Liang Gie, cendekiawan dan penulis buku filsafat seni, mengingatkan agar mahasiswa tidak membiasakan diri dengan mengadakan kegiatan lomba lawak, sebab ada tugas lain yang lebih relevan dan membawa kemajuan bagi bangsa, yakni berkiprah dalam bidang ilmiah.
Kalangan penggemar humor tentu sangat menghargai pandangan-pandangan seperti itu; namun mereka juga punya alasan dan versi yang lain lagi. Bahwa kegiatan berhumor bukanlah kegiatan sekadar hura-hura. Karena peran intelejensia banyak dibutuhkan di seni tersebut. Apakah  itu untuk sang kreator, pelaku maupun para  penikmat.
Maka lawak sebagai salah satu cabang humor, tak bakal bisa dikemas menjadi sajian yang enak, bila di balik itu tak didukung oleh intelejensia dan kreasi yang dilandasi kerja serius.
Para pelawak sendiri (pekerja seni lawak) tampaknya tak begitu peduli soal disuka atau tidak disuka. Apalagi oleh komentar para cendekiawan, pengamat atau kritikus lawak sekalipun. Apapun yang terjadi, mereka tetap jalan, selama masyarakat masih mau menerima kehadiran mereka.
Lawak adalah bagian dari “tradisi” yang diwarisi oleh bangsa ini. Karena itu masihlah dalam batas layak bila para pelawak punya harapan untuk menjadi makhluk yang rada berguna bagi lingkungannya. Agak dibutuhkan. Dan tidak melakukan kerja yang sia-sia. Mereka berkeyakinan, masyarakat menyukainya. Membutuhkannya.

Ladang Subur

Logika sederhana yang bisa ditarik, bila masyarakat menyukai, tentu banyak yang bisa dikerjakan oleh pelawak untuk dipersembahkan kepada publiknya. Ini berarti sebuah kesempatan dan sekaligus tantangan.
Kecenderungannya kini, bahkan, banyak orang mengidamkan profesi ini. Padahal dulu, pandangan orang tentang profesi melawak tak beda dengan pekerjaan membadut; di Jawa ia identik dengan pekerjaan para kawula, pembantu, atau punakawan. Kesan orang (kala itu) masih menganggap rendah terhadap profesi ini.
Bila sekarang terjadi pembalikan citra, bukan berarti tanpa sebab. Ada serangkaian trend yang menandai proses itu. Yakni sejak orang mendalami lebih jauh tentang kemungkinan sajian lawak diurus dan dikemas secara profesional. Hingga lawak bisa diangkat menjadi semacam bisnis atau bagian dari industri budaya.
Tak hanya menyangkut teknis, melainkan juga estetika, ide, strategi pemasaran dan sebagainya. Mungkin masih segar di ingatan kita pada tahun 1970-an, film-film humor tentang Bing Slamet, muncul sederas air terjun; sebut saja film Bing Slamet Sibuk; Bing Slamet Dukun Palsu dan sebagainya. Periode berikutnya, publik dihujani film-film berlabel Ateng. Ada Ateng Minta Kawin hingga sekian label yang menjual nama Ateng lainnya. Disusul juga film humor yang menjual nama pelawak Jalal, Bagio, Benyamin S, Kang Ibing dan paling tak terbendung ketika periode sampai pada film-film Warkop DKI (Dono, Kasino dan Indro).
Era pelawak Warkop, pada awalnya merupakan era yang punya daya lejit tersendiri. Selain materi lawakannya berkesan intelek, cara penyajiannya pun bervariasi. Warkop banyak mengandalkan penampilannya pada pingpong dialog atau verbal. Tentu dengan bekal penggalian ide yang tidak main-main. Ini salah satu bukti, bahwa lawak yang penuh gelak dan canda itu menuntut senimannya untuk kerja keras dan serius, agar karya mereka dapat hadir dengan sembada.
Warkop selain punya daya tarik pada materi lawaknya, juga pada personalnya itu sendiri. Selama ini orang yang menekuni profesi lawaknya umumnya adalah mereka yang berlatar belakang pendidikan formal kurang mendukung (otodidak, drop out dsb),  tapi Warkop justru sebaliknya. Mereka ketika merintis karier masih calon sarjana dan kemudian setelah menjadi sarjana sungguhan, tetap nekad mau hidup-mati di bidang lawak, sungguh fenomena yang baru dan sangat mengejutkan. 
Hanya sayang, di perkembangan berikutnya, sikap Warkop dalam menyikapi gencarnya serbuan industri budaya tampak lebih kompromis, dan lawakannya kurang seliat dulu. Tak lagi muncul debut-debutnya yang mengagetkan dan mendebarkan.
Apa boleh buat, itulah pilihan yang kemudian terjadi. Gara-gara kasus kompromi ini pula, konon Kasino dan Dono sempat tak bersitegur sapa hingga beberapa tahun lamanya. Melawak untuk sekadar menghasilkan gelak, memang berbeda dengan melawak yang selain menghasilkan gelak juga sambil menggonggong dan sedikit menggigit.

Era Srimulat

Bila ada grup lawak (sandiwara komedi) yang berangkat dari target kesenian “ndeso” (daerah) kemudian berkembang dan membengkak jadi santapan orang kota, maka Srimulat-lah jawabannya.
Mengapa Srimulat? Sebab banyak grup lawak daerah lain, tak mampu berbuat seperti Srimulat. Almarhum Basiyo misalnya, adalah salah seorang pelawak daerah dengan kualitas andal, punya grup atau setidaknya partner main. Tetapi karena pertimbangan teknis di bidang “manajemen” akhirnya medan edarnya cuma di sekitar kaset rekaman, maupun tanggapan orang punya kerja.
Berbeda dengan Johny Gudel, Atmonadi, Gepeng, Basuki dan sebagainya. Figur-figur tersebut sebenarnya berangkat dari semangat kedaerahan;  tetapi ketika mereka sempat bergabung dengan pihak yang secara manajemen (Teguh) agak profesional, perjalanan yang terjadi kemudian jelas-jelas berbeda; bahkan menasional.
Inilah yang membedakan, Mengapa Charlie Chaplin, Bob Hope dan sebagainya bisa awet laris hingga usia renta. Manajemen mereka ditangani secara profesional, sedang beberapa pelawak kita (meskipun tak kalah dalam sisi kualitatif) banyak yang kurang perhatian pada masalah manajemen.
Era Srimulat boleh dikata era munculnya suatu warna yang penuh dengan optimisme di bidang bisnis lawak. Betapa mahal orang menghargai sajian lawak ini. Orang penthalitan, plethat-plethot, diketawain bergelak-gelak. Masyarakat penikmatnya yang kurang beres atau sistem dan jenis selera itu sendiri yang kurang sehat?
Bayangkan, betapa fanatiknya para penggemar lawak itu, sampai-sampai jenis lawakan yang tak keruan bentuknya pun mereka rela saja menikmatinya. Mengelu-elukannya.
Tentu saja Srimulat, selaku grup lawak profesional tak melakukan kefatalan yang demikian. Seburuk-buruknya produksi yang telah dilempar ke khalayak, belum pernah Srimulat meluncurkan produk dengan kualitas asal-asalan.
Sayang sekali, figur setangguh Teguh (pimpinan Srimulat) hanya satu. Orang yang mampu menggiring bentuk grup berkesan ndeso jadi bergengsi; memiliki pola manajemen lebih modern bila dibanding dengan jenis grup sewarna; kreativitas kreasi materi lawak dan pertunjukannya meluncur dinamik dan segar; serta berbagai bukti lain yang mampu membawa Srimulat ke puncak kejayaannya.
Memang sayang, bila orang setangguh Teguh hanya seorang. Dia pun harus mengalami masa uzur. Harus sakit “encok”. Harus merasakan kelelahan fisik dan mental. Harus menuruti saran dokter untuk istirahat dsb. dsb. Sehingga dalam waktu singkat saja, kelihatan tanda-tanda yang cukup mencemaskan; Yakni mundurnya beberapa pemain andalan Srimulat.
Peristiwa demikian bukan baru kini terjadi. Tetapi sejak Teguh punya niat untuk istirahat dari Srimulat, tanda-tanda kelesuan itu tak bisa ditutup-tutupi lagi. Lain halnya bila Teguh mampu mempersiapkan seorang kader, goncangan-goncangan yang bersifat substansial dan sensasional mungkin bisa dihindari.

Bisnis lawak

Mensiasati lawak sebagai komoditi tentu bukan suatu dosa. Karena proses berlangsungnya interaksi antara produsen dan konsumen tak perlu melibatkan pihak ketiga untuk menekan atau memaksa-maksa. Para pelawak melempar karya, masyarakat siap membeli dan menikmatinya.
Bisnis dalam lawak banyak media ekspresinya. Orang bisa menempuh lewat pentas (panggung), radio (rekaman suara), televisi (visual, bunyi dan suara), atau berbagai media ekspresi yang lain.
Ciri-ciri umum sebuah sajian lawak bakal disenangi oleh penikmatnya, bila materi lawakan itu relavan dengan kebutuhan audience. Dari ide/aktualisasi permasalahan,  hingga pembawaan (visualisasi) di lapangan.
Pentas lawak lewat panggung memang memiliki banyak keuntungan; bisa lebih longgar melayani tuntutan soal bentuk dan ide/materi. Dengan jumlah penikmat yang terbatas, ada kemungkinan para pelawak berani membawakan materi yang sama, bila mentas lagi, di tempat lain. Artinya gagasan bagus, bila belum tersiar secara luas, masih dapat dijual di tempat-tempat lain yang berbeda.
Lain halnya bila materi lawakannya sudah dimunculkan di televisi, apalagi TV nasional,  maka, pengulangan materi dapat menurunkan derajat kreativitas dari grup lawak bersangkutan. Apalagi bila ketahuan grup tersebut mencontoh dan menjiplak kreasi orang lain. Habis, dah, pamornya!
Bekerja sama dengan tim kreatif atau penulis naskah komedi dan pengarah/pengatur laku, mutlak perlu di zaman persaingan bisnis lawak sudah demikian ketatnya. Merekalah yang akan bekerja keras menggali bahan dan memilihkan materi bagi pelawak sehingga gebrakan pelawak di pertunjukan publik, efisien dan sampai pada inti persoalan.
Bisnis lawak memang menjual lelucon. Tetapi menghasilkan lelucon yang baik perlu ditangani oleh tenaga-tenaga dan ahli-ahli yang kompetensinya memadai. Karena itu kesan bahwa lawak cuma sebuah kegiatan hura-hura, sungguh pendapat yang berlebihan. Meskipun asumsi yang menjustifikasi bahwa bangsa Indonesia secara umum punya kecenderungan malas berpikir, tidak terlalu salah; tetapi. itu bukan berarti bila di Indonesia tidak ada tontonan lawak, bangsa kita lalu rajin berpikir; saya belum melihat nalar yang adil, dalam benturan saling-silang wacana ini. 

Darminto M Sudarmo - artikel ini telah dimuat di Harian Wawasan pada 1986-an, dimuat di blog ini karena pertimbangan relevansi. Semoga bermanfaat untuk Anda.

0 comments:

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular