Sunday, August 9, 2009

BURUNG MERAK MENGGENDONG MBAH SURIP

Jelajahi ruang putih bercahaya Illahi Olerh Tandi Skober Gerimis kehilangan tangis. Tidak satu tetes airmatapun jatuh. Kenapa? Mbah Surip dan Rendra telah bersua dengan wajah istikamah alam barzah. Kerinduan fitri, yang tentu dicari semua manusia. Kerinduan sebuah ruang bercahaya maha luas, sejuk, hening damai. Dan tak mustahil si burung merak itu menggendong Mbah Surip merentangkan sayapnya menemui alam langgeng yang tak semuram alam dunia. ”Tandi,”ucap lirih Pemred Foeza Hutabarat,”tulis sesuatu yang mebuat aku meyakini bahwa ada nur dalam diri Rendra. Ada gemerlap kata. Ada puisi yang bernyanyi. Ada sajak berzikir petikan senar gitar.”


”Nuwun sewu, Boss. Sebaiknya untuk menghantar arwah Rendra dan Mbah Surip yah shalat ghaib. Bukan harus tulis ini itu.” Foeza mantuk-mantuk. Shalat ghaibpun digelar.

****

Subuh, gelisah. Embun membasahi daun yhilIo di vas bunga milik Reni Teratai Air. Lihatlah Foeza dan Kardy masih tetap berselimuit duka. Dan aku? Demikian juga halnya. Terlebih saat membaca ’status’ Gusur Adhikarya di pisbuk, ”Hutan kata-kata menari dalam lingkar pikirku. Menyeruak menembus partikel otak. Merembes ke sanubari. Berontak.” Hutan kata-kata? Ini, betul! Konon manjing ning sjroning jejer huruf sajak-sajak Rendra, syair-syair lagu Mbah Surip seperti memasuki lingkaran nasib dan nisab. Dan? Mata saya bertlari meruwat matahari yang pancarkan mataair, teduh, nyaman, damai. seger. Ini aneh. Dan ini pula yang membuat saya duduk sila silaturahim di ruang pikir Gusur Adikharya. Kenapa Adhikarya? Karya Rendra adalah karya apik humanis tajam! Karya Adikarya! Meski begitu, kreatifatas Rendra selalu tergusur politika penguasa-penguasa zolim di era Suharto. Dan pengusaha-pengusaha hedonis di era reformasi. ”Mereka punya senjata tapi kita punya kata-kata. Mereka punya kekuatan. tapi kita punya ideologi yg merekah dari kata-kata. Kita adalah semangat yg tak kenal mati meski tubuh diperam bumi. Gusur, wajah lelananging Buletin itu sangat bersahaja, teguh dan istiqamah. Di dahinya ada tanda sujud. Di matanya ada lukisan rindu ayat-ayat Allah. Di ruas jemarinya, ada aliran zikir yang terus mengalir. ”Seorang penyair, kudu mancur cur cahyaning kinasih,” ucap Gusur, lirih nyaris tak terdengar, ”Itu perlu, duh Ki Gede Tandi. Terlebih lagi ketika penyair lagi tinemu jaman mangmung. Gus Ur benar. Artinya, unsur nur dalam sang poenyair adalah hal yang esensial. Penyair pada posisi ini bagaikan perahu kertas mencari angin yang dijerat ruang gelap yang pengap. Saya trenyuh. Lagi-lagi saya tatap wajah Gus Ur. Duh, semakin lama saya memandang, saya jadi teringat Surah an-Nur (24):35, “Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampr menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perempumaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Surah an-Nur (24):35 itu saya bisikan ke telinga Gus Ur. Wajahnya menunduk, airmata tanahair Penyairpun mengalir. Dan? Pelan-pelan saya tuturkan perlunya hadir cahaya dari Allah agar menjadi pemayung Penyair. Allah adalah pemberi cahaya kepada langit dan bumi. Adalah nur iman, nur elmu, nur ekonomi, nur kultural, nur kebenaran, nur rasa, nur rosa, nur nalar. Nurudin! Nur dalam Al-Quraan selalu dalam bentuk tunggal, meski pemaknaannya begitu luas holistik, multi makna dan berpendaran. Bandingkan dengan zhulumat (kegelapan) yang selalu dalam bentuk jamak. Nur dan zhulumati selalu menjadi pasangan kata yang bergandengan. Dan Al-Quraan selalu menyebut zhulumat terlebih dahulu baru kemudian Nur. Bahkan Nur menurut Ibn Asyur diibaratkan bagaikan pelita yang didukung banyak faktor yang cahayanya menyatu pada pelita itu. Bermula dari misykah diteruskan oleh kaca yang sangat bening yang dinyalakan oleh pohon yang diberkati. Hasilnya? Nur ‘ala nur! Gus Ur tengadah, “Ini kah yang dicari Penyair?” Saya tersenyum. Mengangguk dua hingga tiga kali. “Surah an-Nur ayat 35 itu seperti ditulis Al-Biqai mengisyaratkan begitu, “ucap saya pelan, “ Misykab/cela adalah simbol tajug, az-zujaj adalah komunitas manusia yang berzikir, al-mishbah adalah kalbu asy-Syajarahb adalah sosok manusia yang bersih, steril dan istiqamah. Dan minyak adalah simbol rahasia-rahasia yang dicampakan Allah. Akan halnya matsalu nurihi/perumpamaan cahaya-Nya adalah cahaya marifat ketika manusia terperangkap ruang mangmung. Artinya anugerah Allah yang tak pernah berhenti untuk menuju kebahagiaan abadi. “Bagi mereka ganjaran mereka dan nur mereka” (QS al-Hadid (57):19. “Kamu sedang bertutur makna nur dalam sajak-sajak Rendra?”tanya Gusur. Saya mantuk-mantuk.

***

Ombak laut melipat rindu ketika saya temui Hoesnizar Hood di Lagoi Tanjung Pinang. Cah pinter ini tersenyum, lirih saat saya tawarkan sebaiknya untuk mengenang WS Rendra ada sebuah kota yang ditata khusus dalam kemasan poemikiran-pemikira WS Rendra. ”Elok Tanjung Pinang dijadikan contoh kota penyair!”ucapku. Ah, Nizar tertawa. Tapi tawa panjang itu berhenti di detik ke-22. Pada detik ke 23, cah pinter Nizar langsung mengangguk. ”Aku setuju, Ki Gede Tandi,”ucap Nizar,”Penyair siapapun juga adalah abstraksi realitas sekaligus mikroskop steril yang futuris" Hmm, bukan Nizar bila kosa katanya tidak cendekia. Dan saya ngerti betul apa dan siapa cah pinter ini. Dia melihat masa depan sebagai realitas kekinian. Adalah realitas yang memiliki potensi yang mentransformasi abstraksi sebagai suatu pembenaran. Dan, memang penyair kerap overlap hingga ke batas tak terduga. "The future is in some sense some as real as the present to. The future in some respect is as real as the past, since we know both in much the sameway-trought our conseption of them." Saya tepuk tangan dua kali. Satu kali untuk kalimat inggris yang tak kumengerti, satu kali lagi untuk tuturan cerdas Nizar, bahwa ”Peradaban masa kini membutuhkan langkah nalar di belantara kemajemukan hasrat masyarakat sekaligus pergulatan 'kultur tersembunyi' yang sukar ditangkap oleh orang lain.. Langkah nalar dalam pola pikir penyair, itulah substansi dari pencerahan kultural.” Akan adakah kota penyair untuk mengenang WS Rendra? “Ini sejenis keniscayaan yang mustahil dapat ditangkap manusia, “ucap saya,” Seperti angin yang tak terbaca sekaligus laksana 'suara tanpa rupa' yang mustahil bisa membaca. Tak pelak, ini tidak lebih dari sekedar absurditas fenomental sekaligus siluet holistik di lembaran kain hitam putih belaka.”

***

Otakku mumpet. Di Asbak tak ada lagi puntungan rokok yang bisa diisap satu sampai tiga kali isapan. Aku tengadah. Aku tersenyum. Burung merak bersayap emas itu menggendong Mbah Surip. ”Mas Willy, jangan lupa tetep bikin sajak kelak saat tiba di Surga ya....”

0 comments:

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular