Thursday, September 17, 2009

Presiden dan Kolam Kelam Kesunyian

Oleh Tandi Skober Gedung Putih tahun 2222. Saya beridiri di atas mimbar dicahayai ratusan blitz wartawan. Ini membuat mataku berkerjap-kerjap. Seraya membetulkan letak jasku, aku coba menenangkan diri. Cahaya lampu dan sorot kamera elektronik masih aktif menelusuri wajahku. Ini saya maklumi. Dan ini kudu kulalui dengan tabah. Soalnya, saat ini adalah temu pers perdanaku seusai lima jam yang lalu saya dilantik menjadi Presiden Amerika. Sesaat saya tersenyum. Kulayangkan pandang menelusuri satu demi satu nyamuk-nyamuk elektronika itu. Dan saat suasana hening terkendali, saat itulah kuluncurkan kalimat-kalimat bernuansa filosofis. "Republik ini," ucapku seusai menarik nafas panjang, "‘bukan lagi’ batu nisan raksasa yang merekayasa demokrasi melalui fatwa-fatwa kultural.
Bukan itu. Juga bukan nyanyian sunyi sebuah negeri yang meletakkan hak-hak rakyat pada perbincangan oyot mingmang. Juga republik ini bukan lautan airmata yang menaruh matahari raksasa di setiap bilik-bilik ketakutan." Sesaat kuhela nafas. Lantas kembali kuluncurkan tutur kataku, "Republik ini kudu meletatkan peradaban dalam lanskap demokratisasi yang mensejarah hingga abad-abad mendatang. Sebagai presiden Amerika periode 2222 hingga 2226, saya akan meletatkan humanisme kinasih sebagai wajah madani Amerika." "Tuan Presiden,"tiba-tiba seseorang nyeletuk. "Ya?" "Anda itu sosok Indonesianis yang nyaris tidak memiliki apa-apa, kecuali mimpi-mimpi despotisme. Anda diragukan memiliki kredibilitas berkualitas Amerika. Saya tidak yakin Anda bisa membawa Amerika lebih baik dari periode sebelumnya." "Tuan Presiden," sambung lainnya lagi, "Wajah anda berkeringat. Ini awal yang tak bagus untuk Amerika." Suara wartawan lainnya saling adu keras nyerocos. Banyak pertanyaan terlontar, hiruk-pikuk. Saya angkat tanganku. Susana kembali tenang. "Seorang Indonesia menjadi presiden Amerika? Mengapa, tidak? Tuhan menciptakan Indonesia di atas lautan demokratisasi. Indonesia tercipta untuk menjadi negara padang obore, untuk ditauladani. Sejak abad 20 hingga 21, dunia melihat Indonesia seperti melihat malaikat penyelamat peradaban. Dan wajar bila Prof Dr. Rahim Qahar di akhir abad yang lalu memosisikan Indonesia sebagai pusat wacana politika global." "Anda ngaco, Tuan Presiden," sanggah wartawan lagi, "Rahim Qahar itu spesialis demokrasi gaya Asia." Saya tersenyum,:"Demokrasi itu bermula dari mimpi-mimpi Eropa beberapa abad yang lampau. Dari album sejarah sekitar akhir abad ke-20 orang menempatkan Indonesia di luar lingkar demokratisasi. Tapi anda bisa catat, kini Amerika, Afrika, Australia hingga ke ujung lancip Eropa melihat fenomena ini sebagai kelajiman yang memukau. Anda tahu, Raja Inggris dan rakyatnya baru saja melamar Izhrary Agus Jaya, Indonesianis dari Deli agar berkenan menjadi perdana menteri lima tahun mendatang. Lantas Australia.." "Ini Amerika, Tuan Presiden Tandi Skober. Anda memang berhasi menjadi presiden lima hingga tujuh periode di sebuah negara kecil di sudut barat Afrika. Lantas anda dimutasikan menjadi pemimpin Amerika Tengah hingga tahun 2222. Dan untuk pertama kali seorang Indonesianis memimpin Amerika." "Lintas mutasi presiden antar negara adalah sah! Konvensi Medan tahun 2022 mengatakan begitu. Perlu lintas mutasi presiden antarnegara. Ini seharusnya anda catat sebagai pencerahan pola politika global. Ketika tahun 2160 hingga 2200 hampir selama 40 tahun saya menjadi presiden Uganda atau sebelumnya hingga dua dasawarsa memimpin Jepang maka yang ada adalah pembenaran-pembenaran konvensi Medan 2022 itu. Hasilnya? Anda catat sepanjang 40 tahun negeri Matahari itu mampu memetakan proyeksi ekonomi hinga ke gugusan manjuah-juah di sebelah selatan Mars." "Amerika bukan Asia, Tuan Presiden?" "Amerika kudu belajar demokrasi Asia." potong saya. * Saya baru saja menikmati jazz klasik Ramsey Lewis dan Dave Koz (1977) abad ke-21 'Tumba Goreng', ketika jaringan SMM di layar monitor tampilkan Whang Sho Gok dari Tianmennsturasi, China. Ia lemparkan senyum khas yang paling saya sukai. Datar tapi simpatik. Terakhir senyum Hwang Sho Giok itu kudapatkan di dataran X16 pusat angkasa luar Mianir. Saat itu ia banyak bercerita seputar pembenahan-pembenahan idelogi demokrasi khas China. "Selamat malam, Tuan Presiden,"sapanya ramah. "Selamat pagi. Apa China masih memakai demokrasi gaya bakso?" Hwang tersenyum dan melebarkan tangannya. "Sejak paruh pertama abad ke-21 demokrasi gaya bakso itu sudah masuk arsip sejarah, Tuan Presiden," ucapnya, " Sejak itu hingga seratus tahun kemudian kami mencoba mengkaji ulang dalam memaknai demokrasi. Kajian demokrasi berselemak darah. Kajian atas nama satu juta ruh rakyat yang dibombardir peluru tentara. Masa lalu yang aneh. Dan kami mencoba melupakan semuanya itu." "Bagus itu. Oh ya, salam buat Mah Ling Hwang." "Terimakasih, Tuan Presiden." "Temuan genitika Mah Ling Hwang di acrhi 44St Pluto membuat saya lebih steril dalam memaknai hidup." Whang kembali tersenyum, "Ada pesan Tianmensturasi, Tuan Presiden. Hmm, maksud saya, China berharap Tuan Presiden berkenan menjadi presiden kami untuk periode 2226 hingga 2230." Saya diam. Dan diam-diam saya merasa amat kesunyian. Terus menerus menjadi presiden dari satu negara ke negara lain memang menyenangkan. Tapi, di puncak kekuasaan yang selalu kudapatkan adalah kolam kelam kesunyian. Selalu saja pada saat-saat tertentu hadir kerinduan untuk menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Selalu saja hadir kerinduan menimang cucu seraya menikmati lintasan jagad raya Bimasakti melalui kapsul yang terlontar dari pusat terminal angkasa luar.” "Tuan Presiden," kembali ucap Hwang Sho Gok. "Oh ya?" "Tuan Presiden tentunya akan mempertimbangkan aspirasi China?" Saya menunduk. "Amerika sebenarnya terminal terakhir," ucapku lirih, "Usai itu, saya ingin menjadi pandita. Menjadi sosok asketis yang menempatkan perenungan sebagai bagian sentral kehidupan. Di sini, nurani, Insya Allah menjadi seteril." "Masih ada empat tahun ke depan untuk membuat keputusan, Tuan Presiden." Saya menatap Hwang. Dan Hwang tampaknya mengerti. "Baiklah, Tuan Presiden. Bila Tuan Presiden berubah pendapat, tentunya ini akan menyenangkan kami." Saya menghela nafas. Jaringan SMM 'off'. Kini kusandarkan tubuhku agak dalam. Board elektronik memberi sinyal ada khabar dari Indonesia. Saya tak perduli. Berdiri. Melangkah ke jendela menatap hamparan Amerika yang temaram. Kulayangkan pandang pada perspektif langit yang mlengkung. Beberapa Kapsul FX15 melintas-lintas. Saya menunduk. Ah, Kapsul FX15 itu mengingatkan saya pada cucuku, Choking Susilo Sakeh. Di Kapsul FK202 yang melayang-layang di belahan Asia Tenggara, cucuku itu memijiti bahuku. "Langit itu luas, Mbah?" "Ya maha luas. Seluas memorial nalar yang tak terbatas." "Dan Tuhan ada di antara kemahaluasan itu kan, Mbah?" Saat itu saya terkejut. Ah, cucuku ternyata lebih arif. "Mbah mau bersaing dengan Tuhan kan? Menjadi penguasa bumi terus menerus?" "Ah kamu makin cerdas, Choking." Cucuku meng-off-kan panel 'eksplorer'. Kapsul FK202 mengkondisikan 'shut down'. "Seharusnya Mbah tak menerima tawaran Amerika itu." Ah, cucuku tersayang. Sungguh ini kenangan yang amat menyenangkan. Juga amat membahagiakan ketika cucuku itu berlari di antara hamparan rumput hijau sebelah selatan titik Archi Mars. Lantas ditulisnya surat dalam bentuk hologram transparan: "Yth. Tuan Presiden Amerika, Menjadi diri sendiri, tidak menjadi sosok presiden. Dan sujud di hamparan rumput maha luas, di bawah lanskap langit Mars merah jingga, pasti lebih memiliki nuansa holistik. Itu pasti, Tuan Presiden. Sebab di sana ada awang-uwung keabadian." Perumnas Bagelen Tebingtinggi Deli, 14 September 1979. Catatan: Yth.Choking Susilo Sakeh. Hmm, inget kan Tebingtinggi Deli, Perumnas Bagelen, sekitar September 1979? Di tengah persiapan pagelaran Julius Caesar Teater Propesi, aku, Choking Susilo Sakeh, BS Aroni dan Radjudin Harahap (Mas Yan) tuturkan kombur soal mutasi presiden. Malamnya, aku tulis cerpen di bawah ini. Aku kirim ke M Lud Lubis, Redpel Harian Mimbar Umum Medan. “Bang Lud.....tolong dimuat cerpen ini. Biar Choking tahu aku pintar buat cerpen,”tulisku. Tapi? Cerpen ini ternyata tidak pernah bisa dimuat. Wassalam Tamdi Skober Ilustrasi: Kapal Neon, karya Iswanto

0 comments:

Pelawak Indonesia Popular

Pelawak Indonesia Popular